KAJIAN STRUKTURAL
CERPEN KATEMU RING TAMPAKSIRING
OLEH
I WAYAN JATIYASA, S.Pd
Kajian Struktural Cerpen Katemu ring Tampaksiring |
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini
akan diuraikan empat hal pokok yaitu : (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan pengkajian, dan (4) ruang
lingkup.
1.1
Latar
Belakang
Keanekaragaman kebudayaan
daerah merupakan aset kebudayaan nasional, karena kebudayaan nasional adalah
perpaduan dari sari-sarinya kebudayaan daerah. Masing-masing daerah tentu
mempunyai kebudayaan yang bermutu tinggi. Dalam rangka pembinaan dan
pengembangan pada masyarakatnya, perlu adanya suatu kajian terhadap kebudayaan
daerah Bali tersebut yang salah satunya adalah karya sastra Bali
modern dalam bentuk cerpen.
Cerpen adalah suatu cerita
yang mengisahkan tentang sebagian kecil dari kehidupan manusia. Keberadaan
cerpen sebagai salah satu karya sastra diperkirakan muncul sekitar tahun
1970-an. Sebagian besar diantaranya merupakan hasil sayembara. Cerpen-cerpen
pada babak permulaan dibuat atas dasar “mencoba-coba” dengan memadukan tradisi
bercerita Bali dengan gaya bercerita dalam
bahasa Indonesia.
Dalam hal gaya, cerpen sastra Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
cerpen dari pengarang yang berfungsi ganda (selain mengarang dalam bahasa Bali,
juga mengarang dalam bahasa Indonesia), jelas sekali menunjukkan adanya
pengaruh struktur cerpen Indonesia. Sebaliknya dari pengarang yang berfungsi tunggal
(hanya mengarang dalam bahasa Bali), lahirlah cerpen yang sangat dipengaruhi
oleh gaya bercerita Bali
(Eddy, 1991:30).
Jadi, yang disebut cerpen
Bali modern adalah suatu karangan cerita Bali yang tidak ada dalam karya sastra
Bali klasik atau sastra tutur. Cerpen ini
merupakan karangam yang ditulis berdasarkan keadaan “kekinian” dengan bentuk
cerita yang pendek, meniru bentuk cerpen dalam sastra Indonesia. Adapun contoh cerpen
Bali modern tersebut antara lain : Katemu
Ring Tampaksiring, Ni Luh Sari, Bajang Kota, Relawan, Leak Lemahan, Tapak Dara
lan Colek dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pada kesempatan ini penulis
akan mengkaji cerpen yang berjudul Katemu
Ring Tampaksiring buah karya Made Sanggra dengan menitikberatkan pada segi
struktur instrinsiknya. Adapun judul paper yang penulis angkat yakni “Kajian
Struktural dalam Cerpen Katemu Ring
Tampaksiring”.
Dipilihnya Cerpen Katemu Ring Tampaksiring sebagai objek
kajian ini, karena cerpen ini tergolong populer dan merupakan cerpen berbahasa
Bali terbaik hingga kini karena keistimewaan latar cerita, tema, isi cerita,
gaya bahasa, dan tokoh ceritanya yang multibangsa (dari bekas penjajah dan
terjajah).
1.2
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang
tersebut, dapat dipetik permasalahan berkenaan dengan kajian ini, yaitu :
1.
Bagaimanakah struktur instrinsik dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring?
1.3
Tujuan
Pengkajian
Sebuah penelitian ilmiah
tentu memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Demikian juga hanya dengan
kajian ini. Tujuan pengkajian ini dapat dibedakan atas tujuan umum dan tujuan
khusus.
1.3.1
Tujuan Umum
Dari kajian cerpen ini
penulis mengharapkan karya sastra Bali, terutama karya sastra Bali modern mendapat
tempat yang baik di hati masyarakat Bali, sehingga masyarakat Bali tidak perlu
lagi merasa sangsi akan eksistensi karya sastra Bali modern di tengah kuatnya
karya sastra Bali klasik menguasai tata hidup masyarakat Bali.
1.3.2
Tujuan
Khusus
Sesuai dengan permasalahan
yang dijabarkan dalam rumusan masalah, maka dapat dikemukakan tujuan khusus
kajian ini adalah :
1.
Untuk dapat mengetahui struktur instrinsik dalam cerpen
Katemu Ring Tampaksiring.
1.4
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup yang dimaksud
adalah untuk membatasi ruang atau gerak dari kajian ini, sehingga terhindar
dari penafsiran di luar dari kajian yang dilaksanakan. Oleh karena itu,
pembahasan topik kajian ini dibatasi pada struktur instrinsik dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring, yang meliputi
: (1) alur, (2) plot, (3) insiden, (4) tokoh, (5) penokohan (perwatakan), (6) latar
(setting), 7 ( tema), dan (8) amanat.
BAB II
LANDASAN TEORI
Setiap peneliti sudah semestinya mempunyai landasan teori tertentu
sebelum melangkah lebih lanjut dalam suatu objek yang ingin dikaji ataupun
dianalisisnya. Untuk mengetahui struktur dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring, maka dianggap perlu kajian ini
menggunakan landasan teori, yaitu teori struktural.
2.1
Teori
Struktural
Yang dimaksud dengan teori struktural adalah teori sastra yang
beranggapan bahwa semua karya sastra atau peristiwa dalam masyarakat menjadi
suatu keseluruhan karena ada relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan
antara bagian dan keseluruhan (Luxemburg, 1984:38). Untuk mendapatkan gambaran
yang lebih jelas tentang teori struktural, maka terlebih dahulu harus dipahami
konsep struktur tersebut.
Menurut Sulastin-Sutrisno (1983:25), kajian struktur dapat membantu
kajian-kajian yang lain dan sekaligus merupakan latihan permulaan untuk
melangkah pada kajian selanjutnya. Pada prinsipnya, analisis struktur bertujuan
untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1988:135).
Kajian struktur dalam cerpen Katemu
Ring Tampaksiring lebih tepat menggunakan teori struktural. Pemakaian teori
struktural dilaksanakan berdasarkan pendekatan objektif, yaitu pendekatan
sastra yang menekankan pada segi instrinsik (unsur dalam) karya sastra yang
bersangkutan. Unsur ekstrinsik (unsur luar) dari teks, seperti riwayat
pengarang dan pembaca tidak dibicarakan (Yudiono, 1986:53). Unsur-unsur instrinsik
yang terkandung dalam cerpen Katemu Ring
Tampaksiring, yaitu alur, plot, insiden, tokoh, penokohan (perwatakan), latar
(setting), tema, dan amanat, dalam memaparkannya membentuk suatu kesatuan yang
bulat.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Kajian
Struktural dalam Cerpen Katemu Ring
Tampaksiring
Pada bagian ini akan
diuraikan berbagai masalah yang meliputi : (1) alur, (2) plot, (3) insiden, (4) tokoh, (5)
penokohan (perwatakan), (6) latar (setting), (7) tema), dan (8) amanat.
3.1.1
Alur
Alur adalah urutan (sambung-sinambung) peristiwa dalam sebuah cerita
rekaan. Urutan peristiwa yang dimaksud adalah kesinambungan peristiwa yang
logis antara peristiwa yang satu dengan yang lain, sehingga terdapatlah susunan
cerita yang hidup dan problematik atau penuh persoalan. Dalam hal ini kelogisan
peristiwa di atas harus mencerminkan hubungan sebab-akibat (Esten, 1987:26).
Sejalan dengan pendapat di atas, I Made Sukada menyatakan bahwa alur
adalah suatu proses sebab akibat dari insiden dan berfungsi sebagai sistem yang
menguji ketangguhan logika insiden dan mendukung, menyimpulkan kepada pembaca
logis tidaknya insiden tersebut (1982:24).
Dari pendapat tentang alur di atas dapat ditarik kesimpulan atau
pengertian, bahwa alur adalah suatu urutan peristiwa yang berkesinambungan dan
mencerminkan hubungan sebab-akibat. Alur dapat dikatakan baik jika alur
tersebut dapat membantu mengungkapkan tema dan amanat dari peristiwa-peristiwa
serta adanya hubungan kausal yang wajar antara peristiwa yang satu dengan yang
lainnya.
Ditinjau dari segi penceritaannya, alur dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu : (1) alur longgar, dan (2) alur sempit. Alur longgar sering juga
disebut alur sorot balik atau flash back.
Alur longgar yaitu jalannya cerita atau jalinan peristiwa dalam cerita yang
tidak padu (melompat-lompat). Pengarang biasanya menggunakan alur ini, untuk menceritakan
keadaan masa lalu dari para tokohnya. Alur sempit yaitu jalannya cerita atau
jalinan peristiwa dari awal sampai akhir dalam cerita yang berkesinambungan,
tanpa menceritakan ataupun mengisahkan kehidupan masa lalu para tokohnya.
Berdasarkan pemaparan di atas dan setelah menyimak tentang isi cerpen
yang dikaji, maka penulis dapat mengetahui bahwa cerpen Katemu Ring Tampaksiring memakai alur longgar atau flash back. Di awal ceritanya, pembaca
diajak berfantasi dengan cerita yang begitu menarik melalui tokoh-tokohnya.
Namun setelah di pertengahan ceritanya, pengarang menggunakan alur longgar
untuk mengubah jalannya cerita. Sehingga hal inilah yang menjadi kejutan dan
daya tarik dari cerpen Katemu Ring
Tampaksiring ini.
Cerpen ini dimulai kisahnya dengan kunjungan Ratu Juliana ke Bali yang disertai oleh beberapa wartawan Belanda
termasuk Van Steffen (De Combosch). Rombongan tamu negara itu menginap di
Istana Tampaksiring. Dalam mengisi waktu luangnya, Van Steffen yang tampan
berjalan-jalan ke kedai seni (Art Shop) milik Ni Luh Rai di Tampaksiring.
Pertemuan itu berlangsung akrab dan romantis.
Diceritakan pada suatu pagi, Van Steffen akan pergi bersama
teman-temannya ikut serta dalam kunjungan Ratu Juliana ke Besakih. Akan tetapi,
sebelum berangkat Van Steffen mampir terlebih dahulu ke kedai milik Ni Luh Rai.
Ketika itu Ni Luh Rai sedang bersih-bersih. Ni Luh Rai sangat kagum melihat Van
Steffen berpakaian rapi berbeda dari biasanya. Begitu pun Van Steffen kagum
sekali melihat kecantikan Ni Luh Rai. Dalam perjalanan ke Besakih bersama
teman-temannya, Van Steffen jarang sekali bicaranya. Dalam matanya selalu
terbayang pada wajah Ni Luh Rai.
Sepulangnya dari Besakih, Van Steffen langsung tidur, tetapi matanya
tidak bisa dipejamkan. Pikirannya menerawang. Kemudian Van Steffen bangun dari
tempat tidurnya, menuju ke luar Pura Tirta Empul. Tetapi, karena di sana sangat sepi, kemudian
Van Steffen pergi ke pancuran di halaman tengah. Dari sana Van Steffen memperhatikan mata air tirta
empul yang berada di halaman utama Pura Tirta Empul itu.
Van Steffen melanjutkan perjalanannya menelusuri jalan setapak menuju
rumah Ni Luh Rai. Di tengah jalan ia bertemu dengan anak kecil, melalui anak
tersebut ditemukan rumah Ni Luh Rai. Ketika itu Ni Luh Rai sedang menghaturkan
canang kajeng keliwon. Van Steffen sangat terpesona melihat Ni Luh Rai
berbusana adat. Kemudian Van Steffen membuka percakapan sambil menyerahkan
oleh-oleh dari Besakih.
Ketika akan berpamitan, Van Steffen dicegah dengan pertanyaan-pertanyaan
Ni Luh Kompiyang yang mempertanyakan tentang identitas pribadinya. Karena
secara terus menerus Van Steffen didesak dan dipojokkan oleh Ni Luh Kompiyang,
akhirnya Van Steffen menceritakan tentang jati dirinya. Mendengar cerita
tersebut, Ni Luh Kompiyang teringat akan masa lalunya, kemudian menceritakan
semuanya kepada Van Steffen dengan disertai tangis.
Untuk menceritakan masa lalu Ni Luh Kompiyang itulah pengarang
menggunakan alur longgar atau flash back.
Melalui alur flash back
dikisahkan bahwa pada zaman pendudukan Belanda, Ni Luh Kompiyang menikah dengan
Sersan De Bosch, opsir Belanda yang bertugas di bidang kesehatan. Pernikahan
itu melahirkan seorang anak yang diberi nama Combosch, singkatan dari Kompiyang
dan De Bosch. Pada waktu Combosch berumur tiga tahun, De Bosch pindah ke Bandung untuk melaksanakan
tugas, tetapi Ni Luh Kompiyang menolak untuk ikut. Waktu itu ia sedang hamil.
Suami istri itu pun cerai. De Bosch mengajak Combosch, dan Luh Kompiyang
tinggal di Tampaksiring, yang kemudian melahirkan Ni Luh Rai. Combosch
dibesarkan di Belanda dalam asuhan yayasan yatim piatu. Di yayasan yatim piatu
itu namanya diganti menjadi Van Steffen.
Setelah panjang lebar Ni Luh Kompiyang menceritakan tentang masa lalunya,
Van Steffen bengong dan masih ragu
dengan cerita Ni Luh Kompiyang. Untuk menghilangkan keragunnya Ni Luh Kompiyang
akhirnya mengambil foto, dan foto yang sama juga dikeluarkan oleh Van Steffen.
Kemudian pertemun antara ibu dan anak itu pun terjadi. Van Steffen dengan suara
sesenggukan menangis memeluk ibunya (Ni Luh Kompiyang) dan Ni Luh Rai.
3.1.2
Plot
Plot adalah jalannya suatu cerita yang bersifat logis dan sistematis
dalam suatu karya sastra. I Gusti Ngurah Bagus menyatakan bahwa, plot tidak
hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah
menggambarkan mengapa hal itu terjadi. Intisari dari plot adalah komplik, maka
plot sering pula dikatakan trap atau dramatik (1989:46).
Plot merupakan rangkaian dari peristiwa-peristiwa yang terjadi karena
adanya aksi tokoh-tokoh dalam cerita. Rangkaian peristiwa di dalam suatu karya
sastra dikenal dengan lima
rangkaian peristiwa, yaitu : (1) eksposisi, (2) konflikasi, (3)
klimaks, (4) antiklimaks, dan (5) resolusi.
1.
Eksposisi
Eksposisi adalah proses penggarapan serta memperkenalkan informasi
penting kepada pembaca. Melalui eksposisi, seorang pengarang mulai melukiskan
atau memaparkan suatu keadaan, baik keadaan alam maupun tokoh-tokoh yang ada di
dalam cerita tersebut, serta informasi-informasi yang akan diberikan pengarang
kepada para pembaca melalui uraian eksposisi tersebut.
Pada bagian eksposisi dalam cerpen Katemu
Ring Tampaksiring, pengarang memperkenalkan tentang keadaan tokoh utamanya,
yaitu Van Steffen (De Combosch). Van Steffen selain ganteng ia pun fasih dalam
berbahasa Indonesia.
Perhatikan kutipan di bawah ini.
Cacep pisan tamiu punika ngraos Indonesia.
Tabuhnyane caluh, sakewanten kadi uus kacunguh akedik, sakadi lumrah tatabuhan
wangsa-wangsa Eropane lianan.
Terjemahan
bebasnya :
Fasih sekali
tamu itu berbicara Indonesia.
Bicaranya sedikit lucu tetapi bagaikan berdesis ke hidung sedikit, seperti
biasa prilaku orang-orang Eropa lainnya.
Petikan di atas menggambarkan kefasihan Van Steffen dalam berbicara
bahasa Indonesia,
dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, meskipun ia dibesarkan di Eropa.
2.
Konflikasi
Konflik adalah kejadian yang tergolong penting, merupakan unsur yang
esensial dalam pengembangan plot. Pengembangan plot sebuah karya sastra naratif
akan dipengaruhi oleh wujud dan isi konflik, bangunan konflik yang ditampilkan.
Konflik merupakan kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh para tokoh
dalam suatu cerita.
Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan
terjadinya peristiwa satu dan yang lain. Ada
peristiwa tertentu yang menimbulkan terjadinya konflik. Sebaliknya, karena
terjadi konflik, peristiwa-peristiwa pun dapat bermunculan. Konflik dapat
terjadi antara manusia melawan alam, manusia melawan manusia lainnya, dan
manusia menghadapi dirinya sendiri. Konflik adalah sesuatu yang “dramatik”
mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang, menyiratkan adanya
aksi dan aksi balasan (Wellek, 1993:285).
Berdasarkan pandangan di atas, maka dapat diketahui konflik yang dialami oleh
para tokohnya dalam cerpen Katemu Ring
Tampaksiring. Pada bagian konflikasi, dialami oleh Van Steffen dengan Ni
Luh Kompiyang, ketika mempertanyakan identitas Van Steffen. Konflik ini terjadi
pada saat Van Steffen ke rumah Ni Luh Rai. Untuk jelasnya, perhatikan kutipan
berikut :
“Tuan yang
dari Belanda?!” Asapunika pitakennyane
sada kikuk kapiragi sinambi dane ngambil kursi tur malinggih.
“Betul Ibu….” Saur Van Steffen sada gugup.
“Siapa… Tuan
punya nama?” Sapunika pitakennyane malih.
Ni Luh Rai dahat kimud ring manah, santukan tabuh memenyane kikuk pisan.
“Sssssssssaya,
Bu, nama saya De Combosch..., eh… Bukan…nama saya Van Steffen, Bu” Saur Van Steffen ngreget megat-megat sada
ngejer gugup. Nembenin ipun maderbe manah runtag kadi punika.
Men Ni Luh Rai bengong, liatnyane joh sawat
kadi doh manahnyane nrawang. Sasampune sue bengong, raris acreng nlektekang Van
Steffen munggah tedun, tumuli matakon malih.
“Jadi,...Tuan
dua nama?” Asapunika pitaken Men Luh Rai
malih. Ni Luh Rai madukan ring manahnyane santukan kimud miragiang pitaken
memennyane kadi pitaken anak alit cucud pisan.
“Bukan,…eb,
eb, eb, bukan ibu!” Van Steffen maweweh
gugup. Makanten muannyane baag biing.
Terjemahan bebasnya :
““Tuan yang
dari Belanda?!” Begitu pertanyaannya dengan kikuk didengar sambil ia mengambil
kursi dan duduk.
“Betul Ibu...”
Jawab Van Steffen gugup.
“Siapa… Tuan
punya nama?” Begitu pertanyaannya lagi. Ni Luh Rai sangat dalam pikirannya
karena perilaku ibunya kikuk sekali.
“Sssssssssaya,
Bu, nama saya De Combosch..., eh... Bukan...nama saya Van Steffen, Bu” Jawab
Van Steffen tersendat putus-putus dengan bergetar gugup. Tumben ia mempunyai
prilaku resah seperti itu.
Ibu Ni Luh Rai
bengong, pandangannya jauh seperti
jauh pikirannya menerawang. Sesudah lama bengong lalu dengan seksama melihat
Van Steffen naik turun, lalu bertanya lagi.
“Jadi,…Tuan
dua nama?” Begitu pertanyaan Ibu Luh Rai lagi. Ni Luh Rai mendesah dalam pikirannya karena malu mendengarkan
pertanyaan ibunya seperti pertanyaan anak kecil kritis sekali.
“Bukan,...eb,
eb, eb, bukan ibu!” Van Steffen bertambah
gugup. Terlihat mukanya merah padam.
Petikan di atas melukiskan konflik yang terjadi antara tokoh dengan
dirinya sendiri dan tokoh dengan tokoh (manusia) lainnya. Konflik tersebut
terjadi antara Van Steffen dengan Ni Luh Kompiyang dan dengan diri mereka.
3.
Klimaks
Klimaks adalah konflik yang meruncing sampai pada titik puncak.
Meningkatnya klimaks disebabkan oleh konflik demi konflik dalam suatu cerita
yang disusul oleh peristiwa-peristiwa di dalam satu alur. Pada klimaks biasanya
terjadi suatu perubahan penting atau crucial shift dalam nasib, sukses tidaknay
sosok tokoh utama dalam cerita tersebut.
Dalam cerpen Katemu Ring
Tampaksiring, setelah konflik yang terjadi antara Van Steffen dengan Ni Luh
Kompiyang, cerita pun berlanjut pada klimaksnya. Ni Luh Kompiyang berhasrat
sekali mengetahui jati diri Van Steffen. Dengan kata-kata Ni Luh Kompiyang yang
memojokkannya, akhirnya ia pun menceritakan tentang jati dirinya tersebut.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah ini.
“Saya harap
Tuan jangan dusta. Setiap agama melarang umatnya berdusta. Barangkali juga
agama Tuan? “Sapunika Men Luh Rai sakadi
lancar tur seken, kadi wenten anak mituduhang dane uning nabdab raos kadi
punika.
Sue Van Steffen nek ten dados ngucap.
Peluhnyane medal paturibis, kulungannyane empet kadi sampetin bias asangkop.
Terjemahan bebasnya :
“Saya harap
Tuan jangan dusta. Setiap agama melarang umatnya berdusta. Barangkali juga
agama Tuan? “Begitu Men Luh Rai seperti
lancar dan pasti, seperti ada orang yang menyuruh ia tahu menyiapkan omongan
seperti itu.
Lama
Van Steffen diam tidak bisa berbicara. Keringatnya keluar bercucuran,
kerongkongannya tertutup bagaikan disumbat pasir seraup.
Petikan di atas melukiskan emosional Ni Luh Kompiyang yang ingin
mengetahui jati diri Van Steffen, sehingga menyebabkan Van Steffen tidak
berdaya dibuatnya.
4.
Antiklimaks
Antiklimaks adalah menurunnya suatu klimaks dalam suatu cerita. Dalam
antiklimaks, kejadian yang tadinya meruncing karena aksi tokoh-tokohnya akan
mereda atau mengalami kemerosotan, hal tersebut disebabkan adanya suatu
kejadian atau peristiwa baru di antara tokohnya.
Seiring dengan jalannya cerita dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring, maka antiklimaksnya dapat dilihat pada
kutipan berikut :
Durung puput Van Steffen nuturang
indiknyane, Men Luh Rai macepol sinambi asasambat.
“Aduh, Dewa Ratu...” Men Luh Rai ulun
atinnyane nek tan dados ngucap malih. Yeh peningalannyane nrebes medal nuut
kisut pipinnyane.
“Cening Combos” Asapunika Men Luh Rai
ngangsehang ngraos, tur ngelut baong ipun Van Steffen. Van Steffen nyerah tan
molah.
Terjemahan bebasnya :
Belum selesai
Van Steffen menceritakan tentang dirinya, Men Luh Rai jatuh sambil sesenggukan.
“Aduh, Dewa
Ratu...” Men Luh Rai hatinya sedih tidak dapat berkata lagi. Air matanya
bercucuran keluar membasahi pipinya yang keriput.
“Anakku
Combos” Begitu Men Luh Rai memaksakan berbicara, dan memeluk lehernya Van
Steffen. Van Steffen diam tidak bergerak.
Petikan di atas menggambarkan rasa bahagia Ni Luh Kompiyang yang
diungkapkan dengan tangis, ketika ia mengetahui bahwa Van Steffen sebenarnya
adalah anaknya.
5.
Resolusi
Resolusi adalah bagian akhir dari suatu fiksi. Melalui resolusi inilah sang
pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi.
Dengan kata lain, sesuatu yang memberikan pemecahan terhadap jalannya suatu
cerita.
Berdasarkan uraian di atas, maka resolusi dari cerpen Katemu Ring Tampaksiring dapat dilihat
pada kutipan di bawh ini.
Van Steffen bengong tan makijapan. Nanging
ring manah nyane kantun bingbang mabari-bari. Men Luh Rai uning ring cestakara,
tumuli digelis ngambil potrekan Van Steffen dawege kantun alit kaapit oleh meme
miwah bapannyane. Sakadi wenten malingetin, eling Van Steffen ring makta
potrekan ring dompetnyane. Potrekan punika gelis kaambil kaanggen nyocokang.
Ngantenang punika Van Steffen minger-minger ring manah tur negtegang
bayunnyane.
Terjemahan bebasnya :
Van Steffen
bengong tidak berkedip. Namun, hatinya masih bimbang, kian bimbang. Men Luh Rai
(Ni Luh Kompiyang) sadar akan isyarat itu, lalu segera mengambil foto Van
Steffen ketika kecil diapit oleh ibunya dan bapaknya. Bagaikan ada yang
mengingatkan, sadar Van Steffen juga membawa foto di dompetnya. Foto tersebut
segera diambilnya untuk dicocokkan. Akhirnya dilihatlah bahwa tidak berbeda
sedikit pun. Menyaksikan hal tersebut, Van Steffen berdebar-debar di hati lalu
berusaha untuk menenangkannya.
Petikan di atas melukiskan bahwa Van Steffen masih ragu tentang apa yang
telah dikatakan oleh Ni Luh Kompiyang. Kemudian untuk menghilangkan keraguan
Van Steffen, maka Ni Luh Kompiyang mengambil foto, dan foto yang sama juga
dikeluarkan oleh Van Steffen. Kutipan di atas menunjukkan pemecahan masalah
dari semua peristiwa yang telah terjadi dan sekaligus sebagai penyelesaian
masalah dari plot cerita tersebut.
3.1.3
Insiden
Insiden adalah suatu kejadian atau peristiwa yang terkandung dalam suatu
cerita. Karena dalam suatu cerita, yang penting bukanlah hasil akhirnya tetapi
kejadian atau peristiwa yang ada dalam peristiwa tersebut (Wellek, 1993:281).
Insiden terjadi karena adanya gerakan dan tindakan dalam situasi dan juga
karena adanya pelaku yang bertindak. Insiden biasanya mengekspresikan
tokoh-tokoh cerita yang berhubungan erat dengan alam dan manusia. Insiden ini
harus berkembang sambung menyambung secara kausal, yang satu berhubungan dengan
yang lainnya sampai cerita berakhir.
Dalam cerita Katemu Ring
Tampaksiring, terdapat beberapa insiden yang terkandung dalam alur
ceritanya. Adapun insiden tersebut adalah sebagai berikut.
Insiden pertama, yaitu kunjungan Ratu Juliana dari Kerajaan Belanda
datang ke Tampaksiring yang disertai para wartawan. Hal ini dapat kita simak
pada kutipan di bawah ini.
Sakadi nyawane ngababin, paseliab para
wartawan Belandane ngungsi pancoran ring jaba Pura Tirta Empul punika, saha motrek
anak kayeh miwah masiram. Daweg punika waune pisan Ratu Juliana saking Kerajaan
Belanda saha pengiringnyane rauh ring Istana Tampaksiring…
Terjemahan bebasnya :
Bagaikan tawon
yang berterbangan, berhamburan para wartawan Belanda itu menuju pancuran di
luar Pura Tirta Empul tersebut, dan memoto orang yang mandi. Pada waktu itu
baru saja Ratu Juliana dari kerajaan Belanda dan pengikutnya tiba di Istana
Tampaksiring…
Petikan di atas menggambarkan bahwa di pancuran Pura Tirta Empul sangat
ramai oleh para wartawan Belanda yang ingin memoto orang mandi.
Insiden kedua, yaitu Van Steffen bersama dengan teman-temannya ikut
dengan Ratu Juliana ke Besakih. Dalam
perjalanannya ke Besakih, Van Steffen jarang sekali berbicara. Karena dalam
matanya selalu terbayang wajahnya Ni Luh Rai. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
kutipan berikut :
Sapamargin Van Steffen lan
timpal-timpalnyane ngiring Ratu Juliana ke Besakih Van Steffen langah pisan
raosnyane. Sajeroning paningalannyane satata marawat matra rupan ipun Ni Luh
Rai. Timpal-timpalnyane sami ngedekin Van Steffen…
Terjemahan bebasnya :
Sepanjang
perjalanan Van Steffen dan teman-temannya mengikuti Ratu Juliana ke Besakih Van
Steffen jarang sekali bicaranya. Dalam matanya selalu terbayang-bayang
samar-samar wajahnya Ni Luh Rai. Teman-temannya semua menertawai Van Steffen…
Petikan di atas menggambarkan Van Steffen yang diam selama perjalanan ke
Besakih, sehingga ditertawai oleh teman-temannya.
Insiden ketiga, Van Steffen tidak bisa tertidur seperti teman-temannya
yang lain, ketika sepulangnya dari Besakih. Pikirannya menerawan kagum pada
kemegahan Pura Besakih yang baru dikunjunginya itu. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kutipan di bawah ini.
Ngawit wau rauh saking Besakih ipun masare, nanging
tan dados sirep. Timpalnyane sami pada ngrok engkis-engkis, wenten malih sane
geroh-geroh kadi celenge kagorok. Lian malih wenten sane ipit, kadi buduhe
katundik. Nanging Van Steffen kedat tan makijapan, rerambangannyane ngramang
sawang. Angob ipun ngemanahin kewibawan Pura Besakih punika.
Terjemahan bebasnya :
Berawal baru
sampai dari Besakih ia tidur, tetapi tidak bisa tertidur. Temannya semua
tertidur lelap, ada juga yang mengorok seperti babi yang disembelih. Lain lagi
ada yang mengigau, bagaikan orang gila yang disentuh. Tetapi Van Steffen melek
tidak berkedip, pikirannya menerawang. Kagum ia memikirkan kewibawaan (kemegahan)
Pura Besakih tersebut.
Petikan di atas menggambarkan kekaguman Van Steffen pada kemegahan Pura
Besakih, sehingga ia tidak bisa tidur memikirkannya, sedangkan teman-temannya
tertidur lelap bahkan ada yang sampai ngorok.
Insiden keempat, Van Steffen bangun dari tempat tidurnya, kemudian dengan
segera menelusuri komplek istana menuju Pura Tirta Empul. Keadaan di sana sangat sepi, sehingga
Van Steffen melanjutkan langkahnya menuju pancuran di luar pura itu. Untuk
lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah ini.
Tan dumade Van Steffen bangun saking
pasareannyane, tur gelis nyaluk pengangge, tumuli nedunang saking komplek
istana nuju jaba pura Tirta Empule. Suwe ipun kipak-kipek ring arepe kios ipun
Ni Luh Rai sane sedek matutup sepi ngucung-ucung ipun ngungsi pancorane ring
jaba tengah. Daweg punika sedek sepi kadi jampi. Tan wenten anak kayeh wiadin
masiram. Van Steffen nampekin pancorane, tumuli toyane kaketis-ketisang sakadi
alit-alit pangangone makocel-kocelan.
Terjemahan bebasnya :
Tiba-tiba Van
Steffen bangun dari tempat tidurnya, dan cepat memakai pakaian, lalu turun dari
komplek istana menuju luar pura tirta empul. Lama ia menoleh kiri kanan di
depan art shop milik Ni Luh Rai yang sedang tutup sepi sekali. Van Steffen
malu-malu dan tidak tentu arah. Kemudian tergesa-gesa ia menuju pancoran di
halaman tengah. Ketika itu sedang sunyi senyap. Tidak ada orang yang mandi. Van
Steffen mendekati pancuran, lalu airnya diciprat-cipratkan seperti anak-anak
gembala bermain-main.
Petikan di atas melukiskan keadaan Van Steffen yang tidak tentu arah
tujuannya, sehingga ia pun menjadi salah tingkah karena suasana yang sepi itu.
Insiden kelima, Van Steffen pergi ke rumah Ni Luh Rai, melalui seorang
anak kecil yang sedang menyabit rumput. Di rumah itulah akhirnya terjadi dialog
yang panjang lebar antara Van Steffen dan Ni Luh Kompiyang (ibunya). Ni Luh Kompiyang
mengingat tentang masa lalunya ketika di Carangsari, kemudian menanyakan
tentang identitas Van Steffen. Melalui keterangan Van Steffen tersebut, diketahuilah
bahwa Van Steffen adalah anaknya. Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan
anak itu pun terjadi. Van Steffen memeluk kaki ibunya sambil menangis. Ni Luh Kompiyang
pun memeluk Van Steffen dengan penuh kasih sayang disertai tangis yang tidak
terbendung.
Dengan berakhirnya insiden yang kelima ini, maka berakhir pula kajian
tentang insiden dalam cerpen Katemu Ring
Tampaksiring.
3.1.4
Tokoh
Tokoh adalah para pelaku yang memegang peranan dalam suatu karya sastra.
Mursal Esten mengatakan bahwa tokoh cerita memegang peran penting dalam
penceritaan. Umumnya jumlah tokoh atau pelaku dalam suatu cerita tidak dapat
dipastikan. Biasanya tokoh lebih dari satu orang dengan watak yang berbeda. Hal
inilah yang memungkinkan terciptanya konflik-konflik sehingga cerita akan
menarik bagi pembaca atau pendengarnya. Tokoh-tokoh hadir dalam peristiwa dan
bahkan peristiwa terjadi karena aksi tokoh-tokoh (1984:41).
Di dalam suatu karya sastra, pada umumnya tokoh dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yaitu tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh komplementer.
Tokoh protagonis, yaitu tokoh utama dalam suatu karya sastra. Tokoh protagonis
merupakan tokoh yang dominan diceritakan di dalam suatu cerita. Tokoh
antagonis, yaitu tokoh yang menjadi lawan dari tokoh protagonis. Tokoh
komplementer, yaitu tokoh yang menjadi pendukung (pelengkap) tokoh protagonis
dan tokoh antagonis di dalam suatu karya sastra.
Di dalam cerpen Katemu Ring
Tampaksiring menggunakan dua tokoh, yaitu tokoh protagonis dan tokoh
komplementer. Tokoh protagonisnya adalah Van Steffen (De Combosch). Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya tokoh ini berhubungan dengan masalah, berhubungan
dengan tokoh lain, dan paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Sedangkan
tokoh komplementernya adalah Ni Luh Rai, Ni Luh Kompiyang dan Sersan De Bosch.
Untuk lebih jelasnya tentang tokoh protagonis dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring, di bawah ini akan diuraikan sedikit
gambaran yaitu sebagai berikut :
Van Steffen (De Combosch) adalah seorang wartawan Belanda yang ikut serta
bersama dengan teman-temannya dalam kunjungan Ratu Juliana ke Bali.
Di dalam alur sorot baliknya (flash back)
diceritakan bahwa Van Steffen adalah anak dari Sersan De Bosch dan Ni Luh Kompiyang.
Namun, sesudah Sersan De Bosch dipindahtugaskan ke Bandung, De Combosch dibesarkan di Belanda
dalam Yayasan Pemeliharaan Anak Yatim Piatu. Di yayasan itulah namanya diganti
menjadi Van Steffen. Perhatikan kutipan berikut :
...Sadaweg alit ipun kapiara ring Yayasan
Pemeliharaan Anak Yatim Piatu ring Rotterdam, Negeri Belanda…
Sadaweg alit ipun mawasta De Combosch,
nanging sasampune kelih kagentosin wasta olih direktur yayasan punika,
kawastanin Van Steffen…
Terjemahan
bebasnya :
...Sejak kecil
ia dibesarkan di Yayasan Pemeliharan Anak Yatim Piatu di Rotterdam, Negara
Belanda…
Pada waktu
kecil ia bernama De Combosch, tetapi sudah besar diganti namanya oleh direktur
yayasan itu, diberi nama Van Steffen…
Ketika masih di Belanda, Van Steffen diceritakan pernah mengikuti kursus
bahasa Indonesia kepada mahasiswa Indonesia yang ada di Belanda.
Sehingga dalam kunjungannya ke Bali, ialah
yang menjadi penterjemah ketika bersama dengan teman-teminnya yang banyak berjejer di
luar Pura Tirta Empul. Sampai di depan art shop milik Ni Luh Rai…
Tokoh komplementer yang kedua yakni Ni Luh Kompiyang. Ni Luh Kompiyang
adalah istri dari Sersan De Bosch serta ibu dari Ni Luh Rai dan Van Steffen (De
Combosch). Dalam alurnya diceritakan bahwa pada waktu masih gadis, Ni Luh Kompiyang
pernah ke Carangsari untuk mencari kerja “maderep”,
hingga akhirnya bertemu dengan Sersan De Bosch. Perhatikan kutipan berikut :
...eling ring indike nguni daweg jagate
terak sayah, dane sareng timpal-timpalnyane ngrereh karya maderep ka Gunung
Carangsari. Duk punika dane wau munggah daa…
Luh Kompiyang kalih timpal-timpalnyane sami
jenek ring Carangsari. Daweg tentara Gajah Merahe biuk ring Carangsari yen
asapunapi jua indike Ni Luh Kompiyang keni kecantol olih Tuan De Bosch.
Terjemahan
bebasnya :
…ingat tentang
keadaan dulu waktu bumi krisis packelik, ia ikut dengan teman-temannya mencari kerja
maderep ke Gunung Carangsari. Ketika itu ia baru beranjak dewasa…
Luh Kompiyang
dan teman-temannya semua tinggal di Carangsari. Pada waktu tentara Gajah Merah
berkuasa (menduduki) di Carangsari entah bagaimana juga kejadiannya Ni Luh Kompiyang
dapat tertarik oleh Tuan De Bosch.
Tokoh komplementer yang ketiga, yaitu Sersan De Bosch. De Bosch adalah
Sersan Kesehatan Tentara Gajah Merah. Pada waktu bertugas di Carangsari, Sersan
De Bosch menikah dengan Ni Luh Kompiyang. Buah cintanya dengan Ni Luh Kompiyang
tersebut, yaitu De Combosch. Akan tetapi, pada waktu De Combosch berumur
kira-kira tiga tahun, De Bosch dipindahtugaskan ke Bandung dengan menyertakan
De Combosch serta meninggalkan Ni Luh Kompiyang ketika itu sedang hamil muda.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut :
Nampek panumayan pengakuan kedaulatan,
Sersan De Bosch polih perintah saking pangagengnyane mangda pindah ka Bandung. Indik punika
ngranayang Sersan De Bosch brangti saha ninggalin Luh Kompiyang ring
Tampaksiring sane daweg punika sedek mobot alit. Nanging pianaknyane sane daweg
punika wau mayusa tigang tiban kirang langkung. Kaajak brangkat pindah ka Bandung.
Terjemahan
bebasnya :
Dekat Janji
Pengakuan Kedaulatan, Sersan De Bosch mendapat perintah dari atasannya agar
pindah ke Bandung.
Keadaan itu menyebabkan Sersan De Bosch sangat kecewa, dan meninggalkan Luh Kompiyang
di Tampaksiring yang pada waktu itu sedang hamil muda. Tetapi anaknya yang
ketika itu baru berusia kurang lebih tiga tahun, diajak berangkat pindah ke Bandung.
Kemudian dalam alur flash back
atau longgarnya, diceritakan bahwa Sersan De Bosch gugur dalam perang di
Lembang, Bandung.
Hal ini dapat diketahui dari penuturan direktur yayasan yatim piatu kepada Van
Steffen, ketika dia masih di Rotterdam,
Belanda. Perhatikan kutipan di bawah ini.
Saking direktur yayasan punika ipun polih
keterangan, yening pecak bapan ipun dados anggota Tentara Kerajaan Belanda,
padem mayuda ring Lembang, Bandung.
Terjemahan
bebasnya :
Melalui
direktur yayasan itu ia memperoleh keterangan, kalau dulu bapaknya menjadi
anggota Tentara Kerajaan Belanda, gugur berperang di Lembang Bandung.
3.1.5
Penokohan
(Perwatakan)
Penokohan (perwatakan) adalah karakter dari masing-masing tokoh dalam
karya sastra. Menurut I Gusti Ngurah Bagus, penokohan adalah gambaran watak
para pelaku yang sering disebut dengan tokoh berupa manusia atau kadang-kadang
binatang atau yang lainnya yang dapat bertindak sebagai pelaku. Pengarang
melukiskan watak para tokoh dalam karyanya, dengan maksud menghidupkan tema
ceritanya.
M.S. Hutagalung menyatakan, bahwa perwatakan tokoh, yaitu fisiologis,
psikologis dan sosiologis. Oleh karena itu, suatu perwatakan dapat diterima
secara wajar kalau ia dapat dipertanggungjawabkan secara sudut fisiologis,
sudut psikologis dan sudut sosiologis (1968:63).
Kajian tentang penokohan (perwatakan) dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring meliputi tokoh protagonis, yaitu Van
Steffen (De Combosch) dan tokoh komplementer yaitu Ni Luh Rai, Ni Luh Kompiyang
dan Sersan De Bosch.
1.
Tokoh Protagonis
Kajian terhadap tokoh protagonisnya yakni Van Steffen yang dilihat dari
sudut fisiologis, ia digambarkan sebagai seorang yang tampan. Hal ini dapat
disimak pada kutipan di bawah ini.
Duk punika Van Steffen ngangge stelan jas
putih bersih, ngangge dasi kupu-kupu pelung dongker. Tenar bingar pakantennyane
Van Steffen semeng punika. Gumanti Van Steffen makanten gagusan yen saihang
ring timpal-timpalnyane.
Terjemahan
bebasnya :
Ketika itu Van
Steffen menggunakan stelan jas putih bersih, menggunakan dasi kupu-kupu biru
dongker. Riang gembira kelihatannya Van Steffen pagi itu. Memang Van Steffen
terlihat lebih tampan jika dibandingkan dengan teman-temannya.
Selain itu, secara fisiologis Van Steffen juga digambarkan sebagai orang
yang berpostur tubuh orang Asia. Perhatikan
kutipan berikut :
Pangadeg ipun nyepek nyempaka, nenten ja
landung agul-agul kadi timpalnyane lianan. Paningalan miwah boknyane selem,
nanging timpal-timpal ipune mapaningalan pelung tur mabok jagung.
Terjemahan bebasnya :
Perawakannya
tinggi semampai, tidaklah tinggi gagah seperti temannya yang lain. Mata dan
rambutnya hitam, tetapi teman-temannya bermata biru dan berambut jagung.
Petikan di atas melukiskan bahwa Van Steffen mempunyai bentuk tubuh dan
ciri-ciri orang Asia, yaitu perawakannya
tinggi semampai, mata dan rambut hitam yang membedakannya dengan teman-teman
Eropanya.
Secara psikologis, Van Steffen digambarkan sebagai orang yang senang
membaca. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah ini.
Yening Van Steffen sedek sareng ring
timpal-timpalnyane ipun sane dados juru basa, santukan ipun naen kursus basa Indonesia ring mahasiswa Indonesia sane
wenten ring Negeri Belanda. Samaliha ipun oneng memaca buku-buku indik Indonesia,
miwah satua-satua pawayangan.
Terjemahan bebasnya :
Kalau Van
Steffen sedang dengan teman-temannya, ia yang menjadi penterjemah, karena ia
pernah kursus bahasa Indonesia kepada mahasiswa Indonesia yang ada di Negara
Belanda. Lagi pula ia senang membaca buku-buku tentang Indonesia, dan cerita-cerita
pewayangan.
Petikan di atas melukiskan bahwa Van Steffen senang membaca buku-buku,
terutama tentang Indonesia
dan cerita-cerita pewayangan. Selain itu, Van Steffen juga digambarkan sebagai
orang yang memahami nasihat orang suci (pemangku)
tentang cerita masyarakat Bali. Untuk
jelasnya, perhatikan kutipan berikut.
Duk punika eling ipun ring piteket Dane Jro
Mangku, mungguing manut ucap lontar Ushana Bali, klebutan Tirta Empule punika
gumanti sangkaning pangredanan Ida Batara Indra daweg payudan arepe ring Sri
Aji Mayadenawa. Sang Mayadenawa kaon ring payudan, rahnyane membah dados toya
Tukan Petanu, muah layonnyane dados taulan ring Pangkung Patas, kaler-kauhan
Tampaksiring. Asapunika tutur dane Jro Mangku, keni karesepang pisan olih ipun
Van Steffen.
Terjemahan bebasnya :
Pada waktu itu
ingat ia akan nasihat Jro Mangku, seperti yang termuat di dalam Lontar Ushana
Bali, mata air tirta empul itu merupakan hasil ciptaan Ida Batara Indra ketika
berperang melawan Sri Aji Mayadenawa. Sang Mayadenawa gugur dalam peperangan,
darahnya mengalir menjadi air Sungai Petanu, dan mayatnya menjadi taulan di
Pangkung Patas, barat laut Tampaksiring. Begitu cerita Jro Mangku, dapat
dipahami sekali oleh Van Steffen.
Dari sudut sosiologisnya, bahwa Van Steffen digambarkan sebagai orang
yang haus akan kasih sayang orang tua. Untuk jelasnya, perhatikan kutipan
berikut.
Sasampune ipun polih negtegang manah, las
manahnyane nuturang sapariindik sikian ipune. Ipun nenten uning ring meme bapa,
sadaweg alit ipun kapiara ring Yayasan Pemeliharaan Anak Yatim Piatu ring
Rotterdam, Negeri Belanda.
Terjemahan
bebasnya :
Sesudah ia
dapat menenangkan pikirannya, sedih hatinya menceritakan tentang dirinya. Ia
tidak tahu ibu dan bapak, dari kecil ia dirawat di Yayasan Pemeliharaan Anak
Yatim Piatu di Rotterdam, Negara Belanda.
Petikan di atas melukiskan bahwa Van Steffen adalah orang yang kurang
kasih sayang dari orang tuanya, bahkan sampai tidak mengetahui ibu dan
bapaknya. Hal tersebut disebabkan karena dari kecil ia dibesarkan dalam Yayasan
Yatim Piatu di Rotterdam, Belanda.
2.
Tokoh Komplementer
Dalam kajian tokoh komplementer, penulis akan uraikan satu persatu
penokohan (perwatakan) dalam tokohnya. Penokohan pertama yang akan penulis
uraikan yakni penokohan Ni Luh Rai.
Pandangan dari sudut fisiologis, Ni Luh Rai digambarkan sebagai gadis
berambut panjang. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut.
Sangkaning gegesonannyane, kandugi Ni Luh
Rai nyerod nyalempok. Pusungannyane embud, kanten boknyane magambahan selem
blayag, mapaid rauh soring silitnyane.
Terjemahan
bebasnya :
Karena
terburu-buru, tiba-tiba Ni Luh Rai jatuh bersimpuh. Sanggulnya lepas, terlihat
rambutnya terurai hitam bagaikan blayag lepas, terseret sampai di bawah
pantatnya.
Petikan di atas melukiskan bahwa Ni Luh Rai mempunyai rambut panjang dan
hitam terurai sampai di bawah pantatnya. Selain memiliki rambut yang panjang,
Ni Luh Rai juga digambarkan memiliki beris yang indah. Perhatikan kutipan
berikut.
Wastrannyane nyangsot munggah ngasab entud,
kanten betekan batisnyane mamudak putih gading, ngawe sumerah rah sang
ngantenang.
Terjemahan
bebasnya :
Kainnya
membalut naik sampai ke lutut, terlihat betisnya bagaikan pudak yang berwarna
kuning langsat, membuat bergelora darah orangn yang melihat.
Petikan di atas melukiskan bahwa Ni Luh Rai memiliki betis bagaikan pudak
yang berwarna kuning langsat sehingga siapa pun yang melihat akan tergoda
olehnya. Selain itu, Ni Luh Rai juga digambarkan sebagai gadis yang berlesung
pipit. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut.
Van Steffen gelis nyanyut ngambil lengen
ipun Ni Luh Rai. Ni Luh Rai kenyem kimud, kanten sujenannyane ring pipi kiwa,
maweweh manis pakantennyane.
Terjemahan
bebasnya :
Van Steffen
cepat mengambil lengannya Ni Luh Rai. Ni Luh Rai tersenyim malu, terlihat
lesung pipitnya pada pipi kiri, bertambah manis kelihatannya.
Pandangan dari sudut psikologis, Ni Luh Rai digambarkan sebagai seorang
gadis yang mandiri. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
…Warung lan kios-kios sane wenten ring jaba Pura
Tirta Empul punika kantun matutup. Wenten asiki mabukak kios ipun Ni Luh Rai
kemanten. Ni Luh Rai sedek nyapu mabersih-bersih. Saking alit kumalenjeng ipun
sampun malajah madolan togog, nanging tan taen ipun matanja kadi dagang-dagange
lianan.
Terjemahan bebasnya :
...Kedai dan
kios-kios yang ada di luar Pura Tirta Empul itu masih tertutup. Ada satu yang buka kiosnya
Ni Luh Rai saja. Ni Luh Rai sedang bersih-bersih. Dari kecil baru beranjak
remaja ia sudah belajar berjualan patung, tetapi tidak pernah ia menjajakan
seperti pedagang-pedagang yang lain.
Petikan di atas melukiskan bahwa Ni Luh Rai sudah belajar berjualan
patung sejak baru beranjak remaja. Selain mandiri, Ni Luh Rai juga digambarkan
sebagai gadis yang pintar dalam berbusana adat. Perhatikan kutipan di bawah
ini.
Duk punika ipun lan mabaju, masesenteng
songket barak nguda mabunga banyumas tatununan Amlapura. Mungguing kambennyane
endek cap togog Gianyar, madasar pelung langit mapinggiran mapinda kayonan
majajar-jajar. Pupur miwah alis-alisnyane tipis nyramat, ngranayang nlektekang
sang ngantenang. Lipstik nyane barak api tur masrinata lan masemi kadi
sasenengan para anom sane matuuh kadi ipun. Samaliha pusungannyane mapinda
angka kutus, masumpang jepun putih masusun remawa barak, ngawe maweweh abra
rupannyane tur maprabawa agung. Angob Van Steffen ngantenang indik kauningan
ipun Ni Luh Rai ngadungang payas.
Terjemahan bebasnya :
Ketika itu ia
tidak memakai baju, berselendang songket merah muda berbunga banyumas tenunan
Amlapura. Sedangkan kainnya endek lambang patung Gianyar, dengan dasar biru
langit berpinggiran berlambang pepohonan berjejer. Bedak dan alis-alisnya tipis
terlihat, menyebabkan memperhatikan orang yang melihat. Lipstiknya merah api
dan berponi seperti kesenangan para remaja yang seusianya. Serta sanggulnya
berbentuk angka delapan, berisikan bunga kamboja putih bersusun mawar merah,
menjadi bertambah cantik parasnya dan berwibaw agung. Kagum Van Steffen melihat
tentang kepintaran Ni Luh Rai memadukan hiasan (busana).
Petikan di atas melukiskan bahwa Ni Luh Rai begitu pintar dalam memadukan
busana dan hiasan yang dipakainya. Pandangan dari sudut psikologisnya, Ni Luh
Rai juga digambarkan sangat pintar membawa diri. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan kutipan berikut.
...katah para trunane mabudi ring Ni Luh Rai,
santukan sing solahang ipun nudut kayun, nanging sami kimud manyewaka, santukan
Ni Luh Rai dahat seleb makta raga.
Terjemahan bebasnya :
…Banyak para
pemuda berkeinginan kepada Ni Luh Rai, karena semua yang dilakukannya menarik
hati, tetapi semua malu mengatakan, karena Ni Luh Rai sangat pintar membawa
diri.
Petikan di atas melukiskan kepintaran Ni Luh Rai dalam membawa diri,
sehingga menyebabkan para pemuda tersebut malu dibuatnya.
Pandangan dari sudut sosiologis, Ni Luh Rai digambarkan tinggal di tengah
ladang yang asri. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada kutipan berikut.
Sakadi wenten mituduhang, ring tengahing
margi ipun kacunduk ring anak alit sedeng ngarit padang. Majalaran saking anak alit punika
prasida ipun kapanggih ring pondok ipun Ni Luh Rai, ring tengahing tegal
pabianan kaiter olih pangkung asri.
Terjemahan bebasnya :
Seperti ada
yang menakdirkan, di tengah jalan ia bertemu dengan anak kecil sedang menyabit
rumput. Melalui anak kecil itulah ia menemukan rumahnya Ni Luh Rai, di tengah
ladang perkebunan dikelilingi oleh kali yang asri.
Selanjutnya, akan disajikan penokohan (perwatakan) dari tokoh komplementer
yang kedua, yakni Ni Luh Kompiyang.
Pandangan dari sudut fisiologis, Ni Luh Kompiyang digambarkan sebagai
seorang ibu yang telah mempunyai anak. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini.
“Uling pidan kaden meme palas tekening
cening. Nah, ne jani mara ada swecan Ida Sang Hyang Widhi, meme katepuk
tekening cening,...cening.
Terjemahan bebasnya :
“Entah dari
kapan ibu berpisah denganmu Anakku. Ya, sekarang baru ada restu dari Ida Sang
Hyang Widhi, ibu bertemu denganmu, Anakku,…Anakku.
Pandangan dari sudut psikologis, Ni Luh Kompiyang digambarkan mempunyai
penyakit sakit kepala. Perhatikan kutipan berikut.
“Nyen ento kaajak ngomong Rai?” Matakon
memennyane saking pasareannyane ring umah meten. Dane sedek sungkan puruh
saking ituni.
Terjemahan bebasnya :
“Siapa itu
yang kamu ajak bicara, Rai?” Bertanya ibunya dari tempat tidurnya di rumah
meten. Ia sedang sakit kepala dari tadi.
Selain itu, Ni Luh Kompiyang juga digambarkan sebagai seorang wanita yang
rela berkorban. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah in.
Sangkaning naya-upayan para pemuda pejuang
anak buah Pak Rai, sane duk punika sampun nyingkir minggal puri, Ni Luh Kompiyang
raris nyupraba Dutha, lamakane Sersan De Bosch nyumbangang senjata ring para
pemudane. Sersan De Bosch tinut, tur nyumbangang pestol kalih makudang-kudang
mimisnyane, maduluran granat lan ubad-ubadan.
Terjemahan bebasnya :
Berkat upaya
para pemuda pejuang anak buah Pak Rai, yang pada waktu itu sudah berpindah
meninggalkan puri, Ni Luh Kompiyang lalu menjadi utusan perempuan, supaya
Sersan De Bosch menyumbangkan senjata kepada para pemuda. Sersan De Bosch
menurut, dan menyumbangkan pistol dan berbagai pelurunya, disertai granat dan
obat-obatan.
Petikan di atas melukiskan, sifat Ni Luh Kompiyang yang rela untuk berkorban
demi mendapatkan simpati, agar Sersan De Bosch menyumbangkan obat-obatan,
pistol beserta peluru dan granat kepada para pemuda pejuang.
Pandangan dari sudut sosiologis, Ni Luh Kompiyang digambarkan pernah
bekerja maderep di Canangsari. Perhatikan kutipan berikut.
...dane sareng timpal-timpalnyane ngrereh
karya maderep ka Gunung Carangsari. Duk punika dane wau munggah daa.
Terjemahan
bebasnya :
…ia bersama
teman-temannya mencari kerja mederep ke Gunung Carangsari. Pada waktu itu ia
baru memasuki “akil baliq”.
Petikan di atas menggambarkan bahwa Ni Luh Kompiyang ketika baru memasuki
“akil baliq”, ia ikut dengan teman-temannya untuk maderep ke Carangsari. Selain
itu, Ni Luh Kompiyang juga digambarkan sebagai istri dari Sersan De Bosch.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah ini.
Antuk suara serak asawang tangis Men Luh Rai
raris nuturang sapariindiknyane saking ngawit ngrereh karya maderep ka
Carangsari, jantos dane kaanggen somah olih Sersan De Bosch.
Terjemahan
bebasnya :
Dengan suara serak
disertai tangis Men Luh Rai (Ni Luh Kompiyang) lalu menceritakan perihal
dirinya dari baru mencari kerja maderep ke Carangsari, sampai ia diperistri
oleh Sersan De Bosch.
Selanjutkan akan disajikan penokohan (perwatakan) tokoh komplementer yang
ketiga, yaitu Sersan De Bosch.
Pandangan dari sudut fisiologis, Sersan De Bosch digambarkan sebagai
seorang anggota Tentara Kerajaan Belanda. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut.
Saking direktur yayasan punika ipun polih
keterangan, yening pecak bapan ipune dados anggota Tentara Kerajaan Belanda.
Terjemahan bebasnya :
Dari Direktur
Yayasan tersebut ia memperoleh keterangan, kalau dulu bapaknya menjadi anggota
Tentara Kerajaan Belanda.
Pandangan dari sudut psikologis, Sersan De Bosch digambarkan sebagai
orang yang baik hati. Perhatikan kutipan berikut.
Sersan punika polos pisan. Kalah ipun
makidihang ubad-ubadan ring ida dane irika. Sandang becika duk punika
ubad-ubadan sangka pisan.
Terjemahan
bebasnya :
Sersan itu
baik sekali. Banyak ia memberikan obat-obatan untuk para pemuda pejuang. Karena
ketika itu Sersan De Bosch menjabat sebagai Sersan Kesehatan Tentara Gajah
Merah tersebut.
Pandangan dari sudut sosiologis, Sersan De Bosch digambarkan sebagai
suami dari Ni Luh Kompiyang. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah
ini.
Mangkin wau dane uning ring indik ipune
Sersan De Bosch, lanangnyane, sampun kecag ring payudan.
Terjemahan
bebasnya :
Sekarang baru
ia mengetahui tentang Sersan De Bosch, suaminya, sudah gugur dalam peperangan.
Petikan di atas melukiskan bahwa Sersan De Bosch adalah suami dari Ni Luh
Kompiyang, yang telah gugur dalam perang di Lembang, Bandung.
3.1.6
Latar
(Setting)
Latar dari suatu cerita atau karya sastra adalah tempat secara umum dan
waktu (massa)
di mana saksi-saksi terjadi. Latar adalah lingkungan, dan lingkungan terutama
dalam lingkungan rumah tangga, dapat merupakan menatomi atau metafora,
pernyataan (perwujudan) dari watak. Latar dapat menjadi (merupakan) pernyataan
dari sebuah keinginan manusia. Ia dapat, bilamana ia merupakan latar alam,
sebagai proyeksi dari keinginan (Wallek, 1976:221).
Latar sebagai salah satu unsur yang penting dari struktur cerpen
memperlihatkan suatu hubungan yang kait berkait dengan unsur-unsur struktur
lainnya. Tidak saja erat hubungannya dengan penokohan, tetapi juga amat erat
hubungannya dengan tema dan amanat yang diungkapkan di dalam sebuah cerpen.
Latar di dalam cerpen Katemu Ring
Tampaksiring adalah latar yang dengan mudah bisa diidentifikasikan kembali
dengan tempat yang ada dalam kenyataan. Cerpen Katemu Ring Tampaksiring merupakan sebuah cerpen rekaan, dan bukan
sebuah kenyataan yang sebenarnya (realitas-objektif). Akan tetapi, karena
pengarang menyebut sebuah nama dari sebuah tempat atau sebuah kejadian di dalam
sebuah cerita, tentulah bukan tanpa maksud. Sebuah nama mewakili dari sebuah
pengertian, akan tidak mungkin misalnya menukar sebuah nama dari suatu tempat
dengan nama tempat yang lain, karena hal tersebut akan dapat menimbulkan
perubahan pengertian, perubahan semangat di dalam cerita (Esten, 1990:116).
Demikian pula dalam cerpen Katemu
Ring Tampaksiring telah memilih beberapa nama tempat di mana peristiwa –
peristiwa telah terjadi. Carangsari, adalah daerah di mana terjadi pertemuan
antara Ni Luh Kompiyang dengan Sersan De Bosch, hingga mereka menikah dan
mempunyai anak yang bernama Combosch. Ketika de Combosch berusia kurang lebih
tiga tahun, Sersan De Bosch dipindahtugaskan ke Lembang, Bandung hingga akhirnya ia gugur dalam
peperangan.
Rotterdam,
Belanda merupakan tempat Van Steffen dibesarkan dalam sebuah yayasan yatim
piatu yang bernama Yayasan Pemeliharaan Anak Yatim Piatu. Di tempat itu pula
Van Steffen pernah mengikuti kursus bahasa Indonesia pada mahasiswa Indonesia yang sedang ada di sana.
Kemudian Tampaksiring, merupakan tempat “bermainnya” para pelaku atau tokoh dalam cerpen ini. Hal
ini disebabkan karena dari awal hingga akhir ceritanya mengambil latar di
Tampaksiring, seperti Pura Tirta Empulm art shop Ni Luh Rai, dan rumah Ni Luh Kompiyang.
Rumah Ni Luh Kompiyang merupakan tempat terjadinya insiden yang paling penting
dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring,
karena di rumah tersebutlah terjadi pertemuan yang mengharukan antara Van
Steffen dengan ibunya (Ni Luh Kompiyang).
Mengeni latar waktu di dalam cerpen Katemu
Ring Tampaksiring ini, penulis tidak dapat menyampaikan secara detail,
sebab di dalam setiap insidennya tidak ada yang menyatakan tanggal, bulan
ataupun tahun tentang insiden tersebut. Meskipun demikian, kalau dilihat dari
isi cerita, dan tokoh-tokohnya yang multibangsa, penulis dapat berkesimpulan
bahwa terjadinya insiden-insiden dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring adalah setelah Indonesia merdeka. Dikenal dalam
sejarah bahwa setelah Indonesia
mencapai kemerdekaan, keadaan negara pada saat itu masih sangat genting. Hal
tersebut disebabkan karena setelah Indonesia
merdeka, pejuang Indonesia
masih harus menghadapi para penjajah yang bersikeras ingin merebut kembali
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3.1.7
Tema
Tema merupakan pokok persoalan yang ada pada setiap karya sastra. Sebagai
persoalan, tema merupakan sesuatu yang netral. Pada hakekatnya, di dalam tema
belum ada sikap, belum ada kecenderungan untuk memihak. Oleh karena itu,
masalah apa saja dapat dijadikan tema di dalam sebuah karya sastra. Semakin
baik bentuk karya sastra, maka semakin jelaslah temanya, sebab tema adalah
makna dari karya sastra secara keseluruhan.
Tema di dalam sebuah karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari
sendiri oleh pembaca. Pengarang hanya menyuguhkan kejadian dalam cerita yang
saling berhubungan, sehingga dapat memperjelas persoalan yang dikemukakan.
Purwadarminta mengatakan bahwa tema adalah pokok pikiran, dasar cerita
yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar pengarang (1976:1040). Sedangkan
Hutagalung juga menyatakan bahwa tema adalah persoalan yang berhasil menduduki
tempat utama dalam cerita (1967:77). Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan kalau
dikatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dari seluruh cerita.
Suatu cerita tidak mempunyai tema tentu kurang manfaatnya bagi pembaca
(Tarigan, 1984:125).
Di dalam sebuah karya sastra, ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk
menentukan tema yaitu : (1) dengan melihat persoalan mana yang menonjol, (2)
secara kuantitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik.
Konflik-konflik melahirkan peristiwa-peristiwa, dan (3) dengan menentukan atau
menghitung waktu penceritaan yaitu yang diperlukan untuk menceritakan
peristiwa-peristiwa ataupun tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra (Esten,
1990:92).
Tema dalam suatu karya sastra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (a)
tema pokok, dan (b) tema sampingan. Tema pokok, yaitu tema utama yang
terkandung dalam suatu karya sastra yang mengacu pada satu tema. Tema
sampingan, yaitu tema kecil yang berfungsi sebagai pendukung dari tema utama
dalam karya sastra.
1.
Tema Pokok
Tema pokok dalam cerpen Katemu Ring
Tampaksiring adalah masalah identitas pribadi dalam kehidupan sosial.
Cerpen ini menggambarkan, bahwa betapa pentingnya identitas pribadi tersebut
bagi seseorang dalam konteksnya dengan kehidupan sosial dan budaya Bali. Adapun yang menggambarkan masalah tentang identitas
pribadi pada tokohnya, dapat dilihat pada kutipan berikut.
…Men Luh Rai tumuli nuturang teges wasta De
Combosch punika. Com tegesnyane Kompiyang, miwah Bosch tegesnyane De Bosch.
Dadiyata De Combosch, tegesnyane panunggalan wiadin pasikian wastan meme muah
bapan Van Steffen punika.
Terjemahan
bebasnya :
…Men Luh Rai
lalu menceritakan arti dari nama De Combosch tersebut. Com artinya Kompiyang,
dan Bosch artinya De Bosch. Dadi De Combosch, artinya penyatuan atau
penggabungan nama ibu dan bapaknya Van Steffen.
2.
Teori Sampingan
Disamping tema pokok, ada juga tema sampingan yang berfungsi sebagai
pendukung dari tema pokok dalam cerita. Adapun tema sampingan dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring adalah
pertemuan antara ibu dan anaknya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
....Manawita sangkaning sampun titah Ida
Sang Hyang Tuduh, manah Van Steffen raris ngayuh angalap kasor, tumuli gelis
nyaup batis memennyane sinambi asasambat :
“Oh,...Moeder!...Oh,...Vader!”Raris Van
Steffen ngeling sengi-sengi, yeh peningalane membah melusang baju. Gelis
memennyane mapisihin angasih-asih. Yeh peninggalannyane paketeltel nigenin
sirah Van Steffen kadi anak nyiratin tirta panglukatan yen nirgamayang.
Terjemahan
bebasnya :
…Barangkali
sudah takdir Ida Sang Hyang Tuduh, hati Van Steffen lalu reda, kemudian cepat
memeluk kaki ibunya sambil sesenggukan :
“Oh Ibu!...Oh
Bapak!” Lalu Van Steffen menangis sesenggukan. Air matanya berlinang membasahi
bajunya. Segera ibunya mengelus-elus penuh kasih sayang. Air matanya menetes
mengenai kepala Van Steffen seperti orang mencipratkan tirta penglukatan jika
diumpamakan.
Petikan di atas melukiskan pertemuan yang mengharukan antara Van Steffen
dengan Ni Luh Kompiyang (ibunya).
3.1.8
Amanat
Amanat merupakan pemecahan persoalan yang terkandung di dalam tema. Setiap
karya sastra mempunyai amanat, yang merupakan tujuan dari penulisan ceritanya.
Hanya saja terkandung tujuan tersebut tidak disadari, namun dia tetap ada, baik
itu secara eksplisit ataupun secara implisit. Bahkan ada juga amanat yang tidak
nampak sama sekali di dalam ceritanya.
Narayana mengatakan bahwa amanat adalah kesan dan pesan yang berdasarkan
atas pengetahuan pengarang yang ingin disampaikan kepada orang lain melalui
perantara cerita yang dibangunnya (1992:133). Amanat tersebut dapat berupa
pengajaran pendidikan, etika, adat istiadat, agama, sosial dan sebagainya
sesuai dengan luas dan sempitnya pengetahuan pengarang.
Dari uraian di atas, maka ditarik kesimpulan bahwa amanat merupakan
tujuan penulisan yang ingin disampaikan kepada orang lain (pembaca atau
pendengar), baik itu secara eksplisit (berterang-terangan) maupun secara
implisit (tersirat) melalui perantara cerita yang dibangunnya.
Jadi, amanat yang disampaikan di dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring adalah :
1.
Pentingnya identitas pribadi dalam kehidupan sosial.
Hal ini dapat diketahui melalui pokok persoalan yang menyebabkan konflik di
dalam tokoh-tokoh ceritanya. Di dalam cerpen ini digambarkan bahwa identitas
pribadi seseorang sangatlah penting, terutama dalam kehidupan sosial. Karena
identitas pribadi dapat menunjukkan latar belakang dan silsilah keluarga
seseorang.
2.
Cinta seorang ibu kepada anaknya tidak akan lekang oleh
waktu. Walaupun mereka berpisah dalam jangka waktu yang lama, namun perpisahan
bukan akhir dari cinta seorang ibu pada anaknya. Dengan perpisahan, anak akan
lebih mengerti akan arti hidup tanpa seorang ibu, begitu juga dengan sang ibu.
Seorang ibu selalu menginginkan agar bisa tumbuh dan berkembang seiring waktu
dalam kasih sayangnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Simpulan
Dari segi strukturnya, cerpen Katemu Ring Tampaksiring dibangun oleh unsur instrinsik yang
meliputi : alur, plot, insiden, tokoh, penokohan (perwatakan), latar (setting),
tema dan amanat. Semua unsur-unsur tersebut tidaklah berdisi sendiri tanpa
hubungan satu sama lainnya, melainkan kesemuanya merupakan satu kesatuan yang
utuh.
Cerpen ini menggunakan alur longgar (flash back), karena di dalam ceritanya
mengisahkan tentang kehidupan masa lalu para tokohnya. Plotnya dibentuk oleh
insiden-insiden yang terjalin dalam hubungan sebab akibat yang logis. Dan untuk
mengetahui logis tidaknya suatu plot dalam cerpen ini, hal tersebut dapat
dilihat melalui rangkaian peristiwa yang membentuknya, yaitu eksposisi,
konflikasi, klimaks, antiklimaks dan resolusi.
Insiden-insiden yang terdapat dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring dapat diuraikan
menjadi lima
insiden. Tokoh dalam cerpen ini ada dua, yaitu tokoh protagonis dan tokoh
komplementer. Tokoh protagonisnya yakni Van Steffen (De Combosch), sedangkan
tokoh komplementernya yaitu Ni Luh Rai, Ni Luh Kompiyang, dan Sersan De Bosch.
Ditinjau dari segi penokohan (perwatakan), penulis
memandang dari tiga sudut yaitu sudut fisiologis, sudut psikologis, dan sudut
sosiologis. Latar (setting) dalam cerpen ini menggunakan latar yang mudah
diidentifikasikan dengan tempat dalam kenyataan, yaitu Carangsari, Rotterdam (Belanda) dan
Tampaksiring.
Cerpen Katemu Ring
Tampaksiring mempunyai dua tema, yaitu tema pokok dan tema sampingan. Tema
pokok yang terkandung dalam cerpen ini adalah masalah identitas pribadi dalam
kehidupan sosial. Sedangkan tema sampingannya adalah pertemuan antara ibu
dengan anaknya.
Amanat yang terkandung di dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring adalah : (1) pentingnya identitas pribadi dalam
kehidupan sosial, (2) cinta seorang ibu kepada anaknya tidak akan lekang oleh
waktu. Demikianlah simpulan yang dapat penulis uraikan dalam kajian struktural
dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring.
4.2
Saran
Sesuai dengan pemaparan di dalam pembahasan tersebut, kajian ini hanya
menyajikan tentang struktural dalam cerpen Katemu
Ring Tampaksiring. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan ini hanya mengkaji
sebagian kecil dari isi secara keseluruhan dalam cerpen ini. Banyak yang masih
dapat dikaji ataupun dianalisis dalam cerpen ini dengan lebih mendalam. Kajian
ataupun analisis tersebut sangat diperlukan untuk memperjelas bentuk struktural
dalam cerpen Katemu Ring Tampaksiring.
Adanya kajian atau analisis lanjutan tersebut merupakan suatu kontribusi yang
besar terhadap pelestarian Karya Sastra Bali Modern.
Karya Sastra Bali Modern merupakan aspek kebudayaan daerah yang harus
tetap dilestarikan, mengingat kuatnya karya sastra Bali klasik menguasai tata
hidup masyarakat Bali. Pelestarian dan
perwujudan unsur kebudayaan daerah dalam forma yang lebih akurat tidak lain
merupakan usaha untuk menunjukkan identitas kultural masing-masing dalam
konteks kebudayaan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Bahasa Denpasar. 2005. Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin. Denpasar : Balai Bahasa
Denpasar, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 2005.
Kasusastraan Bali. Denpasar.
Eddy, Nyoman Tusthi. 1991. Mengenal
Sastra Bali Modern. Jakarta : Balai Pustaka.
Esten, Mursal. 1990. Sastra
Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung
: Angkasa.
Putra, I Nyoman Darma. 2000. Tonggak
Baru Sastra Bali Modern. Yogyakarta : Duta Wacana
University Press.
Suarjana, I Nyoman Putra. 2008. “Prosa
Bali Anyar”. Materi Kuliah Jurusan Bahasa dan Sastra Daerah Bali, IKIP PGRI
Bali.
Suwija, I Nyoman. 2005. Kamus
Anggah-Ungguhing Basa Bali. Denpasar :
Sanggar Ayu Suara.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu
Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta
: Pustaka Jaya Giri Mukti Pustaka.
Tarigan. 1984. Prinsip-Prinsip
Dasar Sastra. Bandung
: PN Angkasa.
Tim Penyusun. 2005. Pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Klaten : PT Intan Pariwara.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta : PT. Gramedia.
Yudiono, K.S. 1986. Telaah
Kritik Sastra. Jakarta
: PT. Maju.
Yuwono, Trisno dan Pius Abdullah. 1994. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
Praktis. Surabaya
: Arkola.