Aksara, Basa, lan Sastra Bali

"Om Swastyastu, swasti prapta aturang titiang majeng ring para sameton blogger sami, durusang macecingak ring blog titiang, pinaka anggen jalaran masadu wirasa, mogi-mogi wenten pikenohnyane"

Sabtu, 29 September 2012

Sastra: Logis dan Tak Logis

Berbicara tentang sastra sudah tentu berbicara tentang seni, hasil karya, dan manusia sebagai pencipta sastra tersebut. Melalui sastra terkandung ide, gagasan, ungkapan perasaan, pemikiran, dan ideologi dari pengarang atau penyair. Masing-masing karya sastra memiliki ciri khas tersendiri yang tidak mungkin sama dengan karya sastra orang lain. Hal ini karena, tergantung dari pengarang ataupun penyair itu sendiri. Dalam hal ini  pengarang "memonopoli" sastra tersebut. Semakin banyak pengarang atau penyair yang menuangkan pikirannya dalam secarik kertas maka akan banyak pula karya sastra yang tercipta, sehingga menjadi khazanah sastra yang beranekaragam. Misalnya; dalam cerita fiksi Bali, Satua Kambing Teken Cicing. Dalam cerita tersebut diceritakan pada zaman dahulu kala, anjing dalam tokohnya memiliki tanduk namun memiliki ekor yang pendek. Di lain sisi, diceritakan juga seekor kambing yang memiliki ekor yang panjang namun tidak bertanduk seperti lazimnya kambing sekarang. Dalam alur cerita, dikisahkan I Kambing meminjam tanduk I Cicing, karena terlalu senang dengan penampilan barunya itu maka timbullah keinginanya untuk tidak mengembalikannya kepada I Cicing. Mendapatkan janji yang muluk-muluk dan sikap I Kambing yang demikian, tentu saja I Cicing sangat marah. Kemudian meminta tanduknya secara paksa kepada I Kambing, I Kambing yang tidak mau mengembalikan tanduk itu pun akhirnya melarikan diri untuk menghindar dari I Cicing. Namun I Cicing yang memang tangkas dalam berlari tidak kesulitan mengejar I Kambing. Karena sangat marahnya, lalu I Cicing menggigit ekor I Kambing hingga putus. Pada akhirnya I Cicing tidak mendapatkan tanduknya kembali, tetapi malah ekornya memanjang akibat dari menggigit ekor I Kambing, namun I Kambing yang kabur membawa tanduk I Cicing malah kehilangan ekornya yang panjang. Oleh karena itu, sampai sekarang Anjing _ tokoh I Cicing _ berekor panjang namun tidak bertanduk, sebaliknya Kambing _ tokoh I Kambing _ bertanduk tetapi dengan ekor yang pendek.








Dari tokoh Satua Kambing Teken Cicing tersebut, tentu akan menimbulkan pertanyaan dalam benak pembaca ataupun penyimak (kalau didongengkan). Apakah memang benar dulunya anjing bertanduk? Apakah benar Kambing dulunya memiliki ekor yang panjang layaknya seekor anjing? Apakah peristiwa dalam cerita tersebut benar terjadi? Dan masih bannyak lagi pertanyaan yang akan muncul terkait masalah tersebut.

Jika dikaji lebih mendalam, sastra sejatinya berbicara tentang mite dan realitas. Mite, yaitu kebenaran dalam pikiran yang imajinatif. Realitas, yaitu kebenaran dalam kehidupan sosial. Jadi, kebenaran sastra hanya dapat dinilai berdasarkan logis atau tidaknya suatu karya sastra. Logis dalam artian masuk akal atau sesuai dengan daya nalar manusia. 

Sabtu, 22 September 2012

Apakah Utsawa Dharma Gita?

Utsawa Dharma Gita

   Tentu kata Utsawa Dharma Gita sangat tidak asing bagi  teman-teman blogger, tetapi saya pikir masih ada sebagian orang yang belum paham terkait hal itu, termasuk saya. Sebelumnya, saya juga tidak paham dengan arti kata tersebut, tetapi dengan adanya kemajuan IPTEK sekarang sehingga sangat memungkinkan untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan up to date. Oleh karena itu, saya rasa perlu menampilkan deskripsiannya dalam blog saya ini sebagai pangeling-eling kata orang Bali (he..he..he..).

    Berdasarkan kitab suci Veda, Utsawa Dharma Gita pada hakikatnya adalah; Phalasruti, Phala-sloka, dan Phalawakya. Phalasruti mengandung makna pahala dari pembacaan kibat-kitab sruti atau wahyu yang pada umumnya disebut mantra yang berasal dari Hyang Widhi.  Phalasloka adalah pahala dari pembacaan kitab-kitab susastra Hindu seperti kitab Itihasa, yakni Ramayana cur. Mahabrata. Phalawakya adalah tradisi pembacaan karya sastra Jawa Kuno berbentuk prosa atau parva. Utsawa berarti festival atau lomba. Sedangkan Dharma Gita adalah nyanyian suci keagamaan. 

    Dengan demikian, Utsawa Dharma Gita adalah festival atau lomba nyanyian suci keagamaan Hindu. Utsawa Dharma Gita. sebagai kidung suci keagamaan Hindu telah lama berkembang di masyarakat melalui berbagai pesantian, baik yang ada di Bali maupun luar Bali. Sebelum menasional, Utsawa Dharma Gita dilaksanakan Pemda Bali dalam bentuk lomba kekawin dan kidung.  Penggunaan Dharma Gita dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan sangat membantu menciptakan suasana hening, hikmat/kusuk yang dipancari getaran kesucian dengan jenis yadnya yang dilaksanakan, sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan hening, hikmat/kusuk. Untuk melestarikan dan mengembangkan Dharma Gita dalam pelaksanaan kegiatan di masyarakat, Utsawa Dharma Gita diupayakan berlangsung setiap tiga tahun sekali. Utsawa Dharma Gita tingkat nasional telah berlangsung delapan kali berturut-turut.

      TUJUAN UTSAWA DHARMA GITA 
      Meningkatkan rasa keagamaan sebagai wujud pemahaman ajaran agama. 
1.   Meningkatkan sradha dan bhakti sebagai landasan terbentuknya ahlak mulia.
2.   Melestarikan dan mengembangkan Dharma Gita di kalangan umat Hindu.
3.   Memantapkan kerukunan hidup intern umat Hindu yang serasi dan harmonis.
4.   Mempersatukan dan menyamakan persepsi tentang Dharma Gita. Meningkatkan kajian terhadapa kitab suci Veda.
5.   Meningkatkan keterampilan membaca kitab suci Veda atau kidung-kidung keagamaan. Meningkatkan penguasaan materi ajaran agama Hindu.


      Kaketus saking:
      http://supadiimade.blogspot.com/2012/06/utsawa-dharma-gita.html?zx=8928395ac440f53c