Mengkaji karya sastra tanpa sebuah teori tentu sangat susah, karena tidak ada landasan berpijak untuk mengetahui labih jauh hal yang akan kaji. Namun, teman-teman jangan ragu tentang hal itu, berikut ada beberapa uraian yang menjelaskan tentang teori sastra, salah satunya yaitu teori semiotik.
Semiotika
adalah suatu bidang studi yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi
melalui sarana tanda-tanda dan berdasarkan pada sistem tanda (Segers, 1978:14)
atau bidang studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan tanda: cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakan (Eco, 1979:7; van Zoest, 1992:5).
Secara definitif, tanda adalah segala apa yang menyatakan
sesuatu yang lain daripada dirinya. Tanda itu dihasilkan melalui proses
signifikasi yang merupakan proses yang memadukan penanda dan petanda (Barthes
dalam Young, 1981:37—38; Budiman, 1999:108; Sunardi, 2002:49). Karena itu, pada
prinsipnya semiotik mempelajari bagaimana arti-arti dibuat dan bagaimana
realitas direpresentasikan, yang barangkali jelas dalam bentuk “teks” dan
“media” (Chandler, 2002:2). Semiotik memusatkan perhatian pada pertukaran
beberapa pesan apa pun dalam suatu kata atau komunikasi dan juga memusatkan
perhatian pada proses signifikasi (Sebeok, 1994:5).
Paling sedikit ada tiga aliran dalam
semiotika, yaitu (1) aliran semiotika komunikasi dengan intensitas kualitas
tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan
maksud. Sebuah teks sastra dapat dipandang sebagai seperangkat tanda yang
ditransmisikan melalui saluran kepada pembaca. Kode yang dipilih pengarang dan
diketahui atau sebagian diketahui pembaca memungkinkan pembaca mendecode
tanda-tanda tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks. Saluran
memungkinkan pembaca membaca teks sastra, sedangkan kode memungkinkan pembaca
menafsirkan teks sastra (Buyssens, Prieto, Mounin); (2) aliran semiotika
konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya,
arti (meaning) pada bahasa sebagai
sistem tanda tingkat pertama menjadi makna (significane)
pada sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua (Barthes); (3) aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang
psikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat (Julia Kristeva)
Dalam lapangan kritik sastra, semiotika memandang sastra
sebagai sebuah penggunaan bahasa berdasarkan pada konvensi-konvensi tambahan
dan meneliti ciri-ciri yang memberikan makna pada bermacam-macam modus wacana
(Preminger (ed.), 1974:980). Ahli semiotika memburu jenis-jenis tanda tertentu,
bagaimana tanda-tanda itu berbeda dengan yang lain, bagaimana fungsi tanda
dalam habitat alaminya, bagaimana interaksinya dengan jenis-jenis tanda yang
lain (Culler, 1981:vii), dan tanda-tanda dengan konvensinya (Pradopo, 2001:3).
Karya sastra sebagai bangunan bahasa pada hakikatnya adalah fakta semiotik,
sebagai sistem tanda (Abdullah, 1991:8) yang dapat ditafsirkan dan yang proses
penafsirannya itu dapat terjadi berkali-kali (Hoed, 2001:197).
Dilihat dari faktor yang menentukan
adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut:
- Representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum:
- qualisigns, terbentuk oleh kualitas:
warna hijau
- sinsigns, tokens, terbentuk melalui realitas fisik: rambu lalu lintas
- legisigns, types berupa hukum: suara wasit dalam pelanggaran
- Object (designatum,
denotatum, referent) yaitu apa yang diacu:
- Ikon: hubungan penanda dan petanda karena kemiripan:
foto
- Indeks: hubungan penanda dan petanda karena sebab
akibat: asap dan api
- Simbol: hubungan penanda dan petanda yang bersifat
konvensional: bendera
- Interpretant, tanda-tanda baru yang
terjadi dalam batin penerima:
- rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
- decisigns, dicent signs, tanda
sebagai fakta: pernyataan deskriptif
- argument, tanda tampak sebagai nalar:
proposisi
Menurut Pradopo (2001:3—4) bahwa
dalam rangka perburuan tanda-tanda itu, ada empat paradigma yang perlu
diperhatikan, yaitu (1) jenis-jenis tanda: ikon,
indeks, dan simbol; (2) satuan-satuan arti; (3) konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda mempunyai makna; dan (4) hipogram
(hubungan intertekstual).
Riffaterre (1978:1—2) mengemukakan
bahwa karya sastra merupakan aktivitas bahasa secara tidak langsung dan
bersifat hipogramatik. Fenomena
sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara
tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa
puisi (karya sastra) merupakan satu aktivitas bahasa. Akan tetapi, aktivitas
bahasa itu adalah tidak langsung. Ada tiga hal yang menyebab-kan
ketidaklangsungan itu, yakni displacing
of meaning, distorting of meaning, dan creating
of meaning. Displacing of meaning muncul
ketika tanda-tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata
“menggantikan” kata yang lain, sebagaimana metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi akibat
ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense.
Sementara itu, creating of meaning
ditentukan oleh satu organisasi prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item linguistik.
Lebih jauh, Riffaterre (1978:2—3)
menyebutkan bahwa ciri khas puisi adalah kesatuannya, yakni satu kesatuan, baik
formal maupun semantik. Berdasarkan tataran formal dan semantik, Riffaterre
mengusulkan dua istilah yang perlu dibedakan dalam pemaknaan puisi, yakni arti (meaning) dan makna (significance). Pertentangan antara arti (meaning) dan makna (significance)
memainkan peranan yang menentukan
(Santoso, 1993:29). Dari segi arti (meaning),
teks puisi merupakan rangkaian satuan informasi yang berturut-turut, yang
dikonvensikan oleh teks pada tataran mimetik. Dari segi makna (significance), teks puisi merupakan satu
kesatuan semantik. Sehubungan dengan itu, pembaca sebagai pemberi makna harus
mulai dengan menemukan arti (meaning)
teks berdasarkan fungsi mimetik bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Dengan kata lain, pembaca melakukan pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik.
Setelah itu, pembaca melangkah ke tataran yang lebih tinggi, yakni significance sebagai satu manifestasi
semiosis dengan mencari kode karya sastra secara struktural atau decoding.
Dalam tataran baca semacam itu, pembaca melakukan pembacaan hermeneutik, yakni pembacaan berdasarkan
kompetensi sastra. Pembacaan hermeneutik
dilakukan secara struktural, bergerak secara bolak-balik dari bagian ke
keseluruhan dan kembali lagi ke bagian, dan seterusnya berdasarkan unsur-unsur
ketidakgramatikalan (ungrammaticalities).
Bagi Riffaterre, salah satu ketidakgramatikalan (ungrammaticalities) itu dan yang sekaligus menjadi pusat makna satu
puisi adalah matriks.
Menurut Riffaterre (1978:19), wacana puisi merupakan
ekuivalensi yang ditetapkan antara satu kata dengan satu teks atau satu teks
dengan teks yang lain. Puisi merupakan hasil dari transformasi matriks, yakni kalimat minimal dan
literal ke dalam parafrase yang lebih panjang, kompleks, dan nonliteral. Matriks adalah bersifat hipotetik. Matriks mungkin dioptimasikan dalam satu
kata yang tidak pernah diaktualisasikan secara utuh di dalam teks, tetapi
diaktualisasikan dalam bentuk varian-varian, ketidakgramatikalan (ungrammati-calities). Bentuk varian
sebagai aktualisasi pertama atau aktualisasi pokok dari matriks adalah model.
Bagi Riffaterre, matriks, model, dan teks merupakan varian dari
struktur yang sama.
Riffaterre mengajukan gagasan produksi tanda (production sign), yakni produksi tanda puitik ditentukan oleh derivasi hipogramatik: satu kata atau frase
dipuitiskan ketika kata atau frase itu mengacu pada sekelompok kata yang telah ada lebih dahulu, satu hipogram yang juga merupakan satu varian
dari matriks teks (Riffaterre,
1978:23). Hipogram itu tidak ada di
dalam teks. Hipogram itu mungkin
bersifat potensial yang tampak dalam bahasa seperti presuposisi, klise-klise,
serta sistem deskriptif, yakni satu jaringan kata-kata yang dihubungkan dengan
satu hal lain di sekitar kata inti, atau bersifat aktual dalam wujud
mitos-mitos atau teks-teks lain yang telah ada sebelumnya (Riffaterre,
1978:23—39).
Menurut Riffaterre (1978:47—80),
dalam rangka produksi teks, aktualisasi produksi tanda dari hipogram-hipogram
di atas diintegrasikan oleh ekspansi,
konversi ataupun kombinasi antara ekspansi dan konversi. Ekspansi
mentransformasikan bagian-bagian kalimat matriks
ke dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Konversi
mentransformasikan bagian-bagian kalimat matriks
melalui pemodifikasian kesemuanya dengan faktor yang sama. Dengan kata lain,
pemaknaan (significance) akan menjadi
volarisasi positif dari satuan semiotik tekstual apabila hipogram adalah negatif,
dan volarisasi negatif terjadi apabila hipogram
itu positif. Demikianlah Riffaterre memahami puisi sebagai ekspresi bahasa
secara tidak langsung dan bersifat hipogramatik.
Om Swastiastu;
BalasHapusTen kerasa sampun rawuh malih Hari Raya Nyepi, santukan asapunika tiang ngaturang Rahajeng Nyanggra Rahina Nyepi, Dumogi stata Shanti gumi Baline
suksma
RAHAJENG MAWALI SAMETON.. MOGI RAHAYU!
BalasHapus