PUISI RAHAJENG RAUH KARYA KETUT ARYANA:
SEBUAH KAJIAN ESTETIKA
BAB
I
PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan
wujud dari hasil pemikiran manusia, namun demikian karya sastra juga merupakan
cerminan bagi realita kehidupan manusia. Karya sastra diciptakan berdasarkan
atas ilham, penjiwaan yang lengkap, serta memiliki daya estetis melalui bahasa
yang digunakannya. Puisi salah satu karya sastra yang memiliki daya estetika
tinggi. Setiap untaian kata dalam puisi merupakan hasil pemilihan secara cermat
dan teliti guna membangun unsur keindahan pada puisi. Akan tetapi untuk dapat
menikmati keindahan puisi tersebut diperlukan suatu pengkajian atau sebuah
analisis.
Sebuah puisi harus
dilihat dari dua segi, yaitu bentuk (struktur) dan isi (konsep). Satu dengan
yang lainnya saling berkaitan, oleh karena itu sebuah puisi tidak dapat dipandang
atau dianalisis dari satu segi saja. Pembahasan sebuah puisi harus
memperhatikan bagaimana keindahannya (puitis), unsur-unsur apa dan bagaimana
susunannya (instrinsik), bagaimana proses penciptaannya (intuisi), sejauh mana
pengungkapannya (imajinasi) atau ungkapan tentang apa saja (sintesis), atau
pesan apa yang disampaikan (tematis), dan banyak hal lainnya (Antara, 1985: 4).
Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat dikatakan bahwa semua unsur yang terdapat dalam puisi terjalin
menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga menimbulkan keindahan. Begitu juga
halnya dalam puisi "Rahajeng Rauh"
karya Ketut Aryana. Dengan demikian, perlu dilakukan suatu analisis untuk
menguak aspek keindahan pada puisi tersebut. Melalui kegiatan analisis tersebut
diharapkan mampu menerapkan konsep estetika dan mendeskripsikan unsur-unsur
yang mengandung nilai estetika pada puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana.
BAB
II
PEMBAHASAN
Ratna (2009: 330) menyatakan bahwa analisis yang baik adalah
kajian yang memelihara keseimbangan antara prinsip linguistik dan sastra
kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian aspek estetis. Oleh karena itu,
analisis yang dilakukan mengacu pada penggunaan bahasa yang bernilai estetis
dengan berdasarkan pada unur instrinsik yang terdapat dalam puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana.
Adapun puisi tersebut adalah sebagai berikut.
Rahajeng
Rauh
I
1. teka cening matawangang dewek baan
nguekin ling
2. kapapag gargitan semun kumpi,
dadong mwah maman
3. kertas putih ngeplak, dasar warna
4. ah, i guru nylempoh di obag jlanan
5. ngaton nrawang layaran gulem di
langit semeng
6. tangkah rograg kablebegin lega
7. makejang warnane duk totonan
8. masalin masawang kuning nguda
9. satmaka rainan betara turun kabeh
10. mani puan kelih lantas cening
11. kertas cenik
12. mangda ida surya
13. dumadak dueg milih warna melah
14. kanggon nyoreng morengin
15. ental baktin dewek putune teken
kadarman
16. nah, rahajeng rauh
17. dewa manusa prawira indonesia
18. di lima kenawan nyangkil uli
kedituan
19. dina-dina abot ane bakal teka
II
1. nangingke maman tuara nglalungin
pesan
2. dewek ceninge alit
3. di grobag emase ada panganggo
aprangkatan
4. lumbrah kaseluk prabu-prabu
pradnyan
5. tetamaan leluhur turun temurun
6. jagate ngadanin totonan Pancasila
7. rahajeng rauh
8. rahajeng rauh cening bagus
9. enggal-enggal kelih tur mokoh tur
gesit
10. dingehang ja pakrauk jadmane tiwas
muah i sengsara
11. ngantosang baktin putune
12. nah, tatakang limane
13. trima panganggo raja warisane
14. cening ane patut nguasaang
Melihat bait-bait puisi
di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur instrinsik puisi tersebut, yaitu (1)
tema (sense), (2) tipografi, (3)
amanat, (4) nada (tone), (5) perasaan (feeling), (6) rima, (7) citraan (pengimajian), (8) diksi, (9) kata
konkret, dan (10) gaya bahasa (majas).
Terkait dengan analisis
estetika pada puisi "Rahajeng Rauh"
di atas, maka dari kesepuluh unsur tersebut dapat penulis klasifikasikan atas
dua bagian, yaitu analisis fisik dan analisis batin. Analisis fisik, terdiri
atas tipografi, rima, citraan (pengimajian), diksi, kata konkret, dan gaya
bahasa (majas). Sedangkan analisis batin meliputi unsur tema, amanat, nada (tone), dan perasaan (feeling). untuk lebih jelasnya akan
disajikan secara rinci pada uraian berikut.
2.1
Analisis Fisik
2.1.1
Tipografi
Tipografi merupakan tatanan
larik, bait, kalimat, frase, kata, dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk
fisik yang mampu mendukung isi, rasa, dan suasana dalam
puisi. Oleh karena itu, puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana di
atas memiliki tipografi berupa rata kiri. Secara fisik puisi tersebut terdiri
atas dua bagian namun memiliki kesinambungan pada bagian pertama (1) dan kedua
(2). Bagian pertama terdiri atas 5 bait, masing-masing bait, yaitu bait 1 (3
baris), bait 2 (3 baris), bait 3 (3 baris), bait, 4 (6 baris), dan bait 5 (4
baris). Bagian kedua terdiri atas 3 bait, masing-masing bait memiliki beberapa
baris, yaitu bait 1 (6 baris), bait 2 (5 baris), dan bait 3 (3 baris). Keseluruhan
ditata dengan rata kiri seperti pada puisi terlampir. Meskipun banyak penulis
yang menggunakan tipografi berupa rata tengah dan zig zag ‒ bait puisi yang
menjorok ke dalam dan keluar. Namun, penggunaan tipografi dengan rata kiri
tidak mengurangi nilai estetis pada dalam puisi tersebut, justru penggunaan
tipografi yang demikian dapat memudahkan pembaca untuk mengapresiasi serta
memahami setiap bait guna menemukan maksud yang terimplisit dalam puisi
tersebut.
2.1.2
Rima
Rima (persajakan)
adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan
bait atau persamaam bunyi dalam puisi. Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi
untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi
di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi,
yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan
angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus dan sebagainya (http://riniintama.wordpress.com/pengertian-bunyi-rima-dan-irama-pada-puisi/,
diakses pada tanggal 14 Februari 2013). Semakin teratur penggunaan bunyi dalam
sebuah puisi, maka tingkat estetikanya akan semakin tinggi.
Ditinjau dari jenisnya,
rima dalam puisi "Rahajeng Rauh" terdiri atas rima asonansi dan aliterasi. Rima
asonansi adalah persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah. Rima
aliterasi adalah persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris
yang sama atau baris yang berlainan.
Secara
keseluruhan puisi "Rahajeng Rauh"
didominasi oleh adanya vokal /a/, dan /u/. Sedangkan bunyi konsonan yang
dominan pada puisi tersebut, yaitu /d/, /m/,
/r/, /p/, dan /k/. Asonansi /a/ terdapat pada bagian I yaitu: tangkah rograg kablebegin lega
(baris 6), mangda ida surya (baris 12), nah, rahajeng rauh (baris 16), dewa manusa prawira indonesia (baris 17), dina-dina abot ane bakal teka (baris 19). Pada bagian II yaitu: nangingke
maman tuara nglalungin pesan (baris 1), di
grobag emase ada panganggo aprangkatan (baris 3), jagate ngadanin totonan Pancasila (baris 6), rahajeng rauh (baris 7),
rahajeng rauh cening bagus (baris 8),
dingehang ja pakrauk jadmane tiwas muah i sengsara (baris 10), nah, tatakang limane (baris 12), trima panganggo raja warisane (baris
13), cening ane patut nguasaang (baris
14).
Asonansi
/u/ terdapat pada bagian II, yaitu lumbrah
kaseluk prabu-prabu pradnyan (baris 4), tetamaan
leluhur turun temurun (baris 5). Beranjak dari rima asonansi, pada puisi
tersebut juga memiliki rima aliterasi pada baris puisinya. Aliterasi /d/ dapat
ditemukan pada puisi bagian I, yaitu baris 2, 3, 4, 5, 7, 13, 15, 17, 18, 19,
puisi bagian II baris 2, 23, 10. Adapun kata-kata yang mengandung aliterasi
/d/, yaitu dadong, dasar, dewa, dewek,
di, dina-dina, dingehang, dueg, duk, dumadak. Aliterasi /d/ dapat dengan
jelas dilihat pada puisi bagian I baris 13, yaitu dumadak
dueg milih warna melah.
Aliterasi
/m/ juga dapat ditemukan pada puisi bagian I, yaitu pada baris 1, 2, 7, 8, 10,
12, 13, 14, 17, pada bagian II baris 1, 9, 10. Aliterasi tersebut dapat
ditemukan pada puisi bagian I baris 8, yaitu masalin masawang kuning nguda. Selain itu, kata-kata
yang menunjukkan aliterasi /m/, yaitu makejang,
maman, mangda,
mani,
manusa,
matawangang,
melah,
milih,
mokoh,
morengin,
muah,
mwah.
Lebih jauh lagi,
aliterasi /r/ muncul pada puisi bagian I baris 6, 9, 16, bagian II baris 7, 8,
13. Kata-kata tersebut meliputi: rahajeng,
rainan, raja, rauh, rograg. Aliterasi /r/ dapat dilihat dengan jelas pada
baris puisi bagian II baris 7 berikut, yaitu rahajeng rauh.
Selain
itu, ditemukan juga aliterasi /p/ pada puisi bagian I baris 3, 10, 15, 17, bagian II baris 1, 3, 4, 6, 10, 11, 13,
14. Kata-kata yang memiliki aliterasi /p/, yaitu pakrauk, Pancasila, panganggo, patut, pesan, prabu-prabu, pradnyan,
prawira, puan, putih, putune. Namun, lebih jelas dapat dilihat pada puisi
bagian II baris 4, yaitu lumbrah kaseluk prabu-prabu pradnyan.
Merujuk pada aliterasi
tersebut, ditemukan juga aliterasi /k/ meskipun tidak banyak, namun turut
mendominasi bunyi konsonon dalam setiap baris puisi tersebut. Hal tersebut
terdapat pada puisi bagian I baris 2, 3, 6, 8, 9, 10, 14, 15, 18, bagian II
baris 4, 9. Kata-kata yang memiliki aliterasi /k/, yaitu kabeh, kablebegin, kadarman, kanggon, kapapag, kaseluk, kedituan, kelih,
kenawan, kertas, kumpi, kuning. Namun perlu diketahui baris yang menyatakan
aliterasi /k/ tersebut, yakni pada puisi bagian I baris 2, yaitu kapapag gargitan semun kumpi, dadong mwah maman.
Penggunaan rima melalui
persamaan bunyi yang teratur memberikan nuansa keindahan tersendiri pada puisi,
namun dengan banyaknya variasi rima serta bunyi yang dihasilkan penulis dalam
puisi "Rahajeng Jauh"
justru menambah keindahan puisi tersebut.
2.1.3
Citraan
(Pengimajian)
Citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan
pembayangan imajinatif bagi pembaca. Pada dasarnya citraan kata terefleksi
melalui bahasa kias. Citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk
menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan
setiap pengalaman indera yang istimewa. Citraan dibuat dengan pemilihan kata
(diksi). Citraan dapat berupa citraan pendengaran, penglihatan, perabaan,
pencecapan, dan penciuman.
Dalam puisi "Rahajeng Rauh" penyair memaanfaatkan citraan untuk
menghidupkan imaji pembaca melalui bahasa atau ungkapan yang tidak langsung.
Pembaca dituntut untuk menemukan sendiri bahasa yang dimaksudkan oleh penyair.
Citraan pendengaran terlihat pada kata nguekin
ling dan dingehang, yaitu teka cening matawangang dewek baan nguekin ling (bagian I baris 1), dan
dingehang ja pakrauk jadmane tiwas
muah i sengsara (bagian II baris 10). Dalam hal ini nguekin ling didengar melalaui indera pendengaran, begitu juga
dengan kata dingehang merupakan suatu
pekerjaan yang dilakukan melalui indera pendengaran. Selain itu, citraan penglihatan
juga ditemukan pada kata seperti; matawangang
dewek, semun, ngeplak, nylempoh, ngaton, grobag emase, yaitu teka cening matawangang dewek baan nguekin ling (bagian I baris 1), kapapag gargitan semun kumpi, dadong mwah maman (bagian I baris 2), kertas putih ngeplak, dasar warna (bagian I baris 3), ah, i guru nylempoh di obag jlanan (bagian I baris 4), ngaton nrawang layaran gulem di langit semeng
(bagian I baris 5), di grobag emase ada
panganggo aprangkatan (bagian II baris 3). Matawangang dewek, semun, ngeplak, nylempoh, grobag emase merupakan
sesuatu yang dilihat dengan indera penglihatan, lain halnya dengan kata ngaton yang bermakna melakukan kegiatan
dengan menggunakan indera penglihatan, yaitu mata.
Berdasarkan
analisis citraan tersebut, dapat diketahui bahwa puisi "Rahajeng Rauh" menggunakan citraan
pendengaran dan citraan penglihatan.
2.1.4
Diksi
Diksi
adalah pilihan kata yang digunakan secara cermat dan tepat guna menampilkan
unsur estetika pada setiap baris puisinya. Kata-kata dalam puisi "Rahajeng Rauh" dipilih dengan tepat
oleh penyair untuk menampilkan tokoh utama orang ketiga ‒ kata
"cening" pada puisi tersebut. Kata surya dalam baris puisi bagian I baris 12, yaitu mangda ida surya, perlu dimendapat perhatian dari pembaca, bahwa dalam
setiap tindakan yang kita rencanakan ditentukan oleh Ida ‒ Tuhan. Penyair
menggunakan kata surya untuk
menyatakan bahwa tokoh "Cening"
sebagai suatu harapan negeri agar mendapat restu dan tuntunan ketika mengemban
amanah sebagai seorang pemimpin, sehingga menjadi seorang pemimpin yang
bijaksana dan mencintai rakyatnya dengan berpedoman pada ajaran niti sastra dan asta brata. Kemudian kata warna
pada puisi bagian I baris 13, yaitu dumadak
dueg milih warna melah,
menyatakan bahwa kata warna
denotatifkan sebagai suatu pilihan kehidupan bagi pemimpin. Seyogyanya pemimpin
melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak rakyatnya. Bukan malah sebaliknya
mementingkan kepentingan pribadi atau golongannya.
Selain
itu kata panganggo pada puisi bagian II baris 3, yaitu di grobag emase ada panganggo
aprangkatan, digunakan untuk menyatakan sebagai suatu landasan pemerintahan
seorang pemimpin, berupa Pancasila. Pemimpin mengarahkan setiap rencana dan
kegiatannya dengan berpatokan pada Pancasila, bukan hanya sebagai sebuah simbol
(semion), namun terlebih dari itu
juga harus mengamalkan sila-silanya ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam hal ini yaitu sebagai seorang pemimpin.
2.1.5
Kata
Konkret
Kata-kata konkret, merupakan kata yang dapat melukiskan
dengan tepat, membayangkan dengan jitu apa yang hendak dikemukakan oleh
pengarang. Tarigan (2011: 32) mengungkapkan salah satu cara membangkitkan daya
bayang imajianasi para penikmat puisi adalah menggunakan kata-kata yang tepat,
kata yang dapat menyarankan suatu pengertian secara menyeluruh. Dalam puisi
"Rahajeng Rauh" sangat
banyak ditemukan kata-kata konkret, yaitu teka,
nylempoh, ngaton, dingehang, mokoh, gesit, kelih, sengsara. Merupakan
beberapa kata yang konkret sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami
maknanya, namun demikian kata tersebut juga ada yang mengandung citraan
pendengaran dan penglihatan seperti pembahasan sebelumnya.
2.1.6
Gaya
Bahasa (Majas)
Gaya bahasa (majas, figuratif language), yaitu bahasa kias yang menimbulkan makna
konotasi tertentu. Penggunaan gaya bahasa inilah yang menjadi daya tarik sebuah
puisi (Jatiyasa, 30: 2012). Penyair yang memiliki kualitas estetika yang tingga
sudah pasti lebih banyak menggunakan kata-kata kias berupa pemajasan. Dalam
puisi "Rahajeng Rauh"
ditemukan beberapa kata yang mengandung gaya bahasa tertentu, di antaranya
adalah sebagai berikut.
Majas
hiperbola ditemukan pada puisi bagian I baris 6, bagian II baris 1, baris 10,
yaitu pada kata tangkah rograg,
nglalungin pesan, dan pakrauk jadmane.
Majas asosiasi ditemukan lebih banyak dalam puisi ini pada puisi bagian I baris
3, 7, 8, 11, bagian II baris 3, 4, yaitu pada kata kertas putih, warnane, kuning nguda, kertas cenik, panganggo, dan kaseluk.
Majas metafora terdapat pada puisi bagian I baris 9, yaitu satmaka rainan betara turun kabeh.
Majas repetisi juga dapat ditemukan pada puisi bagian I baris 16, II bagian 7
dan 8, yaitu berupa pengulangan kata rahajeng
rauh.
2.2
Analisis Batin
2.2.1
Tema
Tema adalah pokok persoalan (subjek matter), suatu ide, gagasan atau
hal yang hendak dikemukakan oleh penulis, baik tersurat atau tersirat
(Jatiyasa, 29: 2012). Tema dalam puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana adalah kepemimpinan.
Meskipun secara eksplisit tidak dijelaskan dalam puisi tersebut, namun
interpretasi penulis merujuk pada hal tersebut. Penyair melukiskan keadaan
seorang calon pemimpin masa depan yang diharapkan mampu membawa pelita dalam
kegelapan bagi rakyat yang sengsara, dengan berlandaskan ajaran Pancasila.
Diharapkan mampu menjadi seorang pemimpin yang melindungi, mengayomi, dan
menjadi peneduh bagi rakyat yang sengsara. Namun demikian puisi tersebut
menyiratkan sebuah kritik terhadap pemimpin yang tidak layak untuk menjadi
seorang pemimpin suatu negara, hal ini tercermin pada puisi bagian II baris 14,
yaitu cening ane patut nguasaang. Hal ini berarti pemimpin yang layak dan
berhak atas kekuasaan negaranya adalah seorang pemimpin yang dikehendaki oleh
rakyatnya sendiri.
2.2.2
Amanat
Amanat dapat diartikan
sebagai suatu pesan, maksud atau tujuan dari penyair menulis sebuah puisi. Di
dalamnya terimplisit pesan moral dan sebagainya yang dapat dijadikan sebagai
pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai warga negara yang baik
adalah telah sepatutnya mengamalkan sila-sila dalam Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, puisi "Rahajeng
Rauh" mengamanatkan kepada kita bahwa seorang pemimpin yang berbudi
luhur yang mampu mengamalkan ajaran kepemimpinan dan menjadi amanah bagi
rakyatnya adalah seorang pemimpin yang sejati, sehingga pengharapan yang besar
tertumpu pada seorang pemimpin tersebut.
2.2.3
Nada
(Tone)
Nada yang ditunjukkan
penyair pada puisi "Rahajeng Rauh",
adalah nada pengharapan seorang calon pemimpin. Hal ini terdapat dalam puisi
bagian I baris 17 dan 18, yaitu dewa
manusa prawira indonesia, di lima kenawan nyangkil uli kedituan. Selain
itu, ditemukan juga nada penyerahan, yaitu penyerahan terhadap keadaan dan
nasib rakyat yang sengsara tanpa seorang pemimpin negara yang layak. Nada tersebut tercermin dalam puisi bagian II
baris 13, yaitu trima panganggo raja
warisane.
2.2.4
Perasaan
(Feeling)
Perasaan (feeling) dapat penulis artikan sebagai
ungkapan perasaan penyair terhadap figur dalam puisi tersebut. Berdasarkan
analisis penulis perasaan senang, bahagia, suka cita, merupakan gambaran perasaan
penyair pada puisinya dalam menyambut seorang calon pemimpin. Hal ini dapat
terlihat dari kutipan baris puisi berikut, yaitu makejang warnane duk totonan, masalin masawang kuning nguda, satmaka
rainan betara turun kabeh (bagian I, bait 3). Ungkapan bahagian tercermin
secara jelas pada kata kuning nguda
yang mengasosiasikan sebagai keadaan yang cerah, penuh makna.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Berdasarkan pembahasan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa analisis estetika puisi "Rahajeng
Rauh" karya Ketut Aryana dibagi atas dua analisis, yaitu analisi fisik dan
analisi batin. Analisi fisik meliputi tipografi, rima, citraan (pengimajian),
diksi, kata konkret, dan gaya bahasa dalam puisi tersebut. Sedangkan analisis
batin lebih menekankan pada unsur tema, amanat, nada (tone), dan perasaan (feeling).
3.2
Saran
Setiap karya sastra
memiliki ruang untuk dianalisis untuk mengatahui dan dijadikan sebagai pedoman
dalam setiap tindakan sehari-hari. Namun demikian, analisis terkait dengan
puisi "Rahajeng Rauh" karya
Ketut Aryana tentu masih banyak yang belum terungkap, oleh karena itu, tulisan
sederhana ini setidaknya mampu memberikan segelintir sumbangan apresiasi sastra
dari sekian pengkajian sastra yang telah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma