Intertekstual pertama kali
dikembangkan oleh peneliti Prancis, Kristeva (1980) dalam esainya berjudul “The Bounded Text” dan “Word,
Dialogue, and Novel”. Pendekatan
intertekstual mempunyai prinsip dasar bahwa setiap teks merupakan satu
produktivitas. Teks merupakan satu permutasian teks-teks lain. Intertekstual
memandang teks berada di dalam ruang satu teks yang ditentukan, teks merupakan
bermacam-macam tindak ujaran, teks diambil dari teks-teks lain, serta teks bersifat
tumpang-tindih dan saling menetralkan satu sama lain (Kristeva, 1980:36—37).
Karena itu, teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks
lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa
penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain
sebagai contoh, teladan, kerangka (Teeuw, 1988:145). Teks yang menjadi latar
penciptaan karya baru disebut hipogram,
dan teks baru yang menyerap dan mentransformasikan hipogram disebut teks transformasi
(Riffaterre, 1978:11, 23).
Setiap teks dikonstruksi sebagai mosaik kutipan-kutipan,
penyerapan, dan transformasi teks-teks lain. Dugaan intertektualitas
menggantikan intersubjektivitas itu dan
menganggap sebuah bahasa puitis harus dibaca sebagai satu hal yang bersifat
ganda (Kristeva, 1980:66). Bagi Kristeva, intertekstualitas tidak mereduksi
kepada studi tradisional yang memandang satu teks dipengaruhi teks lain.
Intertekstual jauh melampaui metode tradisional itu melalui tiga cara, yaitu
(a) pemisahan intertekstual dari pengaruh yang melibatkan pertanyaan tentang
niat pengarang. Bagi studi yang mendasarkan diri kepada pengaruh, alusi-alusi
tekstual merupakan produk kesadaran pilihan pengarang. Intertekstualitas, di
sisi lain, merupakan bagian pergerakan postruktural dan sebagai tantangan, baik
terhadap sentralitas pengarang maupun dugaan-dugaan tradisional dari kesadaran;
(b) membedakan antara intertektualitas dan studi pengaruh yang melibatkan
pertanyaan tentang sastra itu sendiri. Teori intertekstualitas mengasumsikan
bahwa setiap kerja besar dari sastra adalah penuh dengan interteks dari satu
cabang teks sastra dan bukan sastra. Pembacaan intertekstual berdiri pada
kekaburan garis pembatas antara sastra dan bukan sastra, pusat dan marginal, ataupun
antara hitam dan putih. Teks ataupun penulis tidak tertutup secara rapat dari
jangkauan teks-teks yang eksis dalam teks budaya yang lebih besar; (c) bagi
teori intertekstual, penulis ataupun teks tidak terputus dari dunia budaya yang
lebih besar. Dengan demikian, setiap teks sastra mengambil bagian dan mengacu
kepada teks sosial. Sebuah teks bermakna penuh bukan hanya karena mempunyai
struktur, suatu kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga
karena teks itu berhubungan dengan teks lain. Karena itu, sebuah karya hanya
dapat dibaca dalam kaitan ataupun pertentangan dengan teks-teks lain, yang
merupakan semacam kisi. Lewat kisi itulah teks dibaca dan diberi struktur
dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri
menonjol dan memberikannya sebuah struktur.
Ada sepuluh tesis intertekstual, yaitu (1) konsep intertekstualitas
menghendaki bahwa teks harus dipahami bukan sebagai sebuah struktur yang
dipertahankan oleh dirinya sendiri, tetapi sebagai sesuatu yang bersifat
historis dan berbeda-beda. Teks dibentuk bukan melalui waktu yang immanen,
tetapi melalui permainan temporalitas yang terpisah-pisah; (2) teks-teks bukan
merupakan struktur yang hadir, tetapi merupakan jejak-jejak dan
penelusuran-penelusurannya dari teks-teks lain. Jejak-jejak dan
penelusuran-penelusurannya itu dibentuk oleh repetisi dan transformasi dari
struktur tekstual lainnya; (3) struktur tekstual itu tidak muncul pada salah
satu teks yang dimasukkan, tetapi hadir pada salah satu dari momen-momen dan prakondisi
teks; (4) bentuk representasi struktur intertekstual bergerak dari tataran eksplisit
ke implisit. Lagipula, struktur-struktur itu mungkin lebih khusus, mungkin juga
lebih umum ataupun mungkin berupa jenis pesan atau jenis kode. Teks-teks dibuat
keluar dari norma-norma ideologi dan budaya; keluar dari konvensi-konvensi genre; keluar dari idiom-idiom dan
gaya-gaya yang dikitarkan dalam bahasa; keluar dari perangkat-perangkat
kolektif dan konotasi; keluar dari klise-klise, formula-formula, peribahasa-peribahasa;
dan keluar dari teks-teks yang lain; (5) intertekstual ibarat mesin tenun yang menempatkan
persoalan perbedaan dari bentuk-bentuk representasi intertekstual dengan cara
menjawab pertanyaan apakah pantas seseorang dapat menyampaikan sebuah relasi
intertekstual kepada sebuah genre. Relasi
demikian itu bukan merupakan relasi yang kaku bagi sebuah interteks, tetapi
relasi yang segera mengijinkan bahwa tidak mungkin membuat pembedaan yang kaku
antara level-level kode dan teks; (6) proses referensi intertekstual diatur
oleh jalur-jalur formasi diskursif. Relasi teks-teks sastra dengan wilayah
diskursif yang lebih umum dimediasi oleh struktur sistem sastra dan otoritas
aturan sastra; (7) efek mediasi ini adalah memberikan efek reduksi metonimik dari
diskurif kepada norma-norma sastra, dan mungkin pula membuat tematisasi
refleksif dari relasi teks-teks kepada struktur otoritas diskursif. Sejak
intertekstualitas berfungsi, baik sebagai jejak maupun representasi, tematisasi
ini tidak ingin tergantung kepada maksud kesadaran yang mutlak; (8) identifikasi
sebuah interteks adalah sebuah tindakan interpretasi. Interteks bukan merupakan
sebuah sumber yang nyata dan kausatif, tetapi merupakan bangunan teoretik yang
dibentuk oleh tujuan pembacaan; (9) apa yang relevan bagi interpretasi tekstual
bukanlah sumber intertekstual yang khusus, melainkan struktur diskursif yang
umum (genre, formasi diskursif,
ideologi); (10) analisis intertekstual dibedakan dari kritik sumber, baik
karena penekanannya yang lebih pada interpretasi daripada kemantapan
fakta-fakta khusus, maupun oleh penolakannya terhadap satu kausalitas yang
tidak linier bagi sejumlah karya yang dipertunjukkan di atas materi
intertekstual dan integrasi fungsionalnya pada teks yang muncul belakangan (John
Frow dalam Worton dkk., 1990:45—46).
Berdasarkan prinsip teori intertekstual yang memandang teks
sebagai transformasi teks-teks lain dan sebagai sebuah tindakan interpretasi,
maka dapat dikatakan bahwa persoalan transformasi merupakan bagian esensial dalam
teori intertekstual. Dalam transformasi teks, Teeuw, dalam tulisan berjudul “Translation, Transformation, and Indonesian
Literary History” (1983:5) menyebutkan ada empat pertanyaan penting yang
mesti diperhatikan, yaitu (a) mengapa satu teks dipilih secara khusus dalam
suatu transformasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, seseorang akan membedakan
antara alasan sastra dengan alasan sosial budaya; (b) apakah yang terjadi pada
teks dalam proses transformasi itu? Apakah ada bagian-bagian teks yang diubah,
diadaptasi ataukah ditransformasi, baik dalam bentuk sastranya maupun dalam
fungsi sosialnya? (c) apakah yang dilakukan teks sumber terhadap teks
transformasi itu? Apakah ada dampak, misalnya teks sumber mempengaruhi sistem
sastra yang terkait, teks sumber menyebabkan terciptanya genre baru, teks sumber mempengaruhi norma-norma dan
konvensi-konvensi, ataukah memutuskan horison harapan pembaca masa kini? (d)
apakah yang dilakukan teks transformasi itu terhadap teks sumbernya?
Bagaimanakah teks sumber itu diterima, diadaptasi, atau mungkin pada beberapa
bagian ditolak atau ditinggalkan? Karena itu, transformasi memainkan peranan
esensial dalam sejarah sastra. Karya sastra akan mendapatkan makna penuh dengan
latar belakang keseluruhan sastranya, baik secara sinkronis maupun diakronis.
Pemahaman demikian akan mampu melahirkan karya sastra sebagai tanda yang penuh
makna secara semiotik (Chamamah, 1991:19). Dari segi teori sastra, prinsip
intertekstual membawa peneliti kepada upaya untuk memandang teks-teks pendahulu
sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek pemaknaan yang
bermacam-macam (Culler, 1981:103).
Riffaterre (1978:1—2) mengemukakan
bahwa karya sastra merupakan aktivitas bahasa secara tidak langsung dan
bersifat hipogramatik. Fenomena
sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara
tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa
puisi (karya sastra) merupakan satu aktivitas bahasa. Akan tetapi, aktivitas
bahasa itu adalah tidak langsung. Ada tiga hal yang menyebabkan
ketidaklangsungan itu, yakni displacing
of meaning, distorting of meaning, dan creating
of meaning. Displacing of meaning muncul
ketika tanda-tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata
“menggantikan” kata yang lain, sebagaimana metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi akibat
ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense.
Sementara itu, creating of meaning
ditentukan oleh satu organisasi prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item linguistik.
Lebih jauh, Riffaterre (1978:2—3)
menyebutkan bahwa ciri khas puisi adalah kesatuannya, yakni satu kesatuan, baik
formal maupun semantik. Berdasarkan tataran formal dan semantik, Riffaterre
mengusulkan dua istilah yang perlu dibedakan dalam pemaknaan puisi, yakni arti
(meaning) dan makna (significance)[1].
Pertentangan antara arti (meaning)
dan makna (significance) memainkan
peranan yang menentukan (Santoso,
1993:29). Dari segi arti (meaning),
teks puisi merupakan rangkaian satuan informasi yang berturut-turut, yang
dikonvensikan oleh teks pada tataran mimetik. Dari segi makna (significance), teks puisi merupakan satu
kesatuan semantik. Sehubungan dengan itu, pembaca sebagai pemberi makna harus
mulai dengan menemukan arti (meaning)
teks berdasarkan fungsi mimetik bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Dengan kata lain, pembaca melakukan pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik.
Setelah itu, pembaca melangkah ke tataran yang lebih tinggi, yakni significance sebagai satu manifestasi
semiosis dengan mencari kode karya sastra secara struktural atau decoding.
Dalam tataran baca semacam itu, pembaca melakukan pembacaan hermeneutik, yakni pembacaan berdasarkan
kompetensi sastra. Pembacaan hermeneutik
dilakukan secara struktural, bergerak secara bolak-balik dari bagian ke
keseluruhan dan kembali lagi ke bagian, dan seterusnya berdasarkan unsur-unsur
ketidakgramatikalan (ungrammaticali-ties).
Bagi Riffaterre, salah satu ketidakgramatikalan (ungrammaticalities) itu dan yang sekaligus menjadi pusat makna satu
puisi adalah matriks.
Menurut Riffaterre (1978:19), wacana puisi merupakan
ekuivalensi yang ditetapkan antara satu kata dengan satu teks atau satu teks
dengan teks yang lain. Puisi merupakan hasil dari transformasi matriks, yakni kalimat minimal dan
literal ke dalam parafrase yang lebih panjang, kompleks, dan nonliteral. Matriks adalah bersifat hipotetik. Matriks mungkin dioptimasikan dalam satu
kata yang tidak pernah diaktualisasikan secara utuh di dalam teks, tetapi
diaktualisasikan dalam bentuk varian-varian, ketidakgramatikal-an (ungrammaticalities). Bentuk varian
sebagai aktualisasi pertama atau aktualisasi pokok dari matriks adalah model.
Bagi Riffaterre, matriks, model, dan teks merupakan varian dari
struktur yang sama.
Riffaterre mengajukan gagasan produksi tanda (production sign), yakni produksi tanda puitik ditentukan oleh derivasi hipogramatik: satu kata atau frase
dipuitiskan ketika kata atau frase itu mengacu pada sekelompok kata yang telah ada lebih dahulu, satu hipogram yang juga merupakan satu varian
dari matriks teks (Riffaterre,
1978:23). Hipogram itu tidak ada di
dalam teks. Hipogram itu mungkin
bersifat potensial yang tampak dalam bahasa seperti presuposisi, klise-klise,
serta sistem deskriptif, yakni satu jaringan kata-kata yang dihubungkan dengan
satu hal lain di sekitar kata inti, atau bersifat aktual dalam wujud
mitos-mitos atau teks-teks lain yang telah ada sebelumnya (Riffaterre,
1978:23—39).
Analisis intertekstual bersifat politis (praktis), yakni
melihat yang tekstual dan ekstratekstual saling memperlakukan, atau yang
ekstratekstual merupakan jenis teks lain. Namun, terdapat kebutuhan yang
menggambarkan relasi antara pembentukan-pembentukan sosial (sebagai salah satu
jenis teks) dan teks-teks dalam pengertian konvensional. Praktik intertekstual
merupakan sebuah upaya untuk berjuang melawan “kerumitan dan pengucilan”.
[1] ) Berkaitan dengan
istilah syllepsis (ambigu menurut Genette): sebuah kata
pada suatu ketika dipahami lewat dua cara, yakni sebagai arti (meaning) dan sebagai makna (significance). Ia merupakan bagian
strategi tekstual, selain kutipan, dll.
Sumber: Materi Kuliah Susastra Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma