Aksara, Basa, lan Sastra Bali

"Om Swastyastu, swasti prapta aturang titiang majeng ring para sameton blogger sami, durusang macecingak ring blog titiang, pinaka anggen jalaran masadu wirasa, mogi-mogi wenten pikenohnyane"
Tampilkan postingan dengan label APRESIASI SASTRA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label APRESIASI SASTRA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Mei 2013

Contoh Telaah Prosa Bali



ANALISIS TEMA CERPEN JULIA
KARYA IDB WAYAN WIDIASA KENITEN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Karya sastra merupakan suatu bentuk yang dapat digunakan untuk mempelajari hidup dan kehidupan pada masyarakat. Di dalamnya terkandung informasi pengetahuan yang bersumber pada intelektualitas pengarangnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya karya sastra pada umumnya bersifat fiktif. Oleh karena itu, karya sastra tersebut disebut sebagai karya sastra fiksi. Altenberd (Nurgiyantoro, 2000: 2), fiksi dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia”. Penyeleksian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja, bersifat subjektif.
Fiksi juga menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, dengan diri sendiri, dan dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Oleh karena itu, fiksi merupakan sebuah cerita yang  tidak hanya bertujuan estetik, tetapi juga memberikan hiburan kepada pembaca. Melalui sarana cerita itu pembaca secara tidak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan oleh pengarang. Hal itu disebabkan cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan.
Salah satu bentuk karya sastra yang berupa fiksi itu adalah cerpen. Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santosa dan Wahyuningtyas, bahwa cerpen sebagai jenis sastra yang khusus dapat dibaca sekali duduk dalam waktu satu atau dua jam (2010: 2).
Cerpen merupakan jenis karya sastra yang paling banyak dibaca orang dengan pemahaman yang cukup memadai. Cerpen banyak menggunakan bahasa yang lugas dan mengacu pada makna denotatif sehingga lebih bersifat transparan. Namun adapula cerpen yang tidak transparan, bersifat prismatis dan penuh dengan perlambangan. Menurut Hendy (1989: 184) cerpen memiliki beberapa ciri, yaitu: panjang kisahannya lebih singkat daripada novel, alur ceritanya rapat, berfokus pada satu klimaks, memusatkan cerita pada tokoh tertentu, waktu tertentu, dan situasi tertentu, sifat tikaiannya dramatik, yaitu berintikan pada perbenturan yang berlawanan, dan tokoh-tokoh di dalamnya ditampilkan pada suatu latar atau latar belakang melalui lakuan dalam satu situasi.
Keberadaan cerpen sebagai salah satu karya sastra diperkirakan muncul sekitar tahun 1970-an. Sebagian besar diantaranya merupakan hasil sayembara. Cerpen-cerpen pada babak permulaan dibuat atas dasar “mencoba-coba” dengan memadukan tradisi bercerita Bali dengan gaya bercerita dalam bahasa Indonesia. Dalam hal gaya, cerpen sastra Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu cerpen dari pengarang yang berfungsi ganda (selain mengarang dalam bahasa Bali, juga mengarang dalam bahasa Indonesia), jelas sekali menunjukkan adanya pengaruh struktur cerpen Indonesia. Sebaliknya dari pengarang yang berfungsi tunggal (hanya mengarang dalam bahasa Bali), lahirlah cerpen yang sangat dipengaruhi oleh gaya bercerita Bali (Eddy, 1991: 30).
Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita pendek yang memiliki alur rapat, fokus pada satu klimaks, pertikaiannya dramtik, dan dibaca dalam sekali duduk.
Cerpen sebagai salah satu karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini setiap pengarang memiliki cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya. Untuk menguak isi dari cerpen tersebut, maka diperlukan suatu analisis. Namun, Ratna (2009: 330) menyatakan bahwa analisis yang baik adalah kajian yang memelihara keseimbangan antara prinsip linguistik dan sastra kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian aspek estetis.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pada kesempatan ini penulis akan menganalisis cerpen yang berjudul Julia buah karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten. Dalam cerpen tersebut terdapat beberapa unsur instrinsik yang menjalin ceritanya, yaitu tema, alur, insiden, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, majas (gaya bahasa), dan amanat. Akan tetapi, dari kesemuanya tersebut unsur tema yang banyak mendominasi cerpen tersebut.

1.2       Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah tema yang terkandung dalam cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten?

1.3       Tujuan Analisis
Sebuah penelitian ilmiah tentu memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Demikian juga hanya dengan tulisan ini. Tujuan analisis ini dapat dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1    Tujuan Umum
Dari kajian cerpen ini penulis mengharapkan karya sastra Bali, terutama karya sastra Bali modern mendapat tempat yang baik di hati masyarakat Bali, sehingga masyarakat Bali tidak perlu lagi merasa ragu akan eksistensi karya sastra Bali modern di tengah kuatnya karya sastra Bali klasik menguasai tata hidup masyarakat Bali. Selain itu, analisis ini merupakan suatu bentuk apresiasi, pelestarian, dan pengembangan karya sastra Bali Modern dalam bentuk cerpen.

1.3.2    Tujuan Khusus
Sesuai dengan permasalahan yang dijabarkan dalam rumusan masalah, maka dapat dikemukakan tujuan khusus analisis ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk memaparkan tema yang terkandung dalam cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten.
1.4       Manfaat Analisis
Adapun manfaat yang diperoleh dari analisis ini dapat dibedakan atas (1) manfaat teoretis dan (2) manfaat praktis.

1.4.1    Manfaat Teoretis
Adapun manfaat dari analisis ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk memberikan apresiasi terhadap karya sastra Bali Modern.
2.      Sebagai bahan acuan dalam pengkajian sastra Bali Modern berupa cerpen.

1.4.2    Manfaat Praktis
Adapun maanfaat praktis dari  analisis ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagi penulis, dapat mengasah kemampuan dalam mengapresiasi sastra Bali Modern berupa cerpen, serta menjadi pedoman dalam mengkaji karya sastra yang sejenis.
2.      Bagi peneliti lain, sebagai motivator untuk meningkatkan kepedulian terhadap eksistensi kesusastraan Bali.
3.      Bagi masyarakat luas, dapat dijadikan sebagai suatu kajian yang menambah informasi dan wawasan tentang sastra dan sosiolinguistik.

1.5       Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang dimaksud adalah untuk membatasi ruang atau gerak dari analisis ini, sehingga terhindar dari penafsiran di luar dari kajian yang dilaksanakan. Oleh karena itu, pembahasan topik analisis ini hanya dibatasi pada analisis tema dari cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tema Cerpen Julia
Pada prinsipnya, tema disebut juga sebagai ide sentral atau makna sentral suatu cerita. Tema merupakan jiwa cerita itu (Santon, 1965: 4; Santosa dan Wahyuningtyas, 210: 2). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tema merupakan inti atau pokok persoalan dari sebuah cerita rekaan. Tema terbentuk melalui hubungan di antara unsur-unsur cerita yang lain. Unsur-unsur yang berbeda namun merupakan satu kesatuan membentuk suatu permasalahan dan diharapkan mendapat pemecahan melalui tokoh ceritanya.
Dalam penghayatan suatu cerita rekaan, tidak jarang pembaca bertemu dengan kadar yang berbeda. Masalahnya yang benar-benar menonjol dan mendominasi persoalan dalam suatu cerita rekaan itulah yang disebut dengan tema utama dan tema bawahan (Santosa dan Wahyuningtyas, 2010: 3). Meskipun telah ada batasan terhadap keberadaan tema dalam cerita rekaan, namun masih belum memadai. Hal ini karena tema bukanlah unsur yang dapat dengan mudah ditemukan dalam cerita, namun justru tema hanya unsur yang terimplisit di dalamnya sehingga membutuhkan ketelitian dan interpretasi yang tajam untuk menentukannya.
Di dalam sebuah karya sastra, ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menentukan tema, yaitu: (1) dengan melihat persoalan mana yang menonjol, (2) secara kuantitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik. Konflik-konflik melahirkan peristiwa-peristiwa, dan (3) dengan menentukan atau menghitung waktu penceritaan yaitu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa ataupun tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra (Esten, 1990: 92).
Berdasarkan uraian di atas, maka tema yang terdapat dalam cerpen Julia, yaitu berupa tema utama (pokok) dan tema bawahan (sampingan), namun ikut mendukung tema utama.

2.1.1 Tema Utama Cerpen Julia
Dengan melakukan pengamatan dan analisis terhadap sumber data, maka diketahui bahwa  tema utama dari cerpen Julia, yaitu masalah tanah (kuburan di Bali). Persoalan tentang tanah membuat tokoh dalam cerita menjadi mengalami klimaks dan perubahan nasib ‒ meskipun tidak banyak cerpen yang menyajikan hal itu, karena perubahan nasib lebih banyak terjadi pada cerita berupa novel atau roman. Cerpen Julia memberikan cerminan bahwa di Bali terjadi masalah antara hak mendapatkan kuburan, dalam cerita dikatakan bahwa orang asing lebih mudah mendapatkan hak untuk mendapatkan kuburan pada waktu dia meninggal dibandingkan dengan orang Bali yang justru mengalami keadaan yang sebaliknya. Oleh karena itu, interpretasi tema tersebut juga mewakili akan adanya kritik sosial bagi masyarakat Bali terhadap perebutan hak tanah kuburan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam kutipan berikut.
"…, anak Baline nenten dados nanem ring setrane. Mayitne maparebutin. Ipun mamanah-manah Nusa Baline kaucap santhi dados sering pisan wenten mayit nenten polih setra. Ipun jerih. Benjangan sinah ipun nenten pacang polih setra. Eling ring nenten naen mabanjar punapi malih makrama desa" (halaman 4, paragraf 13).

 Terjemahan bebasnya:
"…, orang Bali itu tidak boleh menguburkan di kuburan. Mayatnya diperebutkan. Dia berpikir Pulau Bali dikatakan damai menjadi sering sekali ada mayat tidak mendapatkan kuburan. Dia takut. Nanti pasti dia tidak akan mendapatkan kuburan. Ingat karena tidak pernah mabanjar apa lagi menjadi anggota desa."

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Julia sebagai orang Amerika yang menikah dengan I Gede ‒ merupakan orang Bali ‒ merasa khawatir dengan keadaannya yang telah menjadi seorang istri orang Bali. Kutipan tersebut mengungkapkan ketidakpercayaan tokoh dengan keadaan Bali yang sekarang, hingga terjadi perebutan hak menguburkan mayat di kuburan. Karena berdasarkan pengetahuannya, orang Bali dikenal ramah, baik, sopan, memiliki etika dan estetika yang tinggi sehingga orang luar menilai bahwa orang Bali tentu juga memiliki hubungan yang harmonis di dalam masyarakatnya. Namun kenyataannya adalah justu ada orang Bali sendiri yang tidak bisa mendapatkan kuburan ketika mau menguburkan mayat. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
"Reraman tiange nenten banget makesiab santukan sampun saking riin meweh pisan ngrereh setra ring Bali yadiastun makrama Bali. Yan anak saking durapulo wau danganan matanem. Anake saking durapulo nenten wenten mabanjar punapi malih jagi ngrembanin Pura Desa, Puseh, Dalem" (halaman 4-5, paragraf 15).

Terjemahan bebasnya:
"Orang tua saya tidak terlalu terkejut karena sudah dari dahulu sulit sekali mencari kuburan di Bali meskipun menjadi masyarakat Bali. Kalau orang dari luar pulau baru mudah dikubur. Orang dari luar pulau tidak ada yang mabanjar apa lagi akan menjaga Pura Desa, Puseh, Dalem."

Kutipan di atas, mencerminkan bahwa menjadi orang Bali tidak menjamin untuk mendapatkan kuburan. Hal ini jelas telah terjadi diskriminasi antara orang Bali dengan orang luar yang belum tentu akan ikut menjaga dan melestarikan pura terutama Pura Kahyangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem). Akan tetapi mendapatkan tempat yang istimewa di Bali.
Persoalan tanah kuburan dalam cerpen Julia lebih eksplisit tergambarkan di dalam alur ceritanya. Oleh karena itu, persoalan tanah di Bali menjadi masalah yang serius dan perlu mendapatkan penangan serta perhatian dari pihak berwajib. Jangan sampai permasalahan tanah kuburan menyebabkan ketidakharmonisan dalam hidup masyarakat Bali. Dengan demikian jelas tidak sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana yang menjadi pandangan hidup orang Bali.
Dalam ajaran Tri Hita Karana dijelaskan bahwa manusia selain menjaga hubungan yang harmonis dengan Parhyangan (Tuhan), juga menjalani hubungan yang harmonis dengan Pawongan (manusia lainnya ‒ orang Bali), serta menjaga keharmonisan dengan Palemahan (alam sekitar, tempat tinggal manusia itu sendiri). Namun melalui tema utama dalam cerpen Julia tersebut, telah terjadi ketidakharmonisan antara orang Bali sebagai pawongan dengan palemahan-nya, yaitu tanah kuburan yang dipersengketakan. Dengan adanya ketidakharmonisan dengan palemahan akan membawa dampak pada ketidakharmonisan hubungan di antara orang Bali. Hal ini dapat dicermati pada kutipan di bawah ini.
"Reraman  tiange sampun biasa miragiang utawi ngantetang jadma Bali kasepekang. Kudang mayit sampun dados rerebutan. Katah mayit sampun kajagain olih polisi. Yang ring anake ka setra kairing antuk gegitan sane lemuh nglangenin. Magentos dados dengkrak-dengkrik sane nguledin" (halaman 5, paragraf 5).

Terjemahan bebasnya:

"Orang tua saya sudah biasa mendengar atau menyatukan orang Bali yang dikucilkan. Berapa mayat telah menjadi rebutan. Banyak mayat telah dijaga oleh polisi. Kalau orang ke kuburan diiringi dengan nyanyian yang indah. Berbalik menjadi percekcokan yang menggelikan."

Kutipan di atas melukiskan bahwa pertengkaran yang terjadi di antara orang Bali dilatarbelakangi oleh tanah, dalam hal ini adalah hak menguburkan mayat di kuburan. Mengingat situasi dan perkembangan sosial masyarakat Bali, jelas tanah menjadi sesuatu yang sangat penting. Namun mengapa permasalahan tersebut harus berdampak pada masyarakat Bali yang telah berdomisili serta menjadi krama desa dan banjar? Mengapa orang Bali cenderung lebih suka bertengkar dengan sesama orang Bali dibandingkan dengan orang luar? Ini yang perlu mendapat sorotan dan dicarikan solusi. Namun pada pembahasan ini hanya disajikan permasalahan tersebut tanpa membahas lebih lanjut.

2.1.2 Tema Sampingan Cerpen Julia
Selain memiliki tema utama, cerpen Julia juga memiliki tema sampingan, yaitu pernikahan campuran. Hal ini terjadi antara tokohnya yang bernama I Gede, orang Bali dengan Julia sebagai orang Amerika. Hal ini dapat diketahui berdasarkan ekspresi kegembiraan yang dialami para tokoh ketika insiden tersebut terjadi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.
"Reraman tiange ngelut I Julia. Ipun nenten mabaos. Sang kalih wau ngarumasayang leleh macampuh sareng kenyel ipunne. Ring muan ipunne kanten bagia antuk prasida matunggalan" (halaman 4, paragraf 11).

Terjemahan bebasnya:
"Orang tua saya memeluk I Julia. Dia tidak berbicara. Kedunya baru merasakan lelah bercampur dengan kecapaiannya. Di raut mukanya terlihat bahagia karena dapat bersatu."

Kutipan di atas menggambarkan tentang kebahagian antara Julia dengan I Gede ‒ paman pencerita. Meskipun keduanya adalah berbeda bangsa, bahasa, agama, dan budaya, akan tetapi karena cinta yang sangat besar mampu meruntuhkan dinding pemisah di antara mereka. Melalui pernikahan campuran tersebut menyebabkan terjadi akulturasi antara Julia dengan I Gede. Julia menjadi seorang istri yang baik, menjadi ibu rumah tangga selayaknya istri orang Bali, menjalani kehidupan sesuai dengan tradisi orang Bali. Namun karena adanya sengketa tentang penguburan mayat di Bali menyebabkan tokohnya enggan untuk tinggal di Bali dan memilih tinggal di luar negeri dengan harapan di upacarai menurut Agama Hindu pada saat meninggal nanti. Pernyataan ini dilatarbelakangi dengan anggapan bahwa orang yang tidak ikut sebagai anggota banjar tidak akan mendapatkan hak kuburan. Hal ini dapat dijelaskan sesuai dengan kutipan berikut.
"Sayan sue, I Julia sayan nenten tegteg. Ipun ngarya surat wasiat. Surat punika wau dados kabuka risampunne ipun padem. Irika kasurat, wantah ipun padem, mangda kabenang ring Amerika mangda danganan ngrereh setra" (halaman 6, paragraf 5).

Terjemahan bebasnya:
"Semakin lama, I Julia semakin tidak tegar. Dia membuat surat wasiat. Surat itu baru boleh dibuka setelah dia meninggal. Di sana ditulis, kalau dia meninggal, agar kabenang ‒ dilaksanakan upacara pembakaran mayat ‒ di Amerika supaya mudah mendapatkan kuburan."

Kutipan di atas menggambarkan bahwa pernikahan campuran antara Julia dengan I Gede menjadi jalan untuk menampilkan pokok persoalan dalam cerpen Julia tersebut. Pernikahan campuran mendukung persoalan tentang sengketa tanah, yaitu hak mendapatkan kuburan. Pernikahan tersebut seolah-olah menjadi jalan untuk pengarang menggambarkan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat Bali sehingga menjadi rangkain cerita yang menarik serta sarat akan pesan moral.
BAB III
PENUTUP

3.1       Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten terdiri atas tema utama dan tema sampingan. Tema utama dari cerpen Julia, yaitu masalah tanah (kuburan di Bali), sedangkan tema sampingan, yaitu pernikahan campuran.

3.2       Saran
Dalam cerpen Julia ini, hanya menganalisis sebagian kecil dari struktur instrinsiknya, namun masih banyak unsur-unsur yang masih belum terungkap. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu analisis yang lebih mendalam lagi untuk menguak unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Terlepas dari itu, paper sederhana ini sudah tentu masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu atas kekurangan tersebut penulis mohon maaf serta mengharapkan tegur dan bimbingan pembaca dalam penyusunan paper selanjutnya. Akhir kata, marilah menjaga kaharmonisan untuk kedamaian pulau Bali tercinta.

Contoh Telaah Puisi Bali



PUISI RAHAJENG RAUH KARYA KETUT ARYANA: 
SEBUAH KAJIAN ESTETIKA

BAB I
PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia, namun demikian karya sastra juga merupakan cerminan bagi realita kehidupan manusia. Karya sastra diciptakan berdasarkan atas ilham, penjiwaan yang lengkap, serta memiliki daya estetis melalui bahasa yang digunakannya. Puisi salah satu karya sastra yang memiliki daya estetika tinggi. Setiap untaian kata dalam puisi merupakan hasil pemilihan secara cermat dan teliti guna membangun unsur keindahan pada puisi. Akan tetapi untuk dapat menikmati keindahan puisi tersebut diperlukan suatu pengkajian atau sebuah analisis.
Sebuah puisi harus dilihat dari dua segi, yaitu bentuk (struktur) dan isi (konsep). Satu dengan yang lainnya saling berkaitan, oleh karena itu sebuah puisi tidak dapat dipandang atau dianalisis dari satu segi saja. Pembahasan sebuah puisi harus memperhatikan bagaimana keindahannya (puitis), unsur-unsur apa dan bagaimana susunannya (instrinsik), bagaimana proses penciptaannya (intuisi), sejauh mana pengungkapannya (imajinasi) atau ungkapan tentang apa saja (sintesis), atau pesan apa yang disampaikan (tematis), dan banyak hal lainnya (Antara, 1985: 4).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa semua unsur yang terdapat dalam puisi terjalin menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga menimbulkan keindahan. Begitu juga halnya dalam puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana. Dengan demikian, perlu dilakukan suatu analisis untuk menguak aspek keindahan pada puisi tersebut. Melalui kegiatan analisis tersebut diharapkan mampu menerapkan konsep estetika dan mendeskripsikan unsur-unsur yang mengandung nilai estetika pada puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana.



BAB II
PEMBAHASAN

Ratna (2009: 330) menyatakan bahwa analisis yang baik adalah kajian yang memelihara keseimbangan antara prinsip linguistik dan sastra kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian aspek estetis. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan mengacu pada penggunaan bahasa yang bernilai estetis dengan berdasarkan pada unur instrinsik yang terdapat dalam puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana. Adapun puisi tersebut adalah sebagai berikut.

Rahajeng Rauh
  I
1.      teka cening matawangang dewek baan nguekin ling
2.      kapapag gargitan semun kumpi, dadong mwah maman
3.      kertas putih ngeplak, dasar warna

4.      ah, i guru nylempoh di obag jlanan
5.      ngaton nrawang layaran gulem di langit semeng
6.      tangkah rograg kablebegin lega

7.      makejang warnane duk totonan
8.      masalin masawang kuning nguda
9.      satmaka rainan betara turun kabeh

10.  mani puan kelih lantas cening
11.  kertas cenik
12.  mangda ida surya
13.  dumadak dueg milih warna melah
14.  kanggon nyoreng morengin
15.  ental baktin dewek putune teken kadarman

16.  nah, rahajeng rauh
17.  dewa manusa prawira indonesia
18.  di lima kenawan nyangkil uli kedituan
19.  dina-dina abot ane bakal teka

II

1.      nangingke maman tuara nglalungin pesan
2.      dewek ceninge alit
3.      di grobag emase ada panganggo aprangkatan
4.      lumbrah kaseluk prabu-prabu pradnyan
5.      tetamaan leluhur turun temurun
6.      jagate ngadanin totonan Pancasila

7.      rahajeng rauh
8.      rahajeng rauh cening bagus
9.      enggal-enggal kelih tur mokoh tur gesit
10.  dingehang ja pakrauk jadmane tiwas muah i sengsara
11.  ngantosang baktin putune

12.  nah, tatakang limane
13.  trima panganggo raja warisane
14.  cening ane patut nguasaang

Melihat bait-bait puisi di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur instrinsik puisi tersebut, yaitu (1) tema (sense), (2) tipografi, (3) amanat, (4) nada (tone),           (5) perasaan (feeling), (6) rima, (7) citraan (pengimajian), (8) diksi, (9) kata konkret, dan (10) gaya bahasa (majas).
Terkait dengan analisis estetika pada puisi "Rahajeng Rauh" di atas, maka dari kesepuluh unsur tersebut dapat penulis klasifikasikan atas dua bagian, yaitu analisis fisik dan analisis batin. Analisis fisik, terdiri atas tipografi, rima, citraan (pengimajian), diksi, kata konkret, dan gaya bahasa (majas). Sedangkan analisis batin meliputi unsur tema, amanat, nada (tone), dan perasaan (feeling). untuk lebih jelasnya akan disajikan secara rinci pada uraian berikut.

2.1 Analisis Fisik
2.1.1        Tipografi
Tipografi merupakan tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata, dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa, dan suasana dalam puisi. Oleh karena itu, puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana di atas memiliki tipografi berupa rata kiri. Secara fisik puisi tersebut terdiri atas dua bagian namun memiliki kesinambungan pada bagian pertama (1) dan kedua (2). Bagian pertama terdiri atas 5 bait, masing-masing bait, yaitu bait 1 (3 baris), bait 2 (3 baris), bait 3 (3 baris), bait, 4 (6 baris), dan bait 5 (4 baris). Bagian kedua terdiri atas 3 bait, masing-masing bait memiliki beberapa baris, yaitu bait 1 (6 baris), bait 2 (5 baris), dan bait 3 (3 baris). Keseluruhan ditata dengan rata kiri seperti pada puisi terlampir. Meskipun banyak penulis yang menggunakan tipografi berupa rata tengah dan zig zag ‒ bait puisi yang menjorok ke dalam dan keluar. Namun, penggunaan tipografi dengan rata kiri tidak mengurangi nilai estetis pada dalam puisi tersebut, justru penggunaan tipografi yang demikian dapat memudahkan pembaca untuk mengapresiasi serta memahami setiap bait guna menemukan maksud yang terimplisit dalam puisi tersebut.

2.1.2        Rima
Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait atau persamaam bunyi dalam puisi. Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus dan sebagainya (http://riniintama.wordpress.com/pengertian-bunyi-rima-dan-irama-pada-puisi/, diakses pada tanggal 14 Februari 2013). Semakin teratur penggunaan bunyi dalam sebuah puisi, maka tingkat estetikanya akan semakin tinggi.
Ditinjau dari jenisnya, rima dalam puisi "Rahajeng Rauh" terdiri atas rima asonansi dan aliterasi. Rima asonansi adalah persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah. Rima aliterasi adalah persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
Secara keseluruhan puisi "Rahajeng Rauh" didominasi oleh adanya vokal /a/, dan /u/. Sedangkan bunyi konsonan yang dominan pada puisi tersebut, yaitu /d/, /m/,  /r/, /p/, dan /k/. Asonansi /a/ terdapat pada bagian I yaitu: tangkah rograg kablebegin lega (baris 6), mangda ida surya (baris 12), nah, rahajeng rauh (baris 16), dewa manusa prawira indonesia (baris 17), dina-dina abot ane bakal teka (baris 19). Pada bagian II yaitu: nangingke maman tuara nglalungin pesan (baris 1), di grobag emase ada panganggo aprangkatan (baris 3), jagate ngadanin totonan Pancasila (baris 6), rahajeng rauh (baris 7), rahajeng rauh cening bagus (baris 8), dingehang ja pakrauk jadmane tiwas muah i sengsara (baris 10), nah, tatakang limane (baris 12), trima panganggo raja warisane (baris 13), cening ane patut nguasaang (baris 14).
Asonansi /u/ terdapat pada bagian II, yaitu lumbrah kaseluk prabu-prabu pradnyan (baris 4), tetamaan leluhur turun temurun (baris 5). Beranjak dari rima asonansi, pada puisi tersebut juga memiliki rima aliterasi pada baris puisinya. Aliterasi /d/ dapat ditemukan pada puisi bagian I, yaitu baris 2, 3, 4, 5, 7, 13, 15, 17, 18, 19, puisi bagian II baris 2, 23, 10. Adapun kata-kata yang mengandung aliterasi /d/, yaitu dadong, dasar, dewa, dewek, di, dina-dina, dingehang, dueg, duk, dumadak. Aliterasi /d/ dapat dengan jelas dilihat pada puisi bagian I baris 13, yaitu dumadak dueg milih warna melah.
Aliterasi /m/ juga dapat ditemukan pada puisi bagian I, yaitu pada baris 1, 2, 7, 8, 10, 12, 13, 14, 17, pada bagian II baris 1, 9, 10. Aliterasi tersebut dapat ditemukan pada puisi bagian I baris 8, yaitu masalin masawang kuning nguda. Selain itu, kata-kata yang menunjukkan aliterasi /m/, yaitu makejang, maman, mangda, mani, manusa, matawangang, melah, milih, mokoh, morengin, muah, mwah.
Lebih jauh lagi, aliterasi /r/ muncul pada puisi bagian I baris 6, 9, 16, bagian II baris 7, 8, 13. Kata-kata tersebut meliputi: rahajeng, rainan, raja, rauh, rograg. Aliterasi /r/ dapat dilihat dengan jelas pada baris puisi bagian II baris 7 berikut, yaitu rahajeng rauh.
Selain itu, ditemukan juga aliterasi /p/ pada puisi bagian I baris 3, 10, 15,  17, bagian II baris 1, 3, 4, 6, 10, 11, 13, 14. Kata-kata yang memiliki aliterasi /p/, yaitu pakrauk, Pancasila, panganggo, patut, pesan, prabu-prabu, pradnyan, prawira, puan, putih, putune. Namun, lebih jelas dapat dilihat pada puisi bagian II baris 4, yaitu lumbrah kaseluk prabu-prabu pradnyan.
Merujuk pada aliterasi tersebut, ditemukan juga aliterasi /k/ meskipun tidak banyak, namun turut mendominasi bunyi konsonon dalam setiap baris puisi tersebut. Hal tersebut terdapat pada puisi bagian I baris 2, 3, 6, 8, 9, 10, 14, 15, 18, bagian II baris 4, 9. Kata-kata yang memiliki aliterasi /k/, yaitu kabeh, kablebegin, kadarman, kanggon, kapapag, kaseluk, kedituan, kelih, kenawan, kertas, kumpi, kuning. Namun perlu diketahui baris yang menyatakan aliterasi /k/ tersebut, yakni pada puisi bagian I baris 2, yaitu kapapag gargitan semun kumpi, dadong mwah maman.
Penggunaan rima melalui persamaan bunyi yang teratur memberikan nuansa keindahan tersendiri pada puisi, namun dengan banyaknya variasi rima serta bunyi yang dihasilkan penulis dalam puisi "Rahajeng Jauh" justru menambah keindahan puisi tersebut.

2.1.3        Citraan (Pengimajian)
Citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif bagi pembaca. Pada dasarnya citraan kata terefleksi melalui bahasa kias. Citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan setiap pengalaman indera yang istimewa. Citraan dibuat dengan pemilihan kata (diksi). Citraan dapat berupa citraan pendengaran, penglihatan, perabaan, pencecapan, dan penciuman.
Dalam  puisi "Rahajeng Rauh" penyair memaanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji pembaca melalui bahasa atau ungkapan yang tidak langsung. Pembaca dituntut untuk menemukan sendiri bahasa yang dimaksudkan oleh penyair. Citraan pendengaran terlihat pada kata nguekin ling dan dingehang, yaitu teka cening matawangang dewek baan nguekin ling (bagian I baris 1), dan dingehang ja pakrauk jadmane tiwas muah i sengsara (bagian II baris 10). Dalam hal ini nguekin ling didengar melalaui indera pendengaran, begitu juga dengan kata dingehang merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan melalui indera pendengaran. Selain itu, citraan penglihatan juga ditemukan pada kata seperti; matawangang dewek, semun, ngeplak, nylempoh, ngaton, grobag emase, yaitu teka cening matawangang dewek baan nguekin ling (bagian I baris 1), kapapag gargitan semun kumpi, dadong mwah maman (bagian I baris 2), kertas putih ngeplak, dasar warna (bagian I baris 3), ah, i guru nylempoh di obag jlanan (bagian I baris 4), ngaton nrawang layaran gulem di langit semeng (bagian I baris 5), di grobag emase ada panganggo aprangkatan (bagian II baris 3). Matawangang dewek, semun, ngeplak, nylempoh, grobag emase merupakan sesuatu yang dilihat dengan indera penglihatan, lain halnya dengan kata ngaton yang bermakna melakukan kegiatan dengan menggunakan indera penglihatan, yaitu mata.
Berdasarkan analisis citraan tersebut, dapat diketahui bahwa puisi "Rahajeng Rauh" menggunakan citraan pendengaran dan citraan penglihatan.

2.1.4        Diksi
Diksi adalah pilihan kata yang digunakan secara cermat dan tepat guna menampilkan unsur estetika pada setiap baris puisinya.  Kata-kata dalam puisi "Rahajeng Rauh" dipilih dengan tepat oleh penyair untuk menampilkan tokoh utama orang ketiga ‒ kata "cening" pada puisi tersebut. Kata surya dalam baris puisi bagian I baris 12, yaitu mangda ida surya, perlu dimendapat perhatian dari pembaca, bahwa dalam setiap tindakan yang kita rencanakan ditentukan oleh Ida ‒ Tuhan. Penyair menggunakan kata surya untuk menyatakan bahwa tokoh "Cening" sebagai suatu harapan negeri agar mendapat restu dan tuntunan ketika mengemban amanah sebagai seorang pemimpin, sehingga menjadi seorang pemimpin yang bijaksana dan mencintai rakyatnya dengan berpedoman pada ajaran niti sastra dan asta brata. Kemudian kata warna pada puisi bagian I baris 13, yaitu dumadak dueg milih warna melah, menyatakan bahwa kata warna denotatifkan sebagai suatu pilihan kehidupan bagi pemimpin. Seyogyanya pemimpin melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak rakyatnya. Bukan malah sebaliknya mementingkan kepentingan pribadi atau golongannya.
            Selain itu kata panganggo pada puisi bagian II baris 3, yaitu di grobag emase ada panganggo aprangkatan, digunakan untuk menyatakan sebagai suatu landasan pemerintahan seorang pemimpin, berupa Pancasila. Pemimpin mengarahkan setiap rencana dan kegiatannya dengan berpatokan pada Pancasila, bukan hanya sebagai sebuah simbol (semion), namun terlebih dari itu juga harus mengamalkan sila-silanya ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini yaitu sebagai seorang pemimpin.

2.1.5        Kata Konkret
Kata-kata konkret, merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Tarigan (2011: 32) mengungkapkan salah satu cara membangkitkan daya bayang imajianasi para penikmat puisi adalah menggunakan kata-kata yang tepat, kata yang dapat menyarankan suatu pengertian secara menyeluruh. Dalam puisi "Rahajeng Rauh" sangat banyak ditemukan kata-kata konkret, yaitu teka, nylempoh, ngaton, dingehang, mokoh, gesit, kelih, sengsara. Merupakan beberapa kata yang konkret sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami maknanya, namun demikian kata tersebut juga ada yang mengandung citraan pendengaran dan penglihatan seperti pembahasan sebelumnya.

2.1.6        Gaya Bahasa (Majas)
Gaya bahasa (majas, figuratif language), yaitu bahasa kias yang menimbulkan makna konotasi tertentu. Penggunaan gaya bahasa inilah yang menjadi daya tarik sebuah puisi (Jatiyasa, 30: 2012). Penyair yang memiliki kualitas estetika yang tingga sudah pasti lebih banyak menggunakan kata-kata kias berupa pemajasan. Dalam puisi "Rahajeng Rauh" ditemukan beberapa kata yang mengandung gaya bahasa tertentu, di antaranya adalah sebagai berikut.
Majas hiperbola ditemukan pada puisi bagian I baris 6, bagian II baris 1, baris 10, yaitu pada kata tangkah rograg, nglalungin pesan, dan pakrauk jadmane. Majas asosiasi ditemukan lebih banyak dalam puisi ini pada puisi bagian I baris 3, 7, 8, 11, bagian II baris 3, 4, yaitu pada kata kertas putih, warnane, kuning nguda, kertas cenik, panganggo, dan kaseluk.  Majas metafora terdapat pada puisi bagian I baris 9, yaitu satmaka rainan betara turun kabeh. Majas repetisi juga dapat ditemukan pada puisi bagian I baris 16, II bagian 7 dan 8, yaitu berupa pengulangan kata rahajeng rauh.

2.2 Analisis Batin
2.2.1        Tema
Tema adalah pokok persoalan (subjek matter), suatu ide, gagasan atau hal yang hendak dikemukakan oleh penulis, baik tersurat atau tersirat (Jatiyasa, 29: 2012). Tema dalam puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana adalah kepemimpinan. Meskipun secara eksplisit tidak dijelaskan dalam puisi tersebut, namun interpretasi penulis merujuk pada hal tersebut. Penyair melukiskan keadaan seorang calon pemimpin masa depan yang diharapkan mampu membawa pelita dalam kegelapan bagi rakyat yang sengsara, dengan berlandaskan ajaran Pancasila. Diharapkan mampu menjadi seorang pemimpin yang melindungi, mengayomi, dan menjadi peneduh bagi rakyat yang sengsara. Namun demikian puisi tersebut menyiratkan sebuah kritik terhadap pemimpin yang tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin suatu negara, hal ini tercermin pada puisi bagian II baris 14, yaitu cening ane patut nguasaang.  Hal ini berarti pemimpin yang layak dan berhak atas kekuasaan negaranya adalah seorang pemimpin yang dikehendaki oleh rakyatnya sendiri.

2.2.2        Amanat
Amanat dapat diartikan sebagai suatu pesan, maksud atau tujuan dari penyair menulis sebuah puisi. Di dalamnya terimplisit pesan moral dan sebagainya yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai warga negara yang baik adalah telah sepatutnya mengamalkan sila-sila dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, puisi "Rahajeng Rauh" mengamanatkan kepada kita bahwa seorang pemimpin yang berbudi luhur yang mampu mengamalkan ajaran kepemimpinan dan menjadi amanah bagi rakyatnya adalah seorang pemimpin yang sejati, sehingga pengharapan yang besar tertumpu pada seorang pemimpin tersebut.

2.2.3        Nada (Tone)
Nada yang ditunjukkan penyair pada puisi "Rahajeng Rauh", adalah nada pengharapan seorang calon pemimpin. Hal ini terdapat dalam puisi bagian I baris 17 dan 18, yaitu dewa manusa prawira indonesia, di lima kenawan nyangkil uli kedituan. Selain itu, ditemukan juga nada penyerahan, yaitu penyerahan terhadap keadaan dan nasib rakyat yang sengsara tanpa seorang pemimpin negara yang layak.  Nada tersebut tercermin dalam puisi bagian II baris 13, yaitu trima panganggo raja warisane.

2.2.4        Perasaan (Feeling)
Perasaan (feeling) dapat penulis artikan sebagai ungkapan perasaan penyair terhadap figur dalam puisi tersebut. Berdasarkan analisis penulis perasaan senang, bahagia, suka cita, merupakan gambaran perasaan penyair pada puisinya dalam menyambut seorang calon pemimpin. Hal ini dapat terlihat dari kutipan baris puisi berikut, yaitu makejang warnane duk totonan, masalin masawang kuning nguda, satmaka rainan betara turun kabeh (bagian I, bait 3). Ungkapan bahagian tercermin secara jelas pada kata kuning nguda yang mengasosiasikan sebagai keadaan yang cerah, penuh makna.


BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa analisis estetika puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana dibagi atas dua analisis, yaitu analisi fisik dan analisi batin. Analisi fisik meliputi tipografi, rima, citraan (pengimajian), diksi, kata konkret, dan gaya bahasa dalam puisi tersebut. Sedangkan analisis batin lebih menekankan pada unsur tema, amanat, nada (tone), dan perasaan (feeling).

3.2 Saran
Setiap karya sastra memiliki ruang untuk dianalisis untuk mengatahui dan dijadikan sebagai pedoman dalam setiap tindakan sehari-hari. Namun demikian, analisis terkait dengan puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana tentu masih banyak yang belum terungkap, oleh karena itu, tulisan sederhana ini setidaknya mampu memberikan segelintir sumbangan apresiasi sastra dari sekian pengkajian sastra yang telah ada.