ANALISIS TEMA CERPEN JULIA
KARYA IDB WAYAN WIDIASA KENITEN
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan suatu
bentuk yang dapat digunakan untuk mempelajari hidup dan kehidupan pada
masyarakat. Di dalamnya terkandung informasi pengetahuan yang bersumber pada
intelektualitas pengarangnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya karya sastra pada
umumnya bersifat fiktif. Oleh karena itu, karya sastra tersebut disebut sebagai
karya sastra fiksi. Altenberd (Nurgiyantoro, 2000: 2), fiksi dapat diartikan
sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang
mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap
kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan
tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman
kehidupan manusia”. Penyeleksian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan
tersebut, tentu saja, bersifat subjektif.
Fiksi juga menceritakan
berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, dengan
diri sendiri, dan dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan
reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Oleh karena itu, fiksi
merupakan sebuah cerita yang tidak hanya
bertujuan estetik, tetapi juga memberikan hiburan kepada pembaca. Melalui
sarana cerita itu pembaca secara tidak langsung dapat belajar, merasakan, dan
menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan oleh
pengarang. Hal itu disebabkan cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca ikut
merenungkan masalah hidup dan kehidupan.
Salah satu bentuk karya
sastra yang berupa fiksi itu adalah cerpen. Cerpen, sesuai dengan namanya,
adalah cerita yang pendek. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santosa dan Wahyuningtyas,
bahwa cerpen sebagai jenis sastra yang khusus dapat dibaca sekali duduk dalam
waktu satu atau dua jam (2010: 2).
Cerpen merupakan jenis
karya sastra yang paling banyak dibaca orang dengan pemahaman yang cukup
memadai. Cerpen banyak menggunakan bahasa yang lugas dan mengacu pada makna
denotatif sehingga lebih bersifat transparan. Namun adapula cerpen yang tidak
transparan, bersifat prismatis dan penuh dengan perlambangan. Menurut Hendy
(1989: 184) cerpen memiliki beberapa ciri, yaitu: panjang kisahannya lebih
singkat daripada novel, alur ceritanya rapat, berfokus pada satu klimaks,
memusatkan cerita pada tokoh tertentu, waktu tertentu, dan situasi tertentu,
sifat tikaiannya dramatik, yaitu berintikan pada perbenturan yang berlawanan,
dan tokoh-tokoh di dalamnya ditampilkan pada suatu latar atau latar belakang
melalui lakuan dalam satu situasi.
Keberadaan cerpen
sebagai salah satu karya sastra diperkirakan muncul sekitar tahun 1970-an.
Sebagian besar diantaranya merupakan hasil sayembara. Cerpen-cerpen pada babak
permulaan dibuat atas dasar “mencoba-coba” dengan memadukan tradisi bercerita
Bali dengan gaya bercerita dalam bahasa Indonesia. Dalam hal gaya, cerpen
sastra Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu cerpen dari pengarang yang
berfungsi ganda (selain mengarang dalam bahasa Bali, juga mengarang dalam
bahasa Indonesia), jelas sekali menunjukkan adanya pengaruh struktur cerpen
Indonesia. Sebaliknya dari pengarang yang berfungsi tunggal (hanya mengarang
dalam bahasa Bali), lahirlah cerpen yang sangat dipengaruhi oleh gaya bercerita
Bali (Eddy, 1991: 30).
Jadi, berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita pendek yang
memiliki alur rapat, fokus pada satu klimaks, pertikaiannya dramtik, dan dibaca
dalam sekali duduk.
Cerpen sebagai salah
satu karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini
setiap pengarang memiliki cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya untuk
menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya. Untuk menguak isi dari cerpen
tersebut, maka diperlukan suatu analisis. Namun, Ratna (2009: 330) menyatakan
bahwa analisis yang baik adalah kajian yang memelihara keseimbangan antara
prinsip linguistik dan sastra kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian
aspek estetis.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, maka pada kesempatan ini penulis akan menganalisis cerpen
yang berjudul Julia buah karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten. Dalam cerpen
tersebut terdapat beberapa unsur instrinsik yang menjalin ceritanya, yaitu
tema, alur, insiden, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, majas (gaya
bahasa), dan amanat. Akan tetapi, dari kesemuanya tersebut unsur tema yang
banyak mendominasi cerpen tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar
belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah
tema yang terkandung dalam cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten?
1.3 Tujuan
Analisis
Sebuah penelitian
ilmiah tentu memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Demikian juga hanya
dengan tulisan ini. Tujuan analisis ini dapat dibedakan atas tujuan umum dan
tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Dari kajian cerpen ini
penulis mengharapkan karya sastra Bali, terutama karya sastra Bali modern
mendapat tempat yang baik di hati masyarakat Bali, sehingga masyarakat Bali
tidak perlu lagi merasa ragu akan eksistensi karya sastra Bali modern di tengah
kuatnya karya sastra Bali klasik menguasai tata hidup masyarakat Bali. Selain
itu, analisis ini merupakan suatu bentuk apresiasi, pelestarian, dan
pengembangan karya sastra Bali Modern dalam bentuk cerpen.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sesuai dengan
permasalahan yang dijabarkan dalam rumusan masalah, maka dapat dikemukakan
tujuan khusus analisis ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk
memaparkan tema yang terkandung dalam cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan
Widiasa Keniten.
1.4 Manfaat Analisis
Adapun manfaat yang
diperoleh dari analisis ini dapat dibedakan atas (1) manfaat teoretis dan (2)
manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Adapun manfaat dari analisis
ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk
memberikan apresiasi terhadap karya sastra Bali Modern.
2. Sebagai
bahan acuan dalam pengkajian sastra Bali Modern berupa cerpen.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun maanfaat praktis
dari analisis ini adalah sebagai
berikut.
1. Bagi
penulis, dapat mengasah kemampuan dalam mengapresiasi sastra Bali Modern berupa
cerpen, serta menjadi pedoman dalam mengkaji karya sastra yang sejenis.
2. Bagi
peneliti lain, sebagai motivator untuk meningkatkan kepedulian terhadap
eksistensi kesusastraan Bali.
3. Bagi
masyarakat luas, dapat dijadikan sebagai suatu kajian yang menambah informasi
dan wawasan tentang sastra dan sosiolinguistik.
1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang
dimaksud adalah untuk membatasi ruang atau gerak dari analisis ini, sehingga
terhindar dari penafsiran di luar dari kajian yang dilaksanakan. Oleh karena
itu, pembahasan topik analisis ini hanya dibatasi pada analisis tema dari
cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Tema Cerpen Julia
Pada prinsipnya, tema
disebut juga sebagai ide sentral atau makna sentral suatu cerita. Tema
merupakan jiwa cerita itu (Santon, 1965: 4; Santosa dan Wahyuningtyas, 210: 2).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tema merupakan inti atau pokok persoalan
dari sebuah cerita rekaan. Tema terbentuk melalui hubungan di antara
unsur-unsur cerita yang lain. Unsur-unsur yang berbeda namun merupakan satu
kesatuan membentuk suatu permasalahan dan diharapkan mendapat pemecahan melalui
tokoh ceritanya.
Dalam penghayatan suatu
cerita rekaan, tidak jarang pembaca bertemu dengan kadar yang berbeda.
Masalahnya yang benar-benar menonjol dan mendominasi persoalan dalam suatu
cerita rekaan itulah yang disebut dengan tema utama dan tema bawahan (Santosa
dan Wahyuningtyas, 2010: 3). Meskipun telah ada batasan terhadap keberadaan
tema dalam cerita rekaan, namun masih belum memadai. Hal ini karena tema
bukanlah unsur yang dapat dengan mudah ditemukan dalam cerita, namun justru
tema hanya unsur yang terimplisit di dalamnya sehingga membutuhkan ketelitian
dan interpretasi yang tajam untuk menentukannya.
Di dalam sebuah karya
sastra, ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menentukan tema, yaitu: (1)
dengan melihat persoalan mana yang menonjol, (2) secara kuantitatif persoalan
mana yang paling banyak menimbulkan konflik. Konflik-konflik melahirkan
peristiwa-peristiwa, dan (3) dengan menentukan atau menghitung waktu penceritaan
yaitu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa ataupun
tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra (Esten, 1990: 92).
Berdasarkan uraian di
atas, maka tema yang terdapat dalam cerpen Julia, yaitu berupa tema utama
(pokok) dan tema bawahan (sampingan), namun ikut mendukung tema utama.
2.1.1
Tema Utama Cerpen Julia
Dengan melakukan
pengamatan dan analisis terhadap sumber data, maka diketahui bahwa tema utama dari cerpen Julia, yaitu masalah
tanah (kuburan di Bali). Persoalan tentang tanah membuat tokoh dalam cerita
menjadi mengalami klimaks dan perubahan nasib ‒ meskipun tidak banyak cerpen
yang menyajikan hal itu, karena perubahan nasib lebih banyak terjadi pada
cerita berupa novel atau roman. Cerpen Julia memberikan cerminan bahwa di Bali terjadi
masalah antara hak mendapatkan kuburan, dalam cerita dikatakan bahwa orang
asing lebih mudah mendapatkan hak untuk mendapatkan kuburan pada waktu dia
meninggal dibandingkan dengan orang Bali yang justru mengalami keadaan yang
sebaliknya. Oleh karena itu, interpretasi tema tersebut juga mewakili akan
adanya kritik sosial bagi masyarakat Bali terhadap perebutan hak tanah kuburan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam kutipan berikut.
"…, anak Baline nenten dados nanem ring
setrane. Mayitne maparebutin. Ipun mamanah-manah Nusa Baline kaucap santhi
dados sering pisan wenten mayit nenten polih setra. Ipun jerih. Benjangan sinah
ipun nenten pacang polih setra. Eling ring nenten naen mabanjar punapi malih
makrama desa" (halaman 4, paragraf 13).
Terjemahan bebasnya:
"…, orang
Bali itu tidak boleh menguburkan di kuburan. Mayatnya diperebutkan. Dia
berpikir Pulau Bali dikatakan damai menjadi sering sekali ada mayat tidak
mendapatkan kuburan. Dia takut. Nanti pasti dia tidak akan mendapatkan kuburan.
Ingat karena tidak pernah mabanjar apa lagi menjadi anggota desa."
Kutipan di atas
menggambarkan bahwa Julia sebagai orang Amerika yang menikah dengan I Gede ‒
merupakan orang Bali ‒ merasa khawatir dengan keadaannya yang telah menjadi
seorang istri orang Bali. Kutipan tersebut mengungkapkan ketidakpercayaan tokoh
dengan keadaan Bali yang sekarang, hingga terjadi perebutan hak menguburkan
mayat di kuburan. Karena berdasarkan pengetahuannya, orang Bali dikenal ramah,
baik, sopan, memiliki etika dan estetika yang tinggi sehingga orang luar
menilai bahwa orang Bali tentu juga memiliki hubungan yang harmonis di dalam
masyarakatnya. Namun kenyataannya adalah justu ada orang Bali sendiri yang
tidak bisa mendapatkan kuburan ketika mau menguburkan mayat. Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut.
"Reraman tiange nenten banget makesiab
santukan sampun saking riin meweh pisan ngrereh setra ring Bali yadiastun
makrama Bali. Yan anak saking durapulo wau danganan matanem. Anake saking
durapulo nenten wenten mabanjar punapi malih jagi ngrembanin Pura Desa, Puseh,
Dalem" (halaman 4-5, paragraf 15).
Terjemahan bebasnya:
"Orang tua
saya tidak terlalu terkejut karena sudah dari dahulu sulit sekali mencari
kuburan di Bali meskipun menjadi masyarakat Bali. Kalau orang dari luar pulau
baru mudah dikubur. Orang dari luar pulau tidak ada yang mabanjar apa lagi akan
menjaga Pura Desa, Puseh, Dalem."
Kutipan di atas,
mencerminkan bahwa menjadi orang Bali tidak menjamin untuk mendapatkan kuburan.
Hal ini jelas telah terjadi diskriminasi antara orang Bali dengan orang luar
yang belum tentu akan ikut menjaga dan melestarikan pura terutama Pura
Kahyangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem). Akan tetapi mendapatkan tempat yang
istimewa di Bali.
Persoalan tanah kuburan
dalam cerpen Julia lebih eksplisit tergambarkan di dalam alur ceritanya. Oleh
karena itu, persoalan tanah di Bali menjadi masalah yang serius dan perlu
mendapatkan penangan serta perhatian dari pihak berwajib. Jangan sampai
permasalahan tanah kuburan menyebabkan ketidakharmonisan dalam hidup masyarakat
Bali. Dengan demikian jelas tidak sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana yang
menjadi pandangan hidup orang Bali.
Dalam ajaran Tri Hita
Karana dijelaskan bahwa manusia selain menjaga hubungan yang harmonis dengan Parhyangan (Tuhan), juga menjalani
hubungan yang harmonis dengan Pawongan
(manusia lainnya ‒ orang Bali), serta menjaga keharmonisan dengan Palemahan (alam sekitar, tempat tinggal
manusia itu sendiri). Namun melalui tema utama dalam cerpen Julia tersebut,
telah terjadi ketidakharmonisan antara orang Bali sebagai pawongan dengan palemahan-nya,
yaitu tanah kuburan yang dipersengketakan. Dengan adanya ketidakharmonisan
dengan palemahan akan membawa dampak pada ketidakharmonisan hubungan di antara
orang Bali. Hal ini dapat dicermati pada kutipan di bawah ini.
"Reraman
tiange sampun biasa miragiang utawi ngantetang jadma Bali kasepekang.
Kudang mayit sampun dados rerebutan. Katah mayit sampun kajagain olih polisi.
Yang ring anake ka setra kairing antuk gegitan sane lemuh nglangenin. Magentos
dados dengkrak-dengkrik sane nguledin" (halaman 5, paragraf 5).
Terjemahan bebasnya:
"Orang tua
saya sudah biasa mendengar atau menyatukan orang Bali yang dikucilkan. Berapa
mayat telah menjadi rebutan. Banyak mayat telah dijaga oleh polisi. Kalau orang
ke kuburan diiringi dengan nyanyian yang indah. Berbalik menjadi percekcokan
yang menggelikan."
Kutipan di atas
melukiskan bahwa pertengkaran yang terjadi di antara orang Bali
dilatarbelakangi oleh tanah, dalam hal ini adalah hak menguburkan mayat di
kuburan. Mengingat situasi dan perkembangan sosial masyarakat Bali, jelas tanah
menjadi sesuatu yang sangat penting. Namun mengapa permasalahan tersebut harus
berdampak pada masyarakat Bali yang telah berdomisili serta menjadi krama desa
dan banjar? Mengapa orang Bali cenderung lebih suka bertengkar dengan sesama orang
Bali dibandingkan dengan orang luar? Ini yang perlu mendapat sorotan dan
dicarikan solusi. Namun pada pembahasan ini hanya disajikan permasalahan
tersebut tanpa membahas lebih lanjut.
2.1.2
Tema Sampingan Cerpen Julia
Selain memiliki tema
utama, cerpen Julia juga memiliki tema sampingan, yaitu pernikahan campuran.
Hal ini terjadi antara tokohnya yang bernama I Gede, orang Bali dengan Julia
sebagai orang Amerika. Hal ini dapat diketahui berdasarkan ekspresi kegembiraan
yang dialami para tokoh ketika insiden tersebut terjadi. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada kutipan berikut.
"Reraman tiange ngelut I Julia. Ipun nenten
mabaos. Sang kalih wau ngarumasayang leleh macampuh sareng kenyel ipunne. Ring
muan ipunne kanten bagia antuk prasida matunggalan" (halaman 4,
paragraf 11).
Terjemahan bebasnya:
"Orang tua
saya memeluk I Julia. Dia tidak berbicara. Kedunya baru merasakan lelah
bercampur dengan kecapaiannya. Di raut mukanya terlihat bahagia karena dapat
bersatu."
Kutipan di atas
menggambarkan tentang kebahagian antara Julia dengan I Gede ‒ paman pencerita.
Meskipun keduanya adalah berbeda bangsa, bahasa, agama, dan budaya, akan tetapi
karena cinta yang sangat besar mampu meruntuhkan dinding pemisah di antara
mereka. Melalui pernikahan campuran tersebut menyebabkan terjadi akulturasi
antara Julia dengan I Gede. Julia menjadi seorang istri yang baik, menjadi ibu
rumah tangga selayaknya istri orang Bali, menjalani kehidupan sesuai dengan
tradisi orang Bali. Namun karena adanya sengketa tentang penguburan mayat di
Bali menyebabkan tokohnya enggan untuk tinggal di Bali dan memilih tinggal di
luar negeri dengan harapan di upacarai menurut Agama Hindu pada saat meninggal
nanti. Pernyataan ini dilatarbelakangi dengan anggapan bahwa orang yang tidak
ikut sebagai anggota banjar tidak akan mendapatkan hak kuburan. Hal ini dapat
dijelaskan sesuai dengan kutipan berikut.
"Sayan sue, I Julia sayan nenten tegteg. Ipun
ngarya surat wasiat. Surat punika wau dados kabuka risampunne ipun padem. Irika
kasurat, wantah ipun padem, mangda kabenang ring Amerika mangda danganan
ngrereh setra" (halaman 6, paragraf 5).
Terjemahan
bebasnya:
"Semakin
lama, I Julia semakin tidak tegar. Dia membuat surat wasiat. Surat itu baru
boleh dibuka setelah dia meninggal. Di sana ditulis, kalau dia meninggal, agar
kabenang ‒ dilaksanakan upacara pembakaran mayat ‒ di Amerika supaya mudah
mendapatkan kuburan."
Kutipan di atas
menggambarkan bahwa pernikahan campuran antara Julia dengan I Gede menjadi
jalan untuk menampilkan pokok persoalan dalam cerpen Julia tersebut. Pernikahan
campuran mendukung persoalan tentang sengketa tanah, yaitu hak mendapatkan
kuburan. Pernikahan tersebut seolah-olah menjadi jalan untuk pengarang
menggambarkan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat Bali sehingga menjadi
rangkain cerita yang menarik serta sarat akan pesan moral.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan
Widiasa Keniten terdiri atas tema utama dan tema sampingan. Tema utama dari
cerpen Julia, yaitu masalah tanah (kuburan di Bali), sedangkan tema sampingan,
yaitu pernikahan campuran.
3.2 Saran
Dalam cerpen Julia ini,
hanya menganalisis sebagian kecil dari struktur instrinsiknya, namun masih
banyak unsur-unsur yang masih belum terungkap. Oleh karena itu, perlu dilakukan
suatu analisis yang lebih mendalam lagi untuk menguak unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya. Terlepas dari itu, paper sederhana ini sudah tentu
masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu atas kekurangan tersebut
penulis mohon maaf serta mengharapkan tegur dan bimbingan pembaca dalam
penyusunan paper selanjutnya. Akhir kata, marilah menjaga kaharmonisan untuk
kedamaian pulau Bali tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma