BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan
ini akan diuraikan enam hal pokok yaitu: (1) latar belakang penelitian,
(2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5)
ruang lingkup penelitian, dan (6) asumsi.
1.1
Latar
Belakang Penelitian
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Dengan menggunakan bahasa,
manusia mampu menyampaikan informasi sesuai dengan tujuannya masing-masing. Antara bahasa dan kebudayaan memiliki kaitan yang erat. Hal ini karena bahasa merupakan
unsur-unsur dari kebudayaan itu sendiri. Tanpa bahasa kebudayaan tidak akan
bisa berkembang. Demikian pula pada
kebudayaan Indonesia. Penutur bahasa daerah atau bahasa Indonesia wajib memahami betul budaya
Indonesia, sebab bahasa daerah mengandung puncak-puncak kebesaran kebudayaan
nasional yang perlu dikembangkan sesuai
dengan situasi dan kondisi pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun
bahasa daerah tersebut adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Betawi, bahasa
Sasak, bahasa Bali, dan sebagainya.
Bahasa
Bali sebagai salah satu bahasa daerah yang ada
di Indonesia merupakan salah satu bahasa yang masih dipelihara dengan
baik dengan masyarakat penuturnya, yaitu masyarakat Bali. Sebagai bahasa ibu, bahasa Bali digunakan oleh masyarakat Bali untuk
berkomunikasi antar etnis Bali,
seperti komunikasi dalam rumah tangga, sekolah serta masyarakat. Di samping
itu, bahasa Bali merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap
hidup serta berkembang luas di
Bali, meliputi bidang kesusastraan,
bidang hukum, bidang
adat-istiadat, agama, dan bidang kesenian.
Sebagai
realisasi bahasa Bali dalam bidang pendidikan terutama di sekolah, maka bahasa
Bali dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal dan wajib diajarkan pada semua
jenjang pendidikan dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah lanjutan tingkat atas
(SLTA). Hal ini didasarkan atas Surat
Keputusan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0412/U/1987, tertanggal 11 Juli 1987
yang isinya antara lain: “bahasa daerah Bali dimasukkan ke dalam Kurikulum
Muatan Lokal” serta ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali Nomor 44/I.19/I.1988,
tertanggal 11 Januari 1988 dengan diajarkannya mata pelajaran bahasa Bali pada
semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat
atas.
Dengan
diajarkannya mata pelajaran muatan lokal bahasa Bali pada semua jenjang pendidikan
di Bali, maka diharapkan:
(1) siswa menghargai
dan mengembangkan bahasa Bali sebagai bahasa ibu, bahasa pergaulan, dan bahasa
pengantar kebudayaan; (2) siswa memahami
bahasa dan sastra Bali dari segi bentuk, makna, dan fungsi serta menggunakannya
dengan cepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan;
(3) siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Bali untuk meningkatkan
kecerdasan, kematangan emosional, dan sosial; (4) siswa memiliki disiplin,
kebiasaan dalam berpikir, berbahasa, dan bertindak (Disdikpora, 2008: 3).
Pengembangan
pengajaran bahasa Bali sebagai pelajaran muatan lokal perlu disesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini karena belajar bahasa
merupakan belajar berkomunikasi sedangkan belajar sastra adalah belajar
menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Bahasa sebagai alat komunikasi
manusia, berupa lambang atau tanda, dan selalu mengandung pikiran/perasaan. Di
dalam kegiatan komunikasi ini manusia menyampaikan pikiran dan perasaannya
kepada orang lain (Suhendar dan Supinah, 1992: 1). Menurut Tarigan, bahasa
seseorang mencerminkan tingkat intelektualnya, semakin terampil seseorang
menggunakan bahasa, maka semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya.
Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan cara praktek dan banyak
latihan (dalam Tarigan, 1987: 1). Adapun keterampilan berbahasa tersebut
terdiri atas empat, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Dipandang
dari segi bahasa, berbicara dan menyimak dikategorikan sebagai komunikasi
lisan. Melalui berbicara, orang dapat menyampaikan informasi pada orang lain
dan melalui menyimak orang dapat menerima informasi dari orang lain. Terkait
dengan hal tersebut, maka kegiatan masatua
dalam eksistensinya sebagai salah satu aspek berbicara, dapat dijadikan sebagai
alternatif pengembangan dalam keterampilan berbahasa Bali pada siswa.
Pada
umumnya, masatua atau mendongeng
dilakukan di dalam keluarga sebelum menidurkan anak-anaknya. Kebiasaan masatua atau mendongeng tersebut dapat
dijadikan sebagai media pendidikan yang menanamkan tentang nilai-nilai dan
amanat-amanat yang luhur sebagai pembentukan budi pekerti pada anak sehingga
anak dapat menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai landasan dalam bersikap dan
berperilaku yang baik. Akan tetapi, seiring pesatnya teknologi modern, tanpa
terasa telah menggeser keberadaan seni masatua
sebagai tradisi penuturan cerita untuk anak-anak. Di samping itu, kesibukan
orang-tua yang mencari nafkah dan meningkatkan karir, menjadikan waktu yang dimilikinya
terasa sangat terbatas sehingga anak-anak sering berangkat tidur tanpa
mendengarkan satua dari orang-tuanya,
oleh karena itu pada era globalisasi ini banyak anak yang terkena krisis moral.
Hal ini karena anak tidak mempunyai tolok ukur dalam setiap tingkah lakunya.
Dengan
adanya keadaan yang demikian, maka dewasa ini pemerintah sedang gencar melakukan kegiatan-kegiatan bertema ajeg
Bali, di antaranya dengan mengikutsertakan masatua
Bali sebagai bagian dari lomba-lomba, seperti dalam Porsenijar dan PKB, baik
tingkat gugus, kecamatan, kabupaten maupun propinsi. Selain dijadikan sebagai
kegiatan lomba, masatua Bali juga
diajarkan di sekolah-sekolah sebagai bentuk apresiasi terhadap hasil karya
sastra Bali (tradisional).
Dalam
silabus bahasa Bali sangat jelas dipaparkan tentang kompetensi dasar yang harus
dikuasai oleh siswa, yaitu “siswa dapat mengungkapkan gagasan, pikiran dan
perasaan melalui cerita atau dongeng” (dalam Kurikulum Sekolah dasar, 2007).
Akan tetapi, pada kenyataannya banyak siswa belum mampu mengungkapkan gagasan,
pikiran, dan perasaannya melalui cerita atau dongeng sebagaimana khususnya
dipaparkan oleh beberapa guru sekolah dasar, mengatakan bahwa banyak siswanya
belum mampu masatua Bali dengan baik.
Dari
kesenjangan yang terjadi tersebut, timbul ketertarikan peneliti untuk melakukan
penelitian terhadap kemampuan masatua
Bali pada siswa kelas V di sekolah
dasar. Hal ini dilakukan untuk mengetahui secara objektif dan jelas tentang
kemampuan masatua Bali pada siswa sekolah
dasar tersebut. Selain itu, untuk
mengetahui kesulitan-kesulitan siswa dalam masatua
Bali dan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan
siswa dalam masatua Bali. Untuk itu,
penelitian ini mengkhususkan pada siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, dengan
judul penelitian yaitu “Kemampuan Masatua
Bali Siswa Kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem
Tahun Pelajaran 2010/2011.”
1.2
Rumusan
Masalah Penelitian
Berdasarkan
uraian dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat peneliti
rumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimanakah kemampuan masatua Bali siswa kelas V SD Negeri
Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran 2010/2011?
2.
Kesulitan-kesulitan apakah yang dialami
siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun
pelajaran 2010/2011 dalam masatua
Bali?
3.
Faktor-faktor apakah yang menjadi
penyebab kesulitan siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem tahun pelajaran 2010/2011 dalam masatua
Bali?
1.3
Tujuan
Penelitian
Sebuah penelitian
ilmiah pada umumnya dilandasi oleh suatu tujuan yang jelas. Tujuan yang jelas
akan dapat mengarahkan suatu penelitian untuk mencapai hasil yang diharapkan
oleh peneliti. Secara garis besar, tujuan penelitian dapat dibedakan atas
tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun
tujuan umum dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui tingkat apresiasi siswa
terhadap karya sastra Bali tradisional yang berbentuk satua.
2.
Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya peranan masatua Bali bagi
perkembangan kebahasaan anak tentang bahasa Bali.
3.
Untuk melestarikan budaya masatua yang saat ini sudah mulai
hilang.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui kemampuan masatua Bali siswa kelas V SD Negeri
Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran 2010/2011.
2.
Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan
yang dialami siswa kelas V SD Negeri
Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran 2010/2011 dalam masatua Bali.
3.
Untuk
mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan siswa
kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun
pelajaran 2010/2011 dalam masatua
Bali.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang
diperoleh dari penelitian ini dapat dibedakan atas (1) manfaat teoretis dan (2)
manfaat praktis.
1.4.1
Manfaat
Teoretis
Adapun manfaat teoretis
yang dapat peneliti paparkan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1.
Memberikan sumbangan dalam bentuk
apresiasi sastra Bali Tradisional di
tengah pesatnya perkembangan sastra Bali Modern.
2.
Menambah khasanah kesusastraan daerah
Bali dalam bentuk literatur.
1.4.2
Manfaat
Praktis
Secara praktis
penelitian ini diharapkan bermanfaat:
1.
Bagi Siswa
Adapun manfaat penelitian ini bagi
siswa, yaitu siswa dapat mengetahui kemampuannya di dalam masatua Bali sehingga dapat memotivasi siswa untuk mengembangkan
dan meningkatkan prestasinya dalam masatua
Bali.
2.
Bagi Guru
Adapun manfaat penelitian ini bagi
guru yaitu guru mampu memberikan masukan atau umpan balik dalam meningkatkan
kemampuan siswa dalam masatua Bali
dan sebagai refleksi diri terhadap pengajaran bahasa Bali yang telah dilakukan.
Di samping itu, guru juga dapat mengetahui kelemahan-kelemahan, kesulitan-kesulitan,
dan faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan siswa dalam masatua Bali sehingga dapat dijadikan sebuah catatan dalam
upaya meningkatkan prestasi anak didiknya dalam kegiatan masatua Bali itu sendiri.
3.
Bagi Penyusun Bahan Ajar
Bagi
penyusun bahan ajar bahasa Bali, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai masukan
dalam menyusun materi pelajaran bahasa Bali, terutama dalam apresiasi sastra
berbentuk satua.
4.
Bagi Pengembang Kurikulum
Melalui
hasil penelitian ini, diharapkan pengembang kurikulum dapat menambahkan alokasi
waktu dalam pembelajaran masatua Bali
sehingga masatua Bali dapat diajarkan
kepada siswa dengan maksimal, baik secara teori maupun praktiknya. Selain itu,
diharapkan pengembang kurikulum di dalam menyusun satua-satua Bali menyesuaikan dengan tingkat perkembangan
kebahasaan dan jenjang pendidikan siswa sehingga tidak menjadi tumpang tindih
di dalam pengajaran masatua Bali di
sekolah-sekolah.
1.5
Ruang
Lingkup Penelitian
Ruang lingkup bertujuan
untuk membatasi ruang atau gerak dari penelitian ini sehingga terhindar dari
penyimpangan dalam penelitian yang dilaksanakan. Di
samping itu, untuk memberikan gambaran yang jelas sesuai dengan objek yang
diteliti. Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini, yaitu hanya dibatasi pada
hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan masatua
Bali siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem
Pahun pelajaran 2010/2011.
Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan media satua Bali
yang berjudul Cicing I Rakrek Sakti
yang diambil dari kumpulan satua Bali
Siap Sangkur Mataluh Emas terbitan
Sabha Sastra Bali Denpasar tahun 2002. Dipilihnya satua Cicing I Rakrek Sakti karena bahasa dalam satua ini sesuai dengan perkembangan
kebahasaan siswa kelas V pada jenjang pendidikan sekolah dasar, yaitu
menggunakan basa Bali Kepara (andap) yang
dibubuhi dengan basa Bali alus
sehingga isi ceritanya lebih menarik dan dapat dipahami dengan mudah oleh
siswa.
Adapun aspek-aspek yang
dinilai dalam masatua Bali adalah
sebagai berikut.
1.
Suara,
2.
Lafal (ucapan),
3.
Intonasi,
4.
Diksi,
5.
Ekspresi,
6.
Gerakan tubuh/gestur,
7.
Keseluruhan (kelengkapan) cerita, dan
8.
Kefasihan (kelancaran).
1.6
Asumsi
Sebelum
dipaparkan beberapa asumsi dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu akan
diuraikan tentang pengertian asumsi itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 73) dicantumkan bahwa asumsi,
yaitu dugaan yang diterima sebagai dasar; landasan berpikir karena dianggap
benar. Sejalan dengan itu, Winarno Surakhmad menyatakan anggapan dasar atau postulat adalah sebuah
titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyelidik (dalam Suharsimi
Arikunto, 2006: 65). Anggapan dasar yang diterima oleh peneliti tersebut sudah
tentu merupakan hasil dari perumusan yang jelas serta didukung dengan studi
perpustakaan maupun wawancara terhadap narasumber yang bersangkutan.
Jadi,
dapat peneliti simpulkan bahwa asumsi atau anggapan dasar adalah landasan berpikir
yang kebenarannya diterima oleh penyelidik. Hal ini karena asumsi dapat
berfungsi untuk memperkuat permasalahan, dan membantu peneliti dalam
memperjelas menetapkan objek penelitian, wilayah pengambilan data dan instrumen
pengumpulan data.
Untuk
mempermudah jalannya penelitian ini, maka peneliti akan mengemukakan beberapa
asumsi yang dapat digunakan untuk memperkuat permasalahan yang peneliti akan
teliti. Adapun asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Guru-guru yang mengajar bahasa Bali di SD
Negeri II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem telah berpedoman pada kurikulum
yang berlaku, yaitu KTSP sehingga siswa telah memiliki kemampuan untuk masatua Bali.
2.
Guru-guru yang mengajar bahasa Bali di SD
Negeri II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem telah memiliki kewenangan
mengajar sesuai dengan bidangnya.
3.
Perbedaan jenis kelamin siswa tidak
mempengaruhi hasil penelitian.
4.
Siswa kelas V SD Negeri Gugus II
Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tidak ada yang memiliki cacat fisik
maupun gangguan psikologis.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan
disajikan subbab secara berturut-turut yaitu: (1) kajian pustaka dan (2) landasan
teori. Tiap-tiap nomor akan dibahas secara rinci seperti pada uraian di bawah
ini.
2.1 Kajian Pustaka
Kajian
pustaka adalah suatu bentuk alternatif untuk mencegah terjadinya plagiatisme
dalam pembuatan karya ilmiah di lingkungan perguruan tinggi. Kajian pustaka
mencantumkan tentang konsep, teori, atau penelitian yang relevan dengan
permasalahan dan tindakan yang dirancang sehingga jelas kerangka pikir yang
digunakan di dalam sebuah penelitian. Terkait dengan penelitian ini, akan
dipaparkan tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
landasan yang digunakan dalam penelitian, metode yang dipakai sehubungan dengan
penelitian yang dilakukan, dan hasil dari penelitian yang telah dilakukan.
Adapun penelitian-penelitian terkait dengan penelitian yang akan peneliti lakukan
berdasarkan tinjauan kepustakaan peneliti adalah sebagai berikut.
Pertama,
penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Putu Wahyuni, tahun 2010 dengan judul
“Kemampuan Menceritakan Satua Babad Dalem
Sri Waturenggong Siswa Kelas VIII SMP Dwijendra Denpasar tahun pelajaran
2009/2010.” Teori yang dijadikan landasan yaitu: (1) pengertian berbicara, (2) konsep dasar berbicara, (3)
jenis-jenis berbicara, (4) tujuan berbicara, (5) pengertian satua, (6) jenis-jenis satua/prosa, (7) tujuan masatua, (8) manfaat satua,
(9) kriteria penilaian aspek berbicara.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah (1) metode penentuan
subjek penelitian, (2) metode pendekatan subjek penelitian, dengan menggunakan
metode empiris, (3) metode pengumpulan data dengan menggunakan metode tes (tindakan), dan (4) metode pengolahan data,
sedangkan hasil penelitian yang didapatkan dari sampel 94 orang, yaitu 19
orang (20,2℅) memperoleh predikat baik sekali, sebanyak 75 orang (79,80℅) mendapatkan predikat baik.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ni Kadek Ermayanti,
tahun 2010 dengan judul “Kemampuan menceritakan Satua Ni Diah Tantri (Empas Padem Kabatek Antuk Gedeg Ipun Ring Asu) Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Penebel
Tabanan tahun pelajaran 2009/2010.”
Teori yang dijadikan landasan adalah (1) Apresiasi sastra, (2) prosa, lama,
baru, (3) satua Ni Diah Tantri, (4)
berbicara, dan (5) bercerita. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah (1)
metode penentuan subjek penelitian, (2) metode pendekatan subjek penelitian,
dengan menggunakan metode empiris, (3) metode pengumpulan data dengan
menggunakan metode tes dan observasi, dan (4) metode pengolahan data dengan
menggunaan metode analisis deskriptif, sedangkan hasil penelitiannya adalah
secara keseluruhan skor rata-ratanya yaitu 74 dan dapat dikategorikan
berpredikat cukup. Selain itu, kesulitan-kesulitan yang dialami siswa pada
waktu menceritakan satua yakni pada penggunaan gestur (gerak tubuh),
ekspresi, dan intonasi saat bercerita.
Dari
kedua penelitian di atas, terlihat jelas perbedaan dengan penelitian ini di
antaranya yaitu masalah yang diteliti. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh
Putu Wahyuni hanya meneliti satu masalah, yaitu kemampuan menceritakan Babad Dalem Sri Waturenggong siswa kelas
VIII SMP Dwijendra Denpasar tahun pelajaran 2009/2010. Dan Ni Kadek Ermayanti,
hanya meneliti dua masalah, yaitu: (1) kemampuan menceritakan Satua Ni Diah Tantri (Empas Padem Kabatek
antuk Gedeg Ipun ring Asu) siswa kelas XI SMA Negeri 1 Penebel Tabanan
tahun pelajaran 2009/2010 dan (2) kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam
menceritakan Satua Ni Diah Tantri (Empas Padem Kabatek antuk Gedeg Ipun ring Asu).
Di dalam penelitian ini, peneliti merumuskan tiga permasalahan, yaitu: (1)
kemampuan masatua Bali siswa kelas V
SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran
2010/2011, (2) kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam masatua Bali, dan (3) faktor-faktor yang
menjadi penyebab kesulitan siswa dalam masatua
Bali.
Dari kedua penelitian
tersebut, maka dapat peneliti katakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Ni
Luh Putu Wahyuni dan Ni Kadek Ermayanti hanya sebatas meneliti tentang
kemampuan dan kesulitan-kesulitan dalam menceritakan satua (masatua) saja.
Akan tetapi, penelitian yang akan peneliti lakukan lebih mendalam dengan
memperluas masalah penelitian, yakni faktor-faktor yang menjadi penyebab
kesulitan siswa dalam masatua Bali.
Selain
itu, untuk mengumpulkan data tentang masalah yang diteliti, Ni Luh Putu Wahyuni hanya menggunakan
metode tes (penugasan) saja, sedangkan Ni Kadek Ermayanti menggunakan metode
tes (penugasan), metode observasi, dan metode kuesioner. Namun dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan lima metode, yaitu metode tes (tindakan), metode
observasi, teknik rekam, metode kuesioner (angket), dan metode wawancara.
Di dalam mengevaluasi
kemampuan siswa menceritakan satua,
Ni Luh Putu Wahyuni hanya menggunakan empat kriteria, yaitu (1) ucapan, (2)
tekanan, (3) intonasi, dan (4) kelancaran, sedangkan Ni Kadek Ermayanti
menggunakan tujuh kriteria penelitian, yaitu: (1) penguasaan cerita/plot, (2)
suara, (3) pelafalan kata, (4) gestur/gerakan tubuh, (5) intonasi, (6)
ekspresi, dan (7) diksi/pemilihan kata. Namun, dalam penelitian ini peneliti
menggunakan delapan kriteria penilaian yaitu: (1) suara, (2) lafal (ucapan),
(3) intonasi, (4) diksi, (5) ekspresi, (6) gerakan tubuh/gestur, (7) keseluruhan
(kelengkapan) cerita, dan (8) kefasihan (kelancaran).
Di
samping itu, dari kedua penelitian tersebut terlihat jelas perbedaan yang
sangat menonjol dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, yaitu subjek
penelitian, lokasi, dan tahun peristiwa dilakukannya suatu penelitian. Adapun
judul penelitian ini, yaitu “Kemampuan Masatua
Bali Siswa Kelas V SD Negeri Gugus II
Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran 2010/2011.”
2.2 Landasan Teori
Setelah
masalah penelitian dirumuskan, maka langkah selanjutnya, yaitu mencari
teori-teori, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang
dapat dijadikan sebagai landasan teoretis untuk pelaksanaan penelitian.
Landasan penelitian ini perlu ditegakkan agar penelitian yang dilakukan
mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar perbuatan coba-coba. Sebelum
beralih ke teori-teori yang dapat menjadi dasar dalam penelitian ini, maka
perlu dijabarkan arti dari landasan teori itu sendiri.
Landasan
teori merupakan terdiri atas dua kata, yaitu landasan dan teori. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dipaparkan
bahwa landasan berarti “dasar”; “tumpuan” (Depdiknas, 2005: 633). Sedangkan
teori adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep,
definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis (Sugiyono, 2010: 81).
Kesesuaian antara konsep-konsep yang disusun secara sistematis tersebut mampu
memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan yang sedang dihadapi dalam
sebuah penelitian.
Jadi,
berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa landasan teori adalah
dasar atau tumpuan sebagai penalaran dalam bentuk konsep, definisi, dan
proposisi yang disusun secara sistematis untuk memberikan gambaran yang jelas
terhadap permasalahan yang sedang dihadapi dalam sebuah penelitian.
Di dalam sebuah
penelitian, landasan teori memiliki sekurang-kurangnya tiga manfaat, yaitu: (1)
memperdalam pengetahuan tentang bidang yang diteliti; (2) mengetahui hasil penelitian yang
berhubungan yang sudah pernah dilaksanakan; dan (3) memperjelas masalah
penelitian (Kountur, 2007: 68). Mengingat pentingnya keberadaan landasan teori
dalam sebuah penelitian, maka dalam penelitian ini juga akan dipaparkan
beberapa teori yang menjadi landasan berpijak peneliti dalam memecahkan
permasalahan terkait penelitian yang dimaksud.
Adapun landasan teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) berbicara, (2) apresiasi, (3) kesusastraan
Bali, (4) satua, dan (5) masatua (bercerita). Untuk lebih
jelasnya akan disajikan lebih rinci seperti di bawah ini.
2.2.1
Berbicara
2.2.1.1
Pengertian Berbicara
Berbicara adalah
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan
(Tarigan, 1987: 15). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat peneliti katakan
bahwa berbicara merupakan suatu alat
mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan pendengar atau penyimak. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Suhendar dan Supinah menyatakan berbicara adalah sebagai suatu proses
komunikasi, proses perubahan wujud pikiran atau perasaan menjadi wujud ujaran
atau bunyi bahasa yang bermakna, yang disampaikan kepada orang lain. Berbicara
merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud (ide, pikiran, perasaan) seseorang
kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan (ujaran) sehingga maksud
tersebut dipahami orang lain (1992: 16).
Berdasarkan kedua
pendapat di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa berbicara adalah kemampuan
untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan
perasaan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan. Berbicara dapat
dijadikan sebagai sarana komunikasi yang paling baik, hal ini karena antara
pembicara dan penyimak berlangsung suatu interaksi secara langsung sehingga
proses penyampaian informasi dapat berlangsung dengan meyakinkan sesuai dengan
tujuan pembicaraan yang diharapkan. Penyimak akan lebih cepat memahami apa yang
dimaksud oleh pembicara, kemudian akan segera mendapat respon dari penyimak
melalui bahasa verbal maupun bahasa tubuh sebagai tanda pemahamannya terhadap
topik yang disampaikan oleh pembicara.
Dalam kehidupan kita
dewasa ini kepandaian berbicara amatlah penting. Kepandaian berbicara pun
mempunyai pengaruh terhadap kelancaran dan kesuksesan dalam setiap kegiatan
yang kita lakukan. Untuk itu, berbicara sangat perlu dipelajari oleh setiap
orang untuk berbagai kegiatan yang dilakukannya.
2.2.1.2 Tujuan Berbicara
Selain sebagai alat
dalam menyampaikan informasi, pikiran, gagasan, dan perasaan kepada pendengar
atau audience, berbicara juga
mempunyai tujuan yang spesifik dalam berbahasa. Adapun tujuan berbicara menurut
Sumantri dan Syaodih (2005: 2.31), yaitu: (1) sebagai pemuas kebutuhan dan
keinginan; (2) sebagai alat untuk
menarik perhatian orang lain; (3) sebagai alat untuk membina hubungan sosial;
(4) sebagai alat untuk mengevaluasi diri sendiri; (5) untuk dapat mempengaruhi pikiran dan
perasaan orang lain; dan (6) untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Penjelasan
lebih lanjut akan diuraikan sebagai berikut.
1.
Sebagai pemuas kebutuhan dan keinginan
Dengan berbicara anak akan lebih
mudah untuk menjelaskan kebutuhan dan keinginannya tanpa harus menunggu orang
lain mengerti tangisan, gerak tubuh atau ekspresi wajahnya sehingga melalui
kegiatan berbicara anak mampu mencurahkan segala kebutuhan dan pikirannya ke
dalam bentuk kata-kata.
2.
Sebagai alat untuk menarik perhatian
orang lain
Berbicara
merupakan suatu alat penyampaian informasi kepada orang lain. Melalui berbicara
siswa akan mampu mendominasi situasi serta menarik perhatian sehingga akan
mampu menjalin hubungan yang baik antara anak dengan teman bicaranya.
3.
Sebagai alat untuk membina hubungan
sosial
Kemampuan
anak berkomunikasi dengan orang lain merupakan syarat penting untuk dapat
menjadi bagian dari kelompok di
lingkungannya. Dengan keterampilan berkomunikasi anak-anak lebih mudah diterima
oleh kelompok sebayanya dan dapat memperoleh kesempatan lebih banyak untuk
mendapatkan peran sebagai pemimpin dari suatu kelompok, jika dibandingkan
dengan anak yang kurang terampil atau anak yang tidak memiliki kemampuan
berkomunikasi dengan baik.
4.
Sebagai alat untuk mengevaluasi diri
sendiri
Dari
pernyataan orang lain anak dapat mengetahui bagaimana perasaan dan pendapat
orang tersebut terhadap sesuatu yang telah dikatakan. Di samping itu, anak juga
mendapat kesan bagaimana lingkungan menilai dirinya. Dengan kata lain anak
dapat mengevaluasi diri melalui orang lain.
5.
Untuk dapat mempengaruhi pikiran dan
perasaan orang lain
Anak
yang suka berkomentar, menyakiti atau mengucapkan sesuatu yang tidak
menyenangkan tentang orang lain dapat menyebabkan anak tidak populer atau tidak
disenangi di lingkungannya. Begitu juga sebaliknya, anak yang suka mengucapkan
sesuatu yang menyenangkan, baik pujian maupun santunan kepada orang lain, akan
dapat menyebabkan anak mendapatkan tempat yang baik di hati masyarakat. Selain
itu, melalui berbicara orang lain mampu mengetahui dan memahami maksud dari pembicaraan
yang didengarkannya sehingga secara langsung mampu mengubah alur pemikiran
serta perasaannya terhadap suatu hal.
6.
Untuk mempengaruhi perilaku orang lain
Dengan
kemampuan berbicara dengan baik dan penuh rasa percaya diri anak dapat
mempengaruhi orang lain atau teman sebaya yang berperilaku kurang baik menjadi
teman yang bersopan santun. Kemampuan dan keterampilan berbicara dengan baik
juga dapat dijadikan sebagai modal utama bagi pendongeng untuk mempengaruhi
perilaku orang lain. Hal ini dapat terjadi melalui amanat atau pesan yang
tersirat dalam satua (cerita) yang dibawakan dan biasanya disampaikan pada
akhir cerita tersebut.
2.2.1.3 Metode Penyampaian Berbicara
Maksud dan tujuan pembicaraan, kesempatan, pendengar
atau pemirsa, ataupun waktu untuk persiapan dapat menentukan metode penyajian;
atau sang pembicara sendiri dapat menentukan yang terbaik dari empat metode
yang mungkin dipilih, yaitu: (1) penyampaian secara mendadak (impromptu delivery); (2) penyampaian
tanpa persiapan (extemporaneous delivery);
(3) penyampaian dari naskah (delivery
from manuscrift); dan (4) penyampaian dari ingatan (delivery from memory) (Mulgrave, dalam Tarigan, 1987: 24). Untuk
lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut.
1.
Penyampaian Secara Mendadak (impromptu delivery)
Seseorang
yang tidak terdaftar untuk berbicara mungkin saja dipersilakan berbicara dengan
sedikit atau tanpa peringatan dan oleh karena itu, mungkin hanya memiliki waktu
untuk memilih ide pokok sebelum dia harus mulai berbicara secara mendadak. Dia
harus menggunakan pengalamannya bagi perkembangan dan penyesuaian yang baik
untuk dapat melangkah maju. Lelucon-lelucon atau insiden-insiden dari
pengalamannya biasanya dapat dijadikan bahan penunjang yang terbaik bagi berbicara secara mendadak.
2.
Penyampaian Tanpa Persiapan (extemporaneous delivery)
Sang
pembicara yang ingin memanfaatkan keuntungan-keuntungan penyesuaian maksimum
pada kesempatan dan penyimak secara langsung dapat mempersiapkan diri
sepenuhnya sejauh waktu dan bahan mengizinkan, tetapi hendaknya dia tidak
bergantung pada penyampaian khusus ide-idenya. Dia harus mengetahui ide utamanya
dan urutan yang mantap dari ide-idenya, tetapi hendaknya dia memilih bahasa
yang tepat ketika berbicara.
3.
Penyampaian dari Naskah (delivery from manuscrift)
Penyampaian
dari naskah biasanya dilaksanakan pada saat-saat yang amat penting dan kerapkali
digunakan untuk siaran-siaran radio atau televisi. Sang pembicara harus mampu
memahami makna yang dibacanya itu dan memelihara serta mempertahankan hubungan
yang erat dengan para pendengar. Dia seyogyanya memandang pendengarnya sebanyak
mungkin dan kepada naskahnya sedikit mungkin. Dia harus mampu menciptakan
pikiran itu setiap kali dia menyajikannya kepada pendengar, dengan penuh
perhatian terhadap responsi para pendengarnya.
4.
Penyampaian dari Ingatan (delivery from memory)
Keberhasilan
berbicara yang penyampaiannya dari ingatan menuntut sang pembicara menguasai
bahan pembicaraannya selengkap mungkin sehingga dia tidak menghadapi masalah
dalam hal bahasa dan dapat mencurahkan seluruh perhatian pada komunikasi
langsung dari pikiran dan perasaannya.
Berdasarkan uraian di
atas, maka yang berhubungan langsung dengan metode penyampaian berbicara dalam masatua Bali, yaitu penyampaian dari
ingatan.
2.2.1.4 Penilaian Berbicara
Orang memang harus
bicara dalam berbagai kesempatan dan dalam berbagai situasi, namun dengan
sendirinya orang tidak bisa asal bicara, dituntut dengan ekologi bahasa dan
kesatuan berbahasa. Tentu saja tidak bisa berbicara dengan anggota tubuh yang
kaku. Berbicara tidak tergesa-tergesa dan tidak terlalu lambat. Demikian juga
volume suara tidak mungkin terlalu keras melengking dan terlalu lemah, atau
terlalu datar, intonasi suara menentukan makna informasi yang disampaikan di
dalam pembicaraan. Demikian juga struktur kebahasaan yang dipakai ragam yang
sesuai dan salah, maka akan menimbulkan terhambatnya komunikasi, mungkin akan
terjadi salah tafsir, salah interpretasi, salah penempatan makna yang
dikehendaki. Demikian juga pilihan kata yang dipakai sesuai dengan lingkungan
pembicaraan (ekologi bahasa), topik pembicaraan, dan tingkatan penerima
pembicaraan atau lawan bicara.
Terkait dengan hal
tersebut, jika akan melakukan penilaian (evaluasi) terhadap keterampilan
berbicara seseorang, maka menurut Brooks dalam Tarigan (1987: 20) pada
prinsipnya kita harus memperhatikan lima faktor berikut ini.
a)
Apakah
bunyi-bunyi tersendiri (vokal, konsonan) diucapkan dengan tepat?
b)
Apakah
pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara serta tekanan suku kata, memuaskan?
c)
Apakah
ketetapan dan ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa
referensi internal memahami bahasa yang dipergunakannya?
d)
Apakah
kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?
e)
Sejauh
manakah “kewajaran” atau “kelancaran” ataupun “ke-native-speaker-an” yang tercermin bila seseorang berbicara?
Akan tetapi, menurut
Suhendar dan Supinah, jika ingin menilai keterampilan berbicara pada seseorang
sekurang-kurangnya ada enam hal yang harus diperhatikan, yaitu: (a) lafal dan
ucapan, (b) tata bahasa, stuktur kebahasaan yang yang sesuai dengan ragam bahasa yang dipakai,
(c) kosa kata, pilihan kata yang tepat sesuai dengan makna informasi yang akan
disampaikan, (d) kefasihan, kemudahan dan kecepatan berbicara, (e) isi
pembicaraan, topik pembicaraan, gagasan yang disampaikan ide-ide yang
dikemukakan, dan alur pembicaraan, dan (f) pemahaman, menyangkut tingkat
keberhasilan komunikasi, kekomunikatifan (1992: 22).
a.
Lafal
Yang
dimaksud dengan lafal adalah cara
seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi
bahasa. Melafalkan berarti mengucapkan. Hal ini berarti semua yang dibicarakan
atau diucapkan oleh seseorang berfungsi untuk mengeluarkan gagasan, buah
pikiran dan perasaannya melalui kata-kata.
b.
Tata Bahasa atau Struktur
Struktur
adalah cara bagaimana sesuatu disusun atau dibangun. Struktur berarti susunan
atau bangunan. Struktur sebagai komponen tolok ukur keterampilan berbicara
merupakan tolok ukur susunan bahasa lisan si pembicara, merupakan tolok
ukur tuturannya, tolok ukur ujarannya, bagaimanakah struktur kalimatnya,
bagaimana tata bahasanya.
c.
Kosakata
Kosakata
berarti perbendaharaan kata, kekayaan kata yang dipakai. Kosakata sebagai tolok
ukur keterampilan berbicara merupakan tolok ukur perbendaharaan kata yang
dipakai, khasanah/wawasan kata yang digunakan serta ketepatan pemakaiannya
dalam konteks kalimatnya.
d.
Kefasihan
Fasih
berarti lancar, bersih, dan baik lafalnya (tentang berbahasa, bercakap-cakap,
mengaji, dan sebagainya).
Kepasihan
sebagai tolok ukur keterampilan berbicara merupakan tolok ukur kelancaran
seseorang di dalam bertutur apakah yang bersangkutan itu lancar atau tidak di dalam mengemukakan pokok-pokok
pikirannya, di dalam mengekspresikan perasaannya melalui bahasa lisannya,
melalui tuturannya.
e.
Isi Pembicaraan
Isi
pembicaraan yaitu segala sesuatu yang menjadi topik pembicaraan, gagasan yang
disampaikan ide-ide yang dikemukakan, dan alur pembicaraan.
f.
Pemahaman
Paham
berarti (1) penertian, pengetahuan banyak, (2) pendapat, pikiran, (3) aliran,
haluan, pandangan, (4) mengerti benar akan sesuatu, tahu benar akan sesuatu,
dan (5) pandai dan mengerti benar tentang sesuatu hal.
Pemahaman
berarti proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan. Faktor pemahaman
sebagai tolok ukur keterampilan berbicar, merupakan tolok ukur tingkat
keomunikatifan si pembicara. Apakah bahasa tuturannya itu cukup komunikatif
atau tidak. Demikian pula sebaliknya, apakah reaksi lawan bicaranya itu dapat
ditangkap atau tidak, dan bereaksi kembali dengan tepat atau tidak.
2.2.2
Apresiasi
2.2.2.1
Pengertian Apresiasi
Penelitian tentang
sastra merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap begitu banyaknya
kesusastraan daerah yang dapat memperkaya khasanah kesusastraan nasional. Kata
apresiasi didasarkan kepada bahasa Belanda, seperti dikatakan oleh A. Broers,
yang menyalin appreciatie ke dalam bahasa Inggris appreciation (Woordenboek II: 60, dalam Antara, 1983: 10). Dan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2002: 62), kata apresiasi berarti “penilaian/penghargaan terhadap sesuatu
nilai-nilai seni dan budaya.”
Selain pendapat di
atas, Michael Philips juga memberikan definisi bahwa apresiasi itu adalah
sebagai menimbang suatu nilai dan merasakan bahwa karya itu baik, serta
memahaminya mengapa dikatakan baik (Appreciate
is to judge the value of, to feel that a thing is good and understand in what
is good) (Antara, 1985: 9).
Sedangkan Antara
menyatakan apresiasi adalah suatu perhatian yang dilakukan secara kesungguhan
penglihatan dan pendengaran serta penghargaan dengan penuh kesadaran dan
perasaan-perasaan yang mulia terhadap sesuatu (1985: 11).
Dari beberapa pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi adalah penilaian/penghargaan dan
pemahaman terhadap sesuatu nilai-nilai seni dan budaya.
Dari apresiasi tersebut
munculah istilah apresiasi sastra. Menurut Piek Ardijanto Soeprijadi dalam
bukunya yang berjudul Apresiasi Sastra
dalam Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa, apresiasi sastra ialah peminatan,
pemahaman, penikmatan, dan penilaian terhadap karya sastra (1984: 10).
Berdasarkan pengertian
apresiasi tersebut, apresiasi dapat diterapkan sebagai pemahaman dan pengalaman
yang tepat terhadap nilai sastra dan makna serta kenikmatan yang timbul sebagai
akibat kegiatan apresiasi itu sendiri. Dalam mengapresiasi sastra, seseorang
memperoleh pengalaman yang telah disusun oleh pengarangnya. Hal ini dapat
terjadi dengan adanya daya yang memungkinkan pembaca terbawa dalam suasana dan
gerak hati dalam karya tersebut.
Kemampuan memahami
pengalaman pengarang yang tertuang dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat
pada pembaca. Kenikmatan itu timbul karena pembaca yang baik merasa berhasil
menerima pengalaman orang lain, kagum akan
kemampuan sastrawan dalam mengarahkan segala alat yang ada pada media seninya
sehingga ia berhasil memperjelas, memadukan dan memberikan makna terhadap
pengalaman yang dialaminya.
Terkait dengan hal
tersebut, maka pembinaan apresiasi pada siswa juga harus membentuk sebagai
apresiator yang baik sehingga mereka mampu memiliki aspek kecintaan,
penghargaan, pemahaman, penghayatan terhadap pengalaman pengarang yang tersusun
dalam bentuk karya sastra.
2.2.2.2 Tahap-tahap Apresiasi
Di dalam mengapresiasi
karya sastra diperlukan tahap-tahap apresiasi sastra. Hal ini karena berhasil
atau tidaknya seseorang dalam mengapresiasi tergantung kuantitas dan kualitas
tahapan yang dilaluinya, oleh karena itu I Gusti Putu Antara (1985: 9-10) membagi
tahap-tahap apresiasi terdiri atas lima tahapan, yaitu (1) tahap penikmatan,
(2) tahap penghargaan, (3) tahap pemahaman, (4) tahap penghayatan, dan (5) tahap
implikasi. Untuk lebih jelas tentang tahap-tahap apresiasi sastra akan
diuraikan sebagai berikut.
1.
Tahap
Penikmatan
Pada tahapan ini siswa
diajak menikmati sastra secara agak pasif yaitu menonton, mendengarkan sehingga
timbul rasa puas dan rasa senang pada diri siswa. Dari penjelasan tersebut
dapat dikatakan bahwa tahap penikmatan muncul apabila perasaan puas dan senang
bisa ditumbuhkan dengan sendirinya.
Misalnya: menonton film dengan bahasa yang tidak dipahami, di sana hanya
akan bisa ditumbuhkan perasaan senang atau tidak senang saja. Contoh lain
misalkan dalam masatua Bali. Bagi yang melakukan kegiatan tersebut, jika
didasarkan pada minat dan perasaan senang maka akan mampu menghibur para
penonton, tidak menutup kemungkinan juga merasakan kepuasan dalam hatinya
apabila penonton yang menyaksikannya begitu antusias mengikuti setiap adegan
dalam alur ceritanya (satua).
Sedangkan bagi penonton yang berpengalaman, masatua
Bali yang dilakukan oleh si pencerita (pendongeng) dapat dinilai baik atau
tidak baik, dan senang atau tidak senang akan penampilan yang dibawakannya.
Proses seperti itulah dikategorikan sebagai tingkat penikmat.
2.
Tahap
Penghargaan
Pada tahapan ini siswa
diajak untuk setengah aktif yaitu bagaimana menimbulkan rasa kekaguman dan rasa
senang. Rasa kekaguman dan rasa senang tersebut muncul karena adanya suatu
penghargaan terhadap karya sastra dari sastrawan, apakah karena baik, sempurna,
bernilai dan bermanfaat sehingga perasaan tersebut mampu menyusup dalam diri
sang penikmat. Misalkan, sang penikmat yang telah merasakan rasa senang
mendengarkan orang yang masatua Bali,
dengan kepiawaiannya dalam memerankan tokoh demi tokoh disertai ekspresi
mengikuti alur ceritanya akan mampu membuat sang penikmat merasa kagum,
kemudian dari kekagumannya tersebut akan muncul
keinginan untuk bisa masatua Bali
seperti yang dilihatnya.
Dari kegiatan melihat,
mendengarkan, mengamati, merasakan kesenangan, timbul kekaguman sampai
mempunyai rasa memiliki dan berkeinginan untuk meniru kegiatan masatua Bali tersebut itulah yang
namanya bersifat menghargai hasil cipta, rasa dan karsa seseorang demi untuk
meningkatkan kemauan dan kemampuannya sendiri.
3.
Tahap
Pemahaman
Setelah tahap penghargaan
muncul tahap pemahaman, yaitu rasa ikut memiliki itu kemudian diteruskan dengan
tahap memahami karena telah merasakan mampu memahami dan mengertikannya.
Pemahaman ini ditekankan kepada pemahaman terhadap unsur instrinsik dan
ekstrinsik dari karya sastra.
Unsur instrinsik karya
sastra merupakan unsur yang ada dalam karya sastra itu sendiri, seperti tema,
tokoh, latar/setting, insiden, perwatakan, alur, amanat, dan sebagainya.
Sedangkan unsur ekstrinsik yaitu unsur yang ada di luar dari karya sastra,
meliputi keadaan masyarakat, lingkungan hidup sastrawannya, sikap dan pandangan
hidupnya, latar belakang kehidupan si sastrawan, pendidikannya dan sebagainya.
Pemahaman dalam masatua Bali lebih ditekankan pada unsur
instrinsiknya yang meliputi ; alur (jalan cerita), tokoh (pelaku),
latar/setting, gaya penceritaan (style) atau gaya penyajian cerita, gaya
bahasa, dan amanat, karena kesemuanya itu mempengaruhi penampilan dalam masatua Bali. Semakin baik seorang
pencerita (pendongeng) tersebut memahami unsur-unsur satua, maka akan baik pula penampilannya membawakan satua tersebut.
4.
Tahap
Penghayatan
Setelah tumbuh rasa
pemahaman pada diri penikmat, maka akan menimbulkan kemampuan menghayati aspek-aspek
yang terkecil dari karya sastra. Dengan demikian penikmat akan lebih memahami
hakikat dari karya sastra tersebut.
5.
Tahap
Implikasi
Tahap
implikasi merupakan tahap terakhir yang bersifat tepat guna. Dalam tahapan ini
diharapkan agar bisa memperoleh suatu maksud untuk membuka pandangan yang lebih
luas setelah mengadakan penghayatan untuk bisa mencetuskan ide-ide atau gagasan
baru. Selain itu, agar bisa mendayagunakan hasil apresiasi dalam mencapai nilai
moral, maupun spiritual untuk kepentingan sosial, politik, dan budaya.
Semua
keterangan tentang tahap-tahap apresiasi di atas dijadikan tolok ukur dalam
berindak. Apabila tahap ini dipahami secara berturut-turut dan mendasar, maka
apresiator tidak mau menonjolkan dirinya terhadap hasil kenyataan kegiatan.
Perlu disadari bahwa unuk menjadi apresiator yang baik dan bermutu haruslah
meyakini dan melalui semua tahap-tahap apresiasi, sebab tahapan itu sudah
diatur secara mendasar dari awal sampai akhir secara berjenjang dan terpadu.
2.2.3
Kesusastraan
Bali
2.2.3.1 Pengertian Kesusastraan Bali
Karya sastra merupakan suatu hasil karya yang
bernilai estetika, sebagai salah satu bentuk luapan perasaan dan pikiran,
digunakan sebagai pemuas kebutuhan baik jasmaniah maupun rohaniah. Hasil karya
sastra para penyair dan pengarang Bali tersebut, dikenal dengan Kesusastraan
Bali.
Secara etimologi, kesusastraan berasal dari kata
sastra, merupakan ‘kitab suci Hindu, kitab ilmu pengetahuan, bahasa dalam
kitab-kitab’ (Alwi, dalam Tarigan, 1987: 5). Sedangkan Esten mengemukakan bahwa
kesusastraan yang juga berasal dari kata sastra (bahasa Sanskerta),
merupakan ‘karangan ataupun tulisan yang
indah’ (Tarigan, 1987: 5).
Kesusastraan Bali merupakan suatu warisan dari para
leluhur yang memiliki pengetahuan atau ajaran-ajaran yang sangat berharga dan
mempunyai nilai rasa yang tinggi sebagai bagian dari budaya Bali. Selain itu, susastra Bali tersebut dapat dijadikan
sebagai landasan dan penuntun dalam meningkatkan kehidupan di dalam zaman
globalisasi ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dinas Kebudayaan Propinsi
Bali (2005: 5), yaitu sebagai berikut.
Kasusastran Bali
kawiaktiannyane marupa tetamian saking para leluhur sane mabuat pisan.
Kasusastran puniki madaging pangweruh sane luihing utama tur sida ngwetuang
wirasa lengleng ulangun pinaka kamahatmian Budaya Baline. Tiosan ring punika
sampun ketah kauningin susastra Bali puniki kaangge sesuluh miwah panuntun
nincapang kauripan sajeroning nyanggra aab jagate sane kabaos awor tan pawates (globalisasi).
2.2.3.2 Klasifikasi Kesusastraan Bali
Berdasarkan struktur corak dan waktu
pertumbuhkembangannya, kesusastraan Bali dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu: (1) kesusastraan Bali Purwa
(klasik) dan (2) kesusastraan Bali
Anyar (baru/modern) (Wisnu, 2005: 17). Kesusastraan Bali Purwa terdiri atas
tiga macam, yaitu: (1) tembang, (2) gancaran, dan (3)
palawakia. Kesusastraan Bali Anyar (Modern) terdiri atas tiga macam juga,
yaitu: (1) puisi, (2) prosa, dan (3) prosa liris. Sehubungan dengan judul
penelitian ini, maka peneliti hanya akan membahas tentang kesusastraan Bali Purwa (Tradisional).
1.
Tembang
Tembang
yaitu
merupakan salah satu sastra Bali Tradisional yang diikat oleh beberapa aturan
dan dapat menghasilkan paduan suara yang harmonis. Adapun aturan-aturan yang
mengikat tembang, yaitu titi suara, pada
lingsa, sulur (untai), nyapta windu dan
nyutra windu, guru-lagu, serta purwa kanti (sajak). Tembang diklasifikasikan menjadi empat,
yaitu: (1) sekar rare, (2) sekar alit, (3)
sekar madya, dan (4) sekar agung.
2.
Gancaran
Gancaran
adalah
karangan bebas yang tidak diikat oleh aturan-aturan. Gancaran diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tatwa cerita dan pralambang (paribasa/basita paribasa). Tatwa cerita
adalah karangan bebas yang tidak diikat oleh jumlah suku kata, baris, guru-lagu, dan persajakan. Adapun yang
termasuk ke dalam gancaran menurut Wayan Budha Gautama (2007: 36) adalah
sebagai berikut.
1)
Parwa-parwa,
seperti: Ramayana dan Mahabharata.
2)
Babad-babad,
seperti: Babad Pasek, Babad Dalem, Arya Babad Kadiri.
3)
Kanda,
seperti: Kanda Pat, Sang Hyang
Kamahayanikan.
4)
Usada,
seperti: Usada Rare, Usada Kuranta
Bolong, Usada Punggung Tiwas.
5)
Sesana,
seperti: Putra Sesana, Siwa Sesana.
6)
Satua,
seperti: Satua Cupak Gerantang, Satua Pan
Balang Tamak, Satua I Dongding.
7)
Wariga,
seperti: Wariga Lubangan, Wariga
Swamandala, Wariga Gemet.
Pralambang
adalah bahasa yang digunakan sebagai pemanis atau peningkat nilai rasa
berbicara dan sebagai lelucon pada waktu santai. Pralambang diklasifikasikan
atas: sesonggan (pepatah), sesenggakan (ibarat), wewangsalan (tamsil), sesawangan (perumpamaan), sloka (bidal), bebladbadan (methapora), cecimpedan
(teka-teki), cecangkitan (olok-olok),
sesimbing (sindiran), cecangkriman (syair teka-teki), raos ngempelin (lawak), sipta (alamat), sesemon (sindiran halus), peparikan
(pantun), dan gegendingan (lagu
bermakna).
3. Palawakia
Palawakia
adalah merupakan karangan bebas, tidak diikat oleh aturan-aturan jumlah huruf,
jumlah baris, guru-lagu, dan sajak,
akan tetapi pada waktu dibaca agar dilagukan.
2.2.4
Satua
2.2.4.1 Pengertian Satua
Kata satua mengandung arti “cerita” (Anandakusuma, 1986: 171). Satua merupakan cerita prosa rakyat Bali
(lazim disebut “cerita rakyat” saja). Dengan demikian satua merupakan dongeng,
mitos/mithe, maupun legenda yang
hidup dalam masyarakat Bali. Hal tersebut menunjukkan bahwa satua merupakan salah satu jenis folklor
Bali, yaitu salah satu warisan budaya (sastra lisan) Bali yang telah mengendap
lebih dari satu generasi, bahkan satua-satua
Bali tersebut telah mengendap puluhan generasi (Wisnu, 2005: 12). Menurut
Antara, istilah foklor sebagai cerita rakyat berasal dari bahasa Belanda volkloor dan bahasa Inggris folklore, folktale. Rincian kata cerita rakyat terjadi dari unsur cerita (lore atau loor) dan rakyat (folk dan volken) (2008: 11).
Adapun
pengertian dongeng, satua atau foklor (volkloor, folklore, folktale) berarti cerita-cerita lisan berbentuk
prosa yang hidup dalam lingkungan masyarakat luas tanpa diketahui siapa
pencipta/pengarangnya (anonim), baik berupa kepercayaan rakyat atau dongeng
atau dalam bahasa Bali diistilahkan satua-satua
(folktale), legenda (legend), dan mite (myth) yang hidup di kalangan masyarakat di Bali (Antara, 2008: 11).
Pada
dasarnya, satua berbentuk lisan (sastra lisan) yang
ditransformasikan (dituturkan) secara oralty,
yaitu dari mulut ke mulut secara tradisional. Satua yang terdapat dalam karya sastra lisan disampaikan secara
oral dalam bahasa Bali disebut dengan pagantian.
Karena disampaikan secara oral, maka satua
mempunyai gaya khusus, yaitu gaya tutur. Satua
atau dongeng rakyat ini sejak beberapa tahun terakhir telah ada yang dicatat
dan diterbitkan, tetapi sampai sekarang ini sebagian besar masih hidup dan
tumbuh dalam masyarakat. Satua atau
dongeng ini umumnya pendek-pendek dan bahasanya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan kebahasaan pada anak. Satua-satua
Bali mengandung keseragaman tema dan ciri-ciri struktur lainnya. Jumlah dari satua-satua Bali ini adalah ratusan dan
beberapa yang populer seperti Satua I Tuwung
Kuning, Cupak Gerantang dan Men Tiwas
Teken Men Sugih (Wisnu, 2005: 12). Satua
biasanya diceritakan untuk anak-anak pada waktu menjelang tidur. Hal ini karena
menurut kepercayaan orang Bali, satua
ini adalah tabu untuk diceritakan pada siang hari, kalau didongengkan menurut
kepercayaan orang Bali, nasi bidadari itu akan hangus.
Satua
merupakan
alat pendidikan untuk membantu para guru atau pendidik untuk menanamkan
pendidikan kepada anak di sekolah, sedangkan di rumah tangga, orang-tua
mendidik anaknya dapat melalui satua-satua,
yaitu satua yang banyak mengandung
nasihat-nasihat atau amanat yang baik, agar anak dapat mengaplikasikannya ke
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memberikan bimbingan secara tidak langsung
melalui satua (dongeng), maka watak,
mental, sikap, dan tingkah laku anak itu
pasti akan terpengaruh juga. Hal ini karena aspek nilai satua tersebut memang sangat tinggi, berfaedah, dan berguna.
Melalui satua, anak akan dapat membandingkan
perbuatan yang telah pernah dilakukan dan perbuatan yang belum dilakukan dengan
pertimbangan pada nasihat atau amanat dalam satua
itu. Jadi, dapat peneliti katakan bahwa satua
dapat dijadikan sebagai landasan pembentukan karakter dan sikap anak (siswa)
dalam berperilaku, hal ini karena satua
mengandung nilai-nilai pendidikan dan amanat atau nasihat-nasihat yang patut
digugu dan ditiru.
2.2.4.2 Ciri
Khas Satua
Menurut Antara (2008:
72-73), ciri-ciri khas yang terdengar kalau suatu satua (dongeng) diadakan atau ditulis/diterbitkan adalah sebagai
berikut.
a.
Adanya kata-kata “maan” (ya, terus) dari
si pendengar, terkecuali dalam cerita tertulis yang bukan translitrasi (rekaman
langsung).
b.
Terdapat pemakaian pembuka tutur cerita
(dongeng) yang hampir sama, yaitu:
“Ada
kone tuturan satua... … … … …”
“Ada
kone orah-orahan satua… … … …”
c.
Dalam sastra Indonesia lama, ragam ini:
ditandai oleh: Konon, Tersebutlah,
Menurut sahibul hikayat, Pada suatu hari, ……… dan lain-lain.
Dalam menghubungkan peristiwa yang
satu dengan yang lain sering ditandai oleh kata penghubung: lantas, laut, suud keto, suba keto, suba
kento, ……… dan lain-lain.
2.2.4.3 Keragaman Tokoh dalam Dongeng
Setiap karya sastra
baik tertulis maupun lisan sudah tentu mempunyai tokoh atau pelaku yang
berperan dalam setiap adegan ceritanya. Begitu juga halnya pada satua (dongeng). Antara (2008: 73-75)
mengklasifikasikan cerita satua yang
tersebar luas dalam masyarakat Bali ini menjadi tujuh macam pelaku (tokoh)
cerita, yaitu sebagai berikut.
1)
Tokoh binatang dengan binatang
Misal: - Sang Lutung teken Sang Kekua,
- Kidang
teken Cekcek, dan lain-lain.
2)
Tokoh manusia dengan binatang
Misal: - Crukcuk Kuning,
- Siap
Badeng,
- I
Botol teken Sang Mong, dan lain-lain.
3)
Tokoh manusia dengan manusia
Misal: - I Dempu Awang,
- Ni
Wayan Taluh,
- Pan
Balang Tamak,
- I
Belog, dan lain-lain.
4)
Tokoh manusia, binatang, dan raksasa
Misal: - I Bawang teken I Kesuna,
- Tuwung
Kuning, dan lain-lain.
5)
Tokoh dewa dengan manusia
Misal: - I Lengar,
- I
Bagus Diarsa,
- I
Rare Sigaran,
- I
Sigir jalma tuah Asibak,
- Tosning
Dadap Tosning Prasi,
- I
Bintang Lara, dan lain-lain.
6)
Tokoh dewa, binatan, dan manusia
Misal: Cerita dongeng ini pada umumnya berbentuk
Fabel, di antaranya: Gunawati.
Selain
itu, ada juga satua (dongeng) yang
tokohnya, yaitu tokoh manusia setengah
badan atau manusia separo.
Misalnya: cerita rakyat Bali yang berjudul
I Sibakan, I Sliwah, I Rare
Sigaran, dan I Jigir Jalma tuah Asibak. Pesan metaforis dan filosofis yang
disiratkan dari alur cerita rakyat ini adalah ketika manusia itu dilahirkan
baru sejatinya berupa sebagai manusia-separo.
Bilamana ia telah disucikan oleh
kesadaran Shiwanya sendiri, maka manusia-manusia itu menjadi manusia-utuh.
Berdasarkan
uraian di atas, maka tokoh (pelaku) yang terkait dengan satua Cicing I Rakrek Sakti dalam penelitian ini adalah jenis tokoh
binatang dengan manusia.
2.2.5
Masatua
2.2.5.1
Pengertian Masatua
Dalam Kamus
Bahasa Bali – Indonesia, masatua berarti “bercerita” (Anandakusuma, 1986:
171). Bercerita atau satua merupakan salah satu dari bermacam-macam
tradisi lisan dalam masyarakat sastra di Bali. Kegiatan masatua sangat digemari oleh kalangan masyarakat terutama anak-anak
pada masa perngembangan fantasi (Wardhana, 2007: 76). Tradisi masatua di kalangan masyarakat Bali
dapat dikatakan merupakan sebuah pesona (kalangen
atau ulangun) yang sarat akan nilai
yang terkandung di dalamnya, walaupun tidak menutup kemungkinan berbeda cara
dan kualitas penikmatannya.
Masatua umumnya dilakukan dalam keluarga
atau di rumah tangga biasanya dilakukan oleh ayah, ibu, kakek, nenek atau orang
yang dituakan. Lamanya waktu mendongeng tergantung pada keadaan pendengar.
Kalau pendengar sudah tertidur, maka tugas masatua
untuk malam itu selesai. Tidak peduli apakah satua itu tuntas atau belum. Besoknya satua itu dapat diulangi lagi atau dilanjutkan. Oleh karena itu,
Made Taro menyatakan bahwa mendongeng adalah bentuk lain dari mengeloni anak
kecil (2005: 4). Hal ini sangat sesuai, karena masatua atau mendongeng merupakan suatu cara menidurkan anak
sebagai gambaran rasa sayang kepada anak melalui perantara dongeng atau satua.
Di dalam masatua
Bali, pendongeng biasanya mendahului dengan kata-kata sahibul hikayat, seperti:
“Ada tuturan satua” (Tersebutlah
sebuah cerita), lalu dijawab: “Maaannn….!”
oleh pendengar. Setelah jawaban itu, lalu pendongeng melanjutkan dengan “Sedek dina anu” (Pada suatu hari)…..
jawabannya: “Maaannn….!”, itu
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana
perhatian pendengar. Apabila jawaban itu tidak terdengar lagi, berarti anak
yang dikeloni sudah tertidur. Dengan demikian, cerita ‘bekal tidur’ atau
‘pengantar tidur’ tadi tidak perlu diteruskan lagi. Jawaban “Maaannn….!” itu bukan saja harus
diucapkan pada awal cerita, tetapi juga sewaktu-waktu di tengah-tengah pada
setiap peralihan adegan. Peralihan adegan ditandai dengan “Nah, suba jani keto” (Nah, setelah itu), “Gelising cerita” (Singkat cerita), dan sebagainya. Pada akhir
cerita diisi dengan kesimpulan-kesimpulan dan nasihat atau amanat mengenai
pendidikan moral, lalu diakhiri dengan kalimat “Goak maling kuud, satua bawak suba suud” (Burung gagak mencuri
kelapa muda, cerita pendek telah usai).
Karena pengenalan tentang satua adalah pada lingkungan keluarga, maka menurut Made Taro,
pendengar satua dalam keluarga adalah
anak-anak kecil yang masih berumur kira-kira antara 4 – 7 tahun atau anak-anak
yang lebih besar, antara 8 – 12 tahun. Anak-anak itu amat membutuhkan dongeng
yang langsung diucapkan oleh orang-tuanya. Pendongeng hendaknya menjaga agar
cerita yang dikisahkannya itu benar-benar komunikatif (2005: 5). Dalam hal ini
berarti tidak semata-mata bercerita dengan bahasa yang mudah ditangkap dan alur
cerita yang sederhana, tetapi lebih-lebih harus menghayati cerita itu.
Tokoh-tokoh dilukiskan dengan jelas melalui suara yang diucapkan, gerak-gerik,
ciri fisik dan mimik. Bagaimana suara raksasa yang marah, matanya yang melotot
seolah-olah mau memakan musuhnya. Bagaimana lucunya seekor kera yang sedang
makan pisang di pohonnya sambil melemparkan kulitnya kepada kura-kura yang ada
di bawahnya. Anak-anak seolah-olah diajak ke alam antah-berantah, melihat dan
mendengar, berpikir dan merasakan apa yang terjadi dengan alam lingkungannya.
Kunci keberhasilan masatua adalah pada mengakhiri cerita.
Bagaimanpun lancar dan suksesnya memulai dan memaparkan lakon cerita, kalau
tidak pintar mengakhiri, maka cerita itu akan buyar dan kering tanpa makna.
Tugas pendongeng bukan hanya membuat anak-anak memahami cerita, tetapi
menjadikan anak-anak mampu menghayatinya. Cerita tersebut harus meninggalkan
pesan dan kesan di hati anak-anak.
Menurut Made Taro, mendongeng yang bagus adalah membuat anak-anak
merenungkan mengapa hal itu terjadi. Dan akhirnya ia mendapatkan keputusan
untuk membela dan menjalankan perbuatan yang benar dan baik (2005: 10).
2.2.5.2 Tujuan Masatua
(Bercerita)
Kegiatan bercerita bertujuan untuk menanamkan
nilai-nilai kebenaran dan kebajikan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai
keindahan. Menurut Wardhana (2007: 77), kebenaran dan kebajikan sebagai
kompetensi (kemampuan) dan keindahan sebagai performen (penampilan), sejalan
dengan proses pendakian rohani manusia melalui keindahan rasa (rasa tattwa) menuju kebahagiaan rohani (bhaga tattwa). Melalui mencermati pesan
dari satua, dapat membedakan
nilai-nilai positif dan negatif serta akibatnya yang terkandung dalam satua serta meneladani nila-nilai
positifnya tersebut.
2.2.5.3
Manfaat
Masatua
Satua
sering
dikatakan sebagai “sat tuara ada” (seperti
tidak ada). Meskipun satua merupakan
cerita bersifat fiksi dan fantastis, bukan berarti terlepas dari kenyataan,
karena unsur moralitas satua diambil
dalam kehidupan manusia sehari-hari sehingga unsur moralitas dalam satua-satua tersebut merupakan
penghubung dunia dongeng dengan dunia nyata. Melalui kegiatan masatua, mempunyai manfaat yang sangat
signifikan pada anak-anak. Tanpa disadari, jika ditinjau dari bahasanya, masatua dapat meningkatkan keterampilan
berbicaranya serta dapat meningkatkan kosa kata bahasa Bali, sedangkan jika
ditinjau dari unsur sastranya, melalui masatua
anak diajarkan untuk memberikan apresiasi terhadap salah satu prosa Bali Purwa (klasik) berbentuk
lisan, yang dalam eksistensinya sudah semakin tergelincir.
Melalui masatua juga dapat menanamkan
nilai-nilai pengetahuan dan moral serta pengembangan sikap pada diri anak,
untuk dapat diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-harinya. Selain itu, anak
akan langsung mendapatkan kesempatan untuk melatih emosi, rasa takut dan cemas,
sedih dan gembira, berani, tidak ragu-ragu dan lain sebagainya, yang
dimunculkan silih berganti dalam mimiknya.
2.2.5.4
Metode
Masatua (Bercerita)
Walaupun kegiatan
bercerita ditempuh melalui keterampilan berbahasa (terutama keterampilan
berbicara), namun kesan cerita akan lebih tajam dan mendalam jika ditempuh
melalui campuran dari ketiga cara penyampaian kesan dan pesan yaitu melalui
penglihatan (visual), pendengaran (auditif) dan gerakan (motorik) (Wardhana,
2007: 78). Cara campuran yang dilakukan secara padu dan seimbang, maka di
samping bahasa dengan penggunaan dan gaya bahasa sastra (stilistik), irama yang
dinamik dan gerakan yang dramatik, juga diperlukan akan adanya alat peraga yang
sesuai dengan peristiwa, penokohan dan alur cerita guna menghasilkan kegiatan masatua yang optimal.
2.2.5.5
Bahasa
dalam Masatua
Bahasa sebagai
pendukung satua atau cerita memiliki
warna bahasa. Warna bahasa terjadi dalam berbagai hubungan, baik dalam hubungan
kemasyarakatan (sosiolinguistik) maupun dalam hubungan dengan keindahan
(estetik). Dalam satua, karena
merupakan cerita rakyat daerah Bali, maka sudah jelas bahasa yang digunakan
sebagai pengantar adalah bahasa Bali. Dalam hubungan kemasyarakatan, bahasa
Bali memiliki ragam bahasa hormat dan tidak hormat dalam bentuk
tingkatan-tingkatan tertentu yang disebut dengan anggah ungguhing basa Bali. Menurut Wardhana, ragam bahasa hormat
digunakan berdasarkan pertimbangan usia (lingga
prana), formalitas (diksa diksita)
dan jabatan (sthana wibhawa) sesuai
dengan konsep Tri Hita Gamaya (2007: 78).
Dalam hubungan dengan
keindahan, bahasa Bali memiliki
penampilan berupa Rasa Bhasa Bhasita
meliputi: rasa bhasa bernuansa gairah
(srnggara rasa), berani (wira rasa), jijik (wibhasta rasa), garang (rodra
rasa), lucu (hasya rasa), ngeri (bhayanaka rasa), sedih (karuna rasa), kagum (adbhuta rasa) dan teguh (akara rasa) (Wardhana, 2007: 78). Sesuai
pernyataan tersebut, dalam kaitannya dengan masatua
Bali sudah tentu rasa bhasa bhasita dalam bahasa Bali itu termasuk dalam kegiatan masatua Bali. Hal ini dapat dilihat dari
ekspresi atau mimik wajah yang dimunculkan oleh pendongeng dalam setiap
penampilannya sesuai dengan alur satua atau
cerita yang dibawakannya.
Berdasarkan
pernyataan di atas, terkait dengan objek penelitian yang diteliti, yaitu satua Cicing I Rakrek Sakti, peneliti
dapat paparkan bahwa satua tersebut
menggunakan bahasa Bali yakni Basa Kepara
(bahasa Bali Biasa) yang dikombinasikan sedikit dengan Basa Bali Alus (bahasa Bali Halus), sehingga dalam masatua semua siswa akan menggunakan
kedua bahasa tersebut. Lain halnya dengan rasa
bhasa bhasita yang dimunculkan dalam masatua,
hal ini tergantung pada siswa itu sendiri di dalam mengembangkannya.
2.2.5.6
Persiapan
dalam Masatua
Satua
atau cerita lebih mantap dalam penyajiannya jika dipersiapkan dengan baik.
Menurut Wardhana (2007: 79), dalam mempersiapkan sebuah satua atau cerita perlu pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
(1) menetapkan
judul untuk membatasi masuknya
unsur-unsur yang tidak diperlukan dalam bercerita, (2) membuat ringkasan dengan bahasa yang bisa
dinikmati pendengar, (3) menentukan amanat atau pesan yang akan disampaikan
pada akhir cerita melalui berbagai gaya bahasa, (4) menghubungkan (jika
mungkin) cerita dengan praktis yang berguna bagi kemantapan pelaksanaan ajaran
Hindu dalam kehidupan sehari-hari, (5) mencatat nama tokoh, nama tempat, waktu
dan ringkasan alur cerita untuk mencegah kelupaan dalam bercerita serta
mempermudah memilih alat peraga yang sesuai dengan isi cerita.
Berkaitan dengan
penelitian yang peneliti lakukan, persiapan masatua
Bali oleh siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem diawali dengan pemilihan judul oleh peneliti sendiri, dengan memilih
satua Cicing I Rakrek Sakti. Kemudian
kegiatan masatua sepenuhnya
diserahkan kepada para siswa, berdasarkan pengetahuan dan aturan sikap masatua yang telah diajarkan oleh guru
dalam mata pelajaaran muatan lokal bahasa Bali.
2.2.5.7
Terampil
dalam Masatua
Seorang pendongeng
haruslah memiliki keterampilan khusus dalam masatua
(bercerita), agar pendengar baik itu dari kalangan anak-anak maupun dewasa
dapat mengerti apa yang sedang diceritakan. Namun menurut Made Taro (2005: 7),
pendongeng pertunjukan tidak hanya menggantungkan bakat, tetapi lebih-lebih kepada
latihan yang teratur. Ada dua tahap latihan, pertama menguasai naskah, kedua
menguasai penampilan.
Menurutnya, penguasaan
naskah diawali dengan pemilihan cerita. Cerita yang dipilih dari buku-buku,
digali dari narasumber atau rekaan sendiri itu, harus sesuai dengan dunia
anak-anak. Selanjutnya bahan cerita yang diperoleh dari narasumber atau naskah
inventaris itu biasanya bersifat deskriptif dengan alur apa adanya. Agar cerita
itu mengandung ‘roh’, menarik, dan bernilai sastra, perlu diolah dan diramu
oleh pendongeng.
Setelah pendongeng
mempersiapkan naskah yang sudah diolah dan diramu, langkah selanjutnya adalah
menghapalkan dan berlatih. Dalam penampilan masatua,
kreativitas, dan improvisasi sangatlah diperlukan, oleh karena itu pendongeng
perlu memperhitungkan segala kemungkinan segala kemungkinan yang berkembang.
Kapan memulai, kapan jeda, kapan bergerak, mana ucapan yang memerlukan
penekanan, mana kalimat kalimat yang dapat mengembangkan imajinasi,
ucapan-ucapan yang berirama, dinamis, lemah-lembut dan emosional serta
bagaimana mengakhiri cerita. Ucapan kalimat dan penjiwaannya waktu memulai dan
menutup dongeng sangat penting.
Tahap selanjutnya
adalah melakukan pertunjukan dongeng. Pertunjukan yang dimaksud adalah
mendongeng sendirian di depan publik atau di hadapan anak-anak. Pertunjukan
yang dilakukan tersebut merupakan hasil dari latihan berkali-kali yang
dilakukan di rumah, di sekolah, di depan cermin atau di kamar mandi.
Selain itu, menurut
Priyono (2001: 19) tata cara yang perlu diperhatikan pada saat mendongeng atau
bercerita yaitu:
a.
Cerita harus diambil sesuai dengan umur
pendengar.
b.
Mengandung nilai-nilai pendidikan dan
hiburan.
c.
Usahakan selalu tercipta suasana gembira
saat bercerita.
d.
Bahasa disesuaikan dengan tingkat
pengetahuan pendengar.
e.
Dalam bercerita harus menghayati benar
isi cerita yang dibawakan dan meresapi seluruh bagian dari cerita yang
diceritakan.
f.
Apabila menggunakan peraga, susunlah
alat peraga sesuai dengan urutan ceritanya dan jangan sampai membingungkan.
g.
Senantiasa mengamati perkembangan reaksi
emosi pada diri pendengar, seraya tetap mempertahankan kesan yang menyenangkan.
h.
Saat mendongeng atau bercerita usahakan
mengucapkan kata-kata dengan jelas dan jangan menggumam.
i.
Usahakan selalu memelihara kerahasiaan
jalan cerita, sehingga perhatian pendengar tetap terpusat pada tiap adegan yang
dimainkan dan sesekali beri kejutan untuk merangsang pengekspresian emosi
pendengar secara wajar.
j.
Lama waktu bercerita dapat disesuaikan
dengan situasi yang berkembang dan kondisi kemampuan pendengar dalam
mendengarkan cerita tersebut.
Selain itu, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan saat bercerita, yaitu: (1) keseluruhan
cerita, (2) gerak tubuh/gestur, (3) ekspresi, (4) intonasi, dan (5) diksi. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan
sebagai berikut.
1.
Keseluruhan
Cerita
Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa sebuah cerita dibangun oleh unsur instrinsik yang
meliputi alur (jalan cerita), tokoh (pelaku), latar/setting, dan amanat.
Kesemuanya itu harus disampaikan oleh pendongeng secara runtut untuk
menghindari hilangnya pokok peristiwa dalam cerita (satua).
2.
Gerakan
Tubuh/Gestur
Menunjukkan gerakan
yang sesuai dengan cerita. Misalnya, jika bercerita tentang seorang yang sedang
berbisik, pendongeng bisa menirukan gaya orang yang sedang berbisik, dan
sebagainya. Hindari gerakan tubuh yang yang dapat mengalihkan perhatian
pendengar dari fokus cerita seperti memasukkan tangan ke dalam saku celana,
menggaruk-garuk kepala, pandangan selalu ke atas, dan sebagainya.
3.
Ekspresi
Pada saat bercerita,
ekspresi dan emosi sangat berperan penting dalam membangun komunikasi dengan
pendengar. Dalam bercerita memerlukan ekspresi muka (takut, marah, benci,
senang, sedih). Penggunaan ekspresi atau mimik ini harus disesuaikan dengan apa
yang diceritakan. Misalnya, jika bercerita tentang orang yang sedang sedih,
pendongeng harus menirukan raut wajah orang yang sedang bersedih, dan lain
sebagainya.
4.
Intonasi
Intonasi adalah unsur
bahasa yang tergolong ke dalam suprasegmental, yaitu unsur bahasa yang dapat
membedakan makna yang disebabkan oleh tinggi rendah, tekanan dan jeda atau
persandian. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dinyatakan bahwa intonasi, yaitu ketepatan penyajian tinggi
rendah nada (2005: 440).
Pada saat bercerita
diusahakan agar intonasi tidak monoton, agar tidak menimbulkan rasa bosan dari
pendengar. Ubahlah intonasi suara saat bercerita kadang tinggi, kadang rendah
seperti berbisik sesuai dengan cerita yang dibawakan. Dan lebih baik lagi jika
menggunakan teknik peniruan suara, misalnya suara anjing, suara kucing, suara
ayam, hembusan angin, gemuruh, petir dan lain sebagainya yang juga disesuaikan
dengan isi cerita. Dengan demikian pendengar akan semakin tertarik untuk
mendengarkan cerita tersebut.
5.
Diksi
Diksi berarti “pilihan
kata” (Yuwono dan Abdullah, 1994: 121), adalah pemilihan kata-kata yang sesuai
dengan apa yang hendak diungkapkan. Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan
bahwa diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaanya)
untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang
diharapkan) (2005: 264). Pada saat berbicara, hendaknya menggunakan kata-kata
yang tepat dan jelas sehingga pendengar lebih mudah memahami pembicaraan kita.
Akan tetapi, terkadang orang tidak sadar dengan kata-kata yang digunakan. Untuk
itu, tidak jarang orang yang diajak berbicara salah menangkap maksud
pembicaraan.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
Metodologi penelitian
berasal dari kata “metode” yang artinya cara yang tepat untuk melakukan
sesuatu; dan “logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan, sedangkan penelitian
adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis
sampai menyusun laporannya (Narbuko, 2010: 1).
Pendapat lain tentang
penelitian juga dinyatakan oleh David H. Penny, bahwa penelitian adalah
pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pemecahannya
memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Mohammad Ali menyatakan bahwa penelitian adalah suatu cara untuk
memahami sesuatu dengan melalui penyelidikan atau melalui usaha mencari
bukti-bukti yang muncul sehubungan dengan masalah itu, yang dilakukan secara
hati-hati sekali sehingga diperoleh pemecahannya (dalam Narbuko, 2010: 1-2).
Berdasarkan pendapat di
atas, maka dapat peneliti simpulkan bahwa metode penelitian adalah suatu cara
yang tepat untuk melakukan kegiatan dengan menggunakan rencana yang sistematis,
yaitu mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis berbagai jenis masalah
yang dilakukan secara hati-hati sekali sehingga diperoleh pemecahannya. Hasil
yang didapatkan melalui penelitian harus sesuai dengan tujuan penelitian yang
diharapkan. Tercapai atau tidaknya suatu tujuan dalam sebuah penelitian sangat
bergantung pada metode yang digunakan.
Menyadari pentingnya
peranan metode dalam kegiatan ilmiah, maka dipandang perlu adanya suatu metode
yang tepat untuk mencapai tujuan penelitian sesuai harapan. Adapun
metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
metode penentuan subjek penelitian, (2) metode pendekatan subjek penelitian,
(3) metode pengumpulan data, dan (4) metode pengolahan data.
3.1
Metode
Penentuan Subjek Penelitian
Metode penentuan subjek
penelitian merupakan metode yang digunakan untuk menentukan subjek penelitian. Dalam
suatu penelitian kita terlebih dahulu harus menetukan subjek penelitian.
Menurut Netra (1974: 20), subjek penelitian akan muncul apabila akan mengadakan
penelitian lapangan. Yang dimaksud subjek penelitian adalah setiap individu
yang akan diselidiki. Dalam pengertian ini individu termasuk manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda.
Dalam penelitian ini,
tentu saja individu yang digunakan hanya terbatas pada manusia. Adapun
yang menjadi subjek dalam penelitian ini
adalah siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem
tahun pelajaran 2010/2011.
Di dalam metode
penentuan subjek penelitian ini akan diuraikan
tentang populasi dan sampel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
pemaparan berikut ini.
3.1.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2008: 61). Jadi, populasi bukan hanya
menyangkut orang atau individu, akan tetapi juga objek dan benda-benda alam yang
lain. Populasi juga bukan sekadar jumlah yang ada pada objek atau subjek yang
dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh
subjek atau objek yang diteliti tersebut, sedangkan menurut Suharsimi Arikunto
(2006: 130), populasi penelitian adalah keseluruhan subjek penelitian. Dalam hal ini berarti
populasi merupakan semua individu yang ada dalam suatu wilayah penelitian
dijadikan sebagai subjek penelitian dalam penelitian yang akan dilakukan.
Berdasarkan pernyataan
di atas, maka dapat peneliti simpulkan bahwa populasi penelitian adalah
keseluruhan individu, objek dan benda-benda alam yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu sebagai subjek penelitian. Menurut M. Toha Anggoro dalam
bukunya yang berjudul Metode Penelitian,
populasi penelitian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) populasi terbatas dan
(2) populasi tidak terbatas. Suatu populasi dikatakan terbatas apabila jumlah
anggota populasi tersebut diketahui dengan pasti. Namun jika jumlah anggota
suatu populasi tidak dapat diketahui dengan pasti, maka populasi tersebut
dinamakan populasi tidak terbatas (2008: 4.2-4.3).
Berdasarkan pengertian
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penelitian yang peneliti lakukan, yaitu
menggunakan populasi terbatas. Hal ini karena individu yang dijadikan
subjek penelitian jumlahnya adalah
pasti. Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi penelitian adalah seluruh
siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun
pelajaran 2010/2011 yang terdiri atas tujuh sekolah dengan jumlah siswa yang
berbeda pada masing-masing sekolah. Adapun populasi penelitian dalam penelitian
ini dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut.
Tabel
3.1 Populasi Penelitian Siswa Kelas V SD
Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem Tahun Pelajaran 2010/2011
No.
|
Nama Sekolah
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
|||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
1.
|
SD
Negeri 1 Abang
|
11
|
13
|
24
|
2.
|
SD
Negeri 2 Abang
|
12
|
11
|
23
|
3.
|
SD
Negeri 3 Abang
|
4
|
5
|
9
|
4.
|
SD
Negeri 1 Tiyingtali
|
8
|
6
|
14
|
5.
|
SD
Negeri 2 Tiyingtali
|
13
|
13
|
26
|
6.
|
SD
Negeri 3 Tiyingtali
|
12
|
6
|
18
|
7.
|
SD
Negeri 4 Ababi
|
11
|
5
|
16
|
Jumlah
|
71
|
59
|
130
|
Berdasarkan
tabel 3.1 di atas, maka dapat diketahui jumlah populasi siswa kelas V SD Negeri
II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran 2010/2011 adalah
berjumlah 130 orang, yang terdiri atas 71
orang laki-laki dan 59 orang perempuan.
3.1.2
Sampel
Penelitian
Sampel
adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut (Sugiyono, 2010: 118). Hal ini sejalan dengan pendapat M. Toha Anggoro yang menyatakan bahwa
sampel adalah sebagian anggota populasi yang memberikan keterangan atau data
yang diperlukan dalam suatu penelitian (2008: 4.3). Apabila populasi penelitian
terlalu besar atau banyak, maka peneliti dapat mengambil sebagian dari jumlah
populasi penelitian. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sampel merupakan
refresentasi dari populasi. Karena apa yang diteliti atau dipelajari dari
sampel, dapat digeneralisasikan untuk populasi. Yang dimaksud dengan
menggeneralisasikan adalah mengangkat kesimpulan penelitian sebagai suatu yang
berlaku bagi populasi.
Melihat
banyaknya jumlah populasi yang akan diteliti serta diharapkan dalam penelitian
yang peneliti lakukan memperoleh hasil yang maksimal, maka diperlukan suatu
sampel. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharsimi Arikunto (2006: 134), yang
menyatakan sebagai berikut.
Untuk sekadar ancer-ancer, maka apabila
subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya
merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat
diambil antara 10-15℅ atau 20-25℅ atau lebih, tergantung setidak-tidaknya dari:
a.
Kemampuan
peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan dana,
b.
Sempit
luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut banyak
sedikitnya data,
c.
Besar
kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang risikonya
besar, tentu saja jika sampel lebih besar, hasilnya akan lebih baik.
Berdasarkan pendapat Suharsimi
Arikunto di atas, maka besarnya jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini
adalah 60℅ dari populasi, yaitu 130 x 60℅ = 78 orang
siswa. Terkait dengan penelitian ini, untuk memperoleh sampel dari jumlah
populasi tiap-tiap sekolah di SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem tahun pelajaran 2010/2011, maka peneliti akan menggunakan teknik
sampling yang sesuai dengan karakter subjek penelitian yang dimaksud.
3.1.3
Teknik Sampling
Teknik sampling adalah
merupakan teknik pengambilan sampel. Untuk menentukan sampel dalam penelitian,
terdapat berbagai teknik sampling yang dapat digunakan. Untuk mendapatkan sampel
yang mampu merefresentasi populasi, maka dalam penelitian ini peneliti
menggunakan dua teknik sampel, yaitu teknik proposional sampling dan teknik
random sampling.
3.1.3.1 Proposional Sampling
Proposional sampling
adalah cara pengambilan sampel didasarkan atas besar kecilnya atau proporsi
sub-subpopulasi dari suatu populasi. Populasi yang tidak homogen dapat terdiri
atas beberapa bagian populasi yang merupakan keseluruhan populasi itu. Jumlah
anggota masing-masing bagian populasi itu tidak salalu sama banyak atau sama
besar, kerap kali jumlah tersebut berbeda dengan perkembangan tertentu
(Netra,1974: 26). Untuk itu, untuk memperoleh sampel yang refresentatif, maka
pengambilan subjek dari setiap sub-subpopulasi ditentukan seimbang atau
sebanding dengan banyaknya subjek dalam masing-masing sub-subpopulasi tersebut.
Karena populasi yang
akan diteliti terdiri atas tujuh subpopulasi, yaitu siswa kelas V pada SD
Negeri 1 Abang, SD Negeri 2 Abang, SD Negeri 3 Abang, SD Negeri 1 Tiyingtali,
SD Negeri 2 Tiyingtali, SD Negeri 3 Tiyingtali, dan SD Negeri 4 Ababi, maka
pengambilan sampel dan tiap-tiap sub itu didasarkan pada besar kecilnya jumlah
siswa pada kelas V masing-masing sekolah
tersebut. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel pada
tiap-tiap subpopulasi adalah rumusan teknik sampling berikut ini.
Keterangan:
NI = total subtotal
N = total populasi
n = besar sampel yang ditentukan
Ni = besar sampel untuk
total subpopulasi
(Nasir, 1983: 361).
Berdasarkan rumus di
atas, maka besarnya sampel tiap-tiap subpopulasi dapat dihitung seperti berikut
ini.
1)
SD Negeri 1 Abang dengan jumlah siswa 24
orang, maka menjadi:
24
x 78 =
14,4 dibulatkan 14 orang
130
2)
SD Negeri 2 Abang dengan jumlah siswa 23
orang, maka menjadi:
23
x 78 =
13,8 dibulatkan menjadi 14 orang
130
3)
SD Negeri 3 Abang dengan jumlah siswa 9
orang, maka menjadi:
9
x 78 = 5,4
dibulatkan menjadi 5 orang
130
4)
SD Negeri 1 Tiyingtali dengan jumlah
siswa 14 orang, maka menjadi:
14
x 78 = 8,4 dibulatkan menjadi 8 orang
130
5)
SD Negeri 2 Tiyingtali dengan jumlah
siswa 26 orang, maka menjadi:
26
x 78 =
15,6 dibulatkan menjadi 16 orang
130
6)
SD Negeri 3 Tiyingtali dengan jumlah
siswa 18 orang, maka menjadi:
18
x 78 =
10,8 dibulatkan menjadi 11 orang
130
7)
SD Negeri 4 Ababi dengan jumlah siswa 16
orang, maka menjadi:
16
x 78 = 9,6
dibulatkan menjadi 10 orang
130
Untuk lebih jelasnya
tentang hasil pengambilan jumlah sampel dari masing-masing sekolah, dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel
3.2 Sampel Penelitian Siswa Kelas V SD
Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem Tahun Pelajaran 2010/2011
No.
|
Nama Sekolah
|
Jumlah
|
|
Populasi
|
Sampel
|
||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
1.
|
SD Negeri 1 Abang
|
24
|
14
|
2.
|
SD Negeri 2 Abang
|
23
|
14
|
3.
|
SD Negeri 3 Abang
|
9
|
5
|
4.
|
SD Negeri 1 Tiyingtali
|
14
|
8
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
5.
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
26
|
16
|
6.
|
SD Negeri 3 Tiyingtali
|
18
|
11
|
7.
|
SD Negeri 4 Ababi
|
16
|
10
|
Total
|
130
|
78
|
Berdasarkan tabel 3.2
di atas, maka dapat diketahui bahwa jumlah sampel dalam penelitian ini adalah
sebanyak 78 orang siswa.
3.1.3.2 Random Sampling
Random
sampling adalah proses pemilihan sampel dengan seluruh anggota populasi yang
mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih. Masing-masing anggota pada
populasi tersebut memiliki kemungkinan (probabilitas)
yang sama untuk dipilih (Kountur, 2007: 147). Maka dapat dikatakan bahwa teknik
random sampling sangat baik dalam pelaksanaan penelitian. Dalam teknik ini
semua individu dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih
menjadi anggota sampel. Hal ini karena semua individu dalam populasi diacak dengan
langlah-langkah tertentu sehingga mendapatkan sampel yang diharapkan dari
masing-masing subpopulasi.
Adapun
langkah-langkah yang digunakan dalam teknik random sampling ini adalah sebagai
berikut.
1.
Peneliti menulis nomor subjek pada
kertas kecil sesuai dengan jumlah siswa kelas V pada sekolah yang bersangkutan.
2.
Menggulung kertas tersebut dengan
baik-baik.
3.
Memasukkan gulungan kertas tersebut ke
dalam kaleng yang telah dipersiapkan sebelumnya.
4.
Mengocok baik-baik kaleng tersebut.
5.
Kertas yang telah dikocok dikeluarkan
satu per satu dari kaleng. Kertas yang
keluar disesuaikan dengan jumlah sampel yang telah ditetapkan dalam teknik
proposional sampling pada masing-masing
sekolah tersebut.
Langkah-langkah
yang terdapat di atas dilakukan juga pada kelas V dimasing-masing sekolah dasar Negeri Gugus II Kecamatan Abang,
Kabupaten Karangasem secara bergantian.
Berdasarkan
perhitungan di atas, maka diperoleh rincian sampel seperti pada tabel berikut
ini.
Tabel
3.3 Nama Sampel Penelitian Siswa Kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem Tahun
Pelajaran 2010/2011
No.
|
Nama Siswa
|
Nama Sekolah
|
Jenis Kelamin
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
1.
|
Ni
Putu Kinsa Destias Wirawan
|
SD Negeri 1 Abang
|
P
|
2.
|
Ni
Luh Manik Febrianti
|
SD Negeri 1 Abang
|
P
|
3.
|
I
Kadek Agus Sukmayana
|
SD Negeri 1 Abang
|
L
|
4.
|
Ni
Kadek Sudastri
|
SD Negeri 1 Abang
|
P
|
5.
|
I
Gede Pramudita Adnyana
|
SD Negeri 1 Abang
|
L
|
6.
|
I
Gede Agus Pradana
|
SD Negeri 1 Abang
|
L
|
7.
|
I
Wayan Pandi Gunawan
|
SD Negeri 1 Abang
|
L
|
8.
|
Ni
Luh Sri Wahyuni
|
SD Negeri 1 Abang
|
P
|
9.
|
I
Wayan Agus Parsana
|
SD Negeri 1 Abang
|
L
|
10.
|
Wayan
Tasya Kapati Wadhaniah
|
SD Negeri 1 Abang
|
P
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
11.
|
Putu
Krisna Pramudya Stianti
|
SD Negeri 1 Abang
|
P
|
12.
|
Ni
Kadek Arsita Tirta Dewi
|
SD Negeri 1 Abang
|
P
|
13.
|
Ni
Kadek Wardani
|
SD Negeri 1 Abang
|
P
|
14.
|
I
Gusti Ayu Febby Anggraita
|
SD Negeri 1 Abang
|
P
|
15.
|
Dewa
Gede Indra Narayana
|
SD Negeri 2 Abang
|
L
|
16.
|
Desak
Gede Novita Ulandari
|
SD Negeri 2 Abang
|
P
|
17.
|
I
Putu Agustina Surya
|
SD Negeri 2 Abang
|
L
|
18.
|
Ni
Wayan Asparini
|
SD Negeri 2 Abang
|
P
|
19.
|
I
Gede Wiantara
|
SD Negeri 2 Abang
|
L
|
20.
|
Dewa
Gede Carma
|
SD Negeri 2 Abang
|
L
|
21.
|
I
Wayan Hendra Dana Saputra
|
SD Negeri 2 Abang
|
L
|
22.
|
Dewa
Gede Rai Saputra
|
SD Negeri 2 Abang
|
L
|
23.
|
Ni
Kadek Sukendri
|
SD Negeri 2 Abang
|
P
|
24.
|
I
Gede Jati Santika
|
SD Negeri 2 Abang
|
L
|
25.
|
Desak
Gede Sayang
|
SD Negeri 2 Abang
|
P
|
26.
|
Ni
Luh Ratih Nitriani
|
SD Negeri 2 Abang
|
P
|
27.
|
I
Made Kariada
|
SD Negeri 2 Abang
|
L
|
28.
|
Desak
Gede Ayu Eka A.
|
SD Negeri 2 Abang
|
P
|
29.
|
I
Gede Eka Priana Pratama Putra
|
SD Negeri 3 Abang
|
L
|
30.
|
Ni
Ketut Widani
|
SD Negeri 3 Abang
|
P
|
31.
|
Ni
Luh Widnyani
|
SD Negeri 3 Abang
|
P
|
32.
|
I
Gede Eka Widiyasa
|
SD Negeri 3 Abang
|
L
|
33.
|
Ni
Wayan Januartini
|
SD Negeri 3 Abang
|
P
|
34.
|
Ni
Nyoman Sri Purnamayanti
|
SD Negeri 1 Tiyingtali
|
P
|
35.
|
Ni
Komang Ratna Sari Dwi N.
|
SD Negeri 1 Tiyingtali
|
P
|
36.
|
Ni
Nengah Herma Dwi Yanti
|
SD Negeri 1 Tiyingtali
|
P
|
37.
|
Ni
Luh Sintia Wati
|
SD Negeri 1 Tiyingtali
|
P
|
38.
|
I
Komang Wina Winata
|
SD Negeri 1 Tiyingtali
|
L
|
39.
|
I
Wayan Juni Adi Putra
|
SD Negeri 1 Tiyingtali
|
L
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
40.
|
Ni
Nyoman Novita Anggarini
|
SD Negeri 1 Tiyingtali
|
P
|
41.
|
Ni
Ketut Eva Meirani
|
SD Negeri 1 Tiyingtali
|
P
|
42.
|
Ade
Widy Fensilian Devi
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
P
|
43.
|
I
Ketut Putra Herianto
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
L
|
44.
|
I
Gede Witrawan
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
L
|
45.
|
Ni
Putu Diah Meilani P.
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
P
|
46.
|
I
Gede Indrawan Adi Utama
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
L
|
47.
|
Ni
Putu Devy Karismayanti
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
P
|
48.
|
Ni
Putu Sapna Wulandari
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
P
|
49.
|
I
Komang Agus Widya Putra
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
L
|
50.
|
I
Nengah Nata
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
L
|
51.
|
Ni
Putu Fitriani
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
P
|
52.
|
Ni
Komang Sri Awiadnyawati
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
P
|
53.
|
I
Gede Widiantara
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
L
|
54.
|
Sanisca
Iswari
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
P
|
55.
|
I
Gede Ariawan
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
L
|
56.
|
I
Komang Wisnawa
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
L
|
57.
|
Sang
Putu Sudira
|
SD Negeri 2 Tiyingtali
|
L
|
58.
|
I
Gede Suparsana
|
SD Negeri 3 Tiyingtali
|
L
|
59.
|
Ni
Komang Murniasih
|
SD Negeri 3 Tiyingtali
|
P
|
60.
|
Ni
Luh Widiani
|
SD Negeri 3Tiyingtali
|
P
|
61.
|
I
Wyn. Gd. Dirga Suyana Kerthi
|
SD Negeri 3Tiyingtali
|
L
|
62.
|
Ni
Komang Kardiasih
|
SD Negeri 3Tiyingtali
|
P
|
63.
|
I
Wayan Sudiana
|
SD Negeri 3Tiyingtali
|
L
|
64.
|
I
Wayan Sastika
|
SD Negeri 3Tiyingtali
|
L
|
65.
|
I
Kadek Redityawan
|
SD Negeri 3Tiyingtali
|
L
|
66.
|
I
Kadek Aditya Indrawan
|
SD Negeri 3Tiyingtali
|
L
|
67.
|
I
Kadek Budi Darma
|
SD Negeri 3Tiyingtali
|
L
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
68.
|
I
Gede Jati Antara
|
SD Negeri 3Tiyingtali
|
L
|
69.
|
I
Ketut Merta Tri Guna
|
SD Negeri 4 Ababi
|
L
|
70.
|
I
Ketut Suartama
|
SD Negeri 4 Ababi
|
L
|
71.
|
I
Komang Yuda Muliawan
|
SD Negeri 4 Ababi
|
L
|
72.
|
Ni
Kadek Dwi Astuti
|
SD Negeri 4 Ababi
|
P
|
73.
|
Ni
Luh Swandewi
|
SD Negeri 4 Ababi
|
P
|
74.
|
I
Komang Ginantara
|
SD Negeri 4 Ababi
|
L
|
75.
|
I
Ketut Widana
|
SD Negeri 4 Ababi
|
L
|
76.
|
I
Komang Sudarta
|
SD Negeri 4 Ababi
|
L
|
77.
|
Ni
Kadek Metriani
|
SD Negeri 4 Ababi
|
P
|
78.
|
I
Komang Prasandi Pranata
|
SD Negeri 4 Ababi
|
L
|
3.2
Metode
Pendekatan Subjek Penelitian
Metode
pendekatan subjek penelitian adalah golongan metode yang khusus dipergunakan
untuk mengadakan pendekatan subjek penelitian (Netra, 1974: 33). Mengingat
penelitian ini bersifat empiris, maka metode yang digunakan adalah metode
empiris. Metode empiris merupakan suatu cara pendekatan di mana data yang
diteliti itu sudah ada secara wajar sehingga tidak usah lagi membuat gejala
baru. Dalam hal ini berarti penyelidikan terbatas pada gejala-gejala yang sudah
ada dalam kenyataan. Gejala-gejala yang dimaksud adalah siswa kelas V SD Negeri Gugus II
Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran 2010/2011 telah diajarkan
tentang masatua Bali, ini berarti
siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem telah
memiliki kemampuan dalam masatua Bali
sehingga peneliti hanya mengevaluasi tentang kemampuan yang dimilikinya.
3.3
Metode
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data
adalah metode yang khusus untuk mencari data. Berkualitas atau tidaknya data
hasil penelitian tergantung pada kualitas metode pengumpulan data yang
digunakan oleh peneliti. Suharsimi Arikunto (2006: 150) menyatakan, berbicara
tentang jenis-jenis metode, dan instrumen pengumpulan data, sebenarnya tidak
ubahnya dengan berbicara masalah evaluasi. Lebih lanjut beliau membedakan
perbedaan antara metode dengan instrumen. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut ini.
Metode
penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data
penelitiannya. Variasi metode dimaksud adalah: angket, wawancara, pengamatan
atau obsevasi, tes, dokumentasi. Instrumen penelitian adalah alat atau
fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaanya
lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan
sistematis sehingga lebih mudah diolah. Variasi jenis instrumen penelitian
adalah: angket, ceklis (check-list)
atau daftar centang, pedoman wawancara, pedoman pengamatan (Suharsimi Arikunto,
2006: 160).
Berdasarkan uraian di
atas, maka terkait dengan penelitian ini peneliti menggunakan metode tes, observasi,
teknik rekam, kuesioner (angket), dan wawancara. Adapun penjelasan mengenai
metode pengumpulan data tersebut dapat dilihat pada pemaparan berikut ini.
3.3.1
Metode
Tes
Tes merupakan alat yang
digunakan untuk menilai kemampuan siswa yang mencakup pengetahuan dan
keterampilan dan sebagai hasil belajar mengajar. Lebih lanjut Nurkancana dan
Sunartana (1992: 34) menyatakan sebagai berikut.
Tes adalah suatu
cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu tugas atau serangkaian
tugas yang harus dikerjakan oleh anak-anak atau sekelompok anak sehingga
menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasi anak tersebut, yang
dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh anak-anak atau dengan nilai
standar yang ditetapkan.
Pendapat lain juga
dinyatakan Suharsimi Arikunto (2006: 150), bahwa tes adalah serentetan
pertanyaan atau latihan serta hal lain yang digunakan untuk mengukur
keterampilan, pengetahuan inteligensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh
individu atau kelompok.
Ditinjau dari segi
bentuk jawaban atau bentuk responnya, maka tes hasil belajar menurut Nurkancana
dan Sunartana (1992: 35) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (2) tes
tindakan dan (2) tes verbal. Penjelasan lebih lanjut seperti pada uraian
berikut.
1.
Tes Tindakan
Tes
tindakan, yaitu apabila jawaban atau respon yang diberikan oleh anak itu
berbentuk tingkah laku. Jadi, anak itu berbuat sesuai dengan perintah atau
pertanyaan yang diberikan.
2.
Tes Verbal
Tes
verbal, yaitu apabila jawaban atau respon yang diberikan anak berbentuk bahasa,
baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, anak-anak akan mengucapkan atau
menulis jawabannya, sesuai dengan pertanyaan ataupun perintah yang diberikan.
Berdasarkan pendapat di
atas, maka jenis metode tes yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang
kemampuan masatua Bali siswa kelas V
SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran
2010/2011 adalah berbentuk tes tindakan. Dalam hal ini, siswa ditugaskan untuk masatua Bali di depan kelas sesuai
dengan satua yang telah ditentukan
sebelumnya.
Adapun langkah yang
akan ditempuh dalam mengumpulkan data dengan metode tes (tindakan) adalah (1)
persiapan tes, (2) pelaksanaan tes, dan (3) penilaian hasil tes.
3.3.1.1
Persiapan
Tes
Agar
tes yang digunakan dalam penelitian ini dapat memenuhi syarat sebagai alat
mengumpulkan data, maka perlu dilakukan langkah-langkah persiapan tes sebagai
berikut.
1.
Materi Tes
Adapun tes yang digunakan dalam
penelitian ini mencangkup kemampuan masatua
Bali dengan judul satua Cicing I Rakrek
Sakti. Penetapan materi ini sudah berdasarkan atas tinjauan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) bahasa Bali dan pertimbangan relevanitas isi satua dengan kebahasaan siswa kelas V sekolah
dasar.
2.
Bentuk Tes
Berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh Nurkancana dan Sunartana, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan tes
tindakan yang dilakukan dengan memberikan tugas kepada siswa kelas V SD Negeri
Gugus II kecamatan Abang untuk masatua
Cicing I Rakrek Sakti di depan kelas. Akan tetapi, seminggu sebelum
dilaksanakannya tes, peneliti datang ke sekolah-sekolah untuk membawa surat
izin penelitian sekaligus memberikan pengarahan terhadap kegiatan yang akan
dilakukan serta membagikan satua Cicing I
Rakrek Sakti kepada siswa yang bersangkutan.
3.
Jumlah Item Tes dan Waktu
Jumlah item tes dalam
penelitian ini adalah 1 butir, yaitu berisi suruhan untuk masatua Cicing I Rakrek Sakti ke depan kelas, sedangkan alokasi
waktu yang disediakan kepada masing-masing siswa kelas V untuk masatua Cicing I Rakrek Sakti ke depan kelas adalah 10
menit. Jadi, seluruh waktu yang diperlukan seluruh sampel untuk masatua Cicing I Rakrek Sakti, yaitu
maksimal 780 menit.
3.3.1.2
Pelaksanaan
Tes
Setelah
persiapan tes selesai, langkah selanjutnya adalah pelaksanaan tes. Pelaksanaan
tes dilakukan seminggu setelah pembagian satua
Cicing I Rakrek Sakti sesuai dengan hari
yang telah ditentukan. Pelaksanaan penelitian mulai dilaksanakan pada
hari rabu, tanggal 9 Pebruari 2011 sampai hari sabtu, tanggal 12 Pebruari 2011
di sekolah dasar yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaan tes, satu per satu
siswa disuruh masatua Cicing I Rakrek
Sakti ke depan kelas. Dalam pelaksanaan tes ini, peneliti dibantu oleh guru
bidang studi bahasa Bali yang ada di SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang,
Kabupaten Karangasem. Hal ini dilakukan agar penelitian yang dilakukan dapat
berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
3.3.1.3 Penilaian Tes
Dalam penilaian masatua Cicing I Rakrek Sakti, peneliti
menggunakan kriteria penilaian yang terdiri atas delapan aspek, yaitu (1)
suara, (2) lafal (ucapan), (3) intonasi, (4) diksi, (5) ekspresi, (6) gerakan
tubuh/gestur, (7)
keseluruhan (kelengkapan) cerita, dan (8) kefasihan/kelancaran. Masing-masing
aspek tersebut memiliki rentangan bobot yang sama, yaitu 1 – 3 dengan
deskriptor tertentu. Berdasarkan delapan aspek tersebut, maka skor maksimal
idealnya adalah 24 (lihat tabel 3.5).
3.3.2
Metode
Observasi
Metode
observasi adalah suatu teknik pengamatan terhadapa subjek yang diteliti. Karena
dengan pengamatan memungkinkan gejala-gejala penelitian dapat diamati dengan
dekat. Menurut Mohamad Ali, pelaksanaan pengamatan ditempuh tiga cara utama,
yaitu:
(1) pengamatan langsung (direct observation), yakni pengamatan
yang dilakukan tanpa perantara (secara langsung) terhadap objek yang diteliti,
(2) pengamatan tak langsung (indirect observation), yakni pengamatan yang
dilakukan terhadap suatu objek melalui perantaraan suatu alat atau cara, baik
dilakukan dalam situasi sebenarnya maupun buatan, dan (3) partisipasi, yaitu pengamatan
yang dilakukan dengan cara ikut ambil bagian
atau melibatkan diri dalam situasi objek yang diteliti (1985: 91).
Jenis observasi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu observasi non-sistematis dan observasi sistematis.
Observasi non-sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan
instrumen pengamatan. Observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan
menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan (Suharsimi Arikunto, 2006:
157).
Berdasarkan uraian di
atas, maka dalam penelitian ini digunakan pengamatan langsung, yakni peneliti
secara langsung mengamati siswa dalam masatua
Bali, dan menggunakan observasi sistematis, yaitu dengan menggunakan pedoman
observasi sebagai instrumen pengamatan.
Pedoman observasi
berisi sebuah daftar jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati. Dalam
proses observasi, observator (pengamat) tinggal memberikan tanda atau tally pada kolom tempat peristiwa muncul
(untuk lebih jelasnya lihat pada lampiran 07 – 10). Untuk itu, terkait dengan
penilaian masatua Bali, maka peneliti
menggunakan format observasi sebagai berikut.
Tabel
3.4 Format Observasi Kemampuan Masatua Bali Siswa Kelas V SD Negeri
Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem Tahun Pelajaran 2010/2011
No.
|
Aspek-aspek yang dinilai
|
Deskriptor
|
Skor
|
Jumlah Skor
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
|
1.
|
Suara
|
Ø Suara dapat
didengar dengan jelas
Ø Suara kurang
dapat didengar dengan jelas
Ø Suara tidak
dapat didengar dengan jelas
|
3
2
1
|
3
|
|
2.
|
Lafal (Ucapan)
|
Ø 71 – 100℅ kata
dilafalkan dengan tepat
Ø 56 – 70℅ kata
dilafalkan dengan tepat
Ø ≤ 55℅ kata
dilafalkan dengan tepat
|
3
2
1
|
3
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
|
3.
|
Intonasi
|
Ø 71 – 100℅
kalimat diucapkan dengan intonasi yang tepat
Ø 56 – 70℅
kalimat diucapkan dengan intonasi yang tepat
Ø ≤ 55℅ kalimat
diucapkan dengan intonasi yang tepat
|
3
2
1
|
3
|
|
4.
|
Diksi
|
Ø Tepat
Ø Kurang tepat
Ø Tidak tepat
|
3
2
1
|
3
|
|
5.
|
Ekspresi
|
Ø Sesuai dengan
isi satua yang sedang diceritakan
Ø Kurang sesuai
dengan isi satua yang sedang
diceritakan
Ø Tidak sesuai
dengan isi satua yang sedang
diceritakan
|
3
2
1
|
3
|
|
6.
|
Gerakan tubuh/ Gestur
|
Ø Gerakan tubuh
sesuai dengan isi satua yang sedang
diceritakan
Ø Gerakan tubuh
kurang sesuai dengan isi satua yang
sedang diceritakan
Ø Gerakan tubuh
tidak sesuai dengan isi satua yang
sedang diceritakan
|
3
2
1
|
3
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
|
7.
|
Keseluruhan (kelengkapan) cerita
|
Ø Pokok-pokok satua disampaikan dengan lengkap
Ø Pokok-pokok satua disampaikan kurang lengkap
Ø Pokok-pokok satua disampaikan tidak lengkap
|
3
2
1
|
3
|
|
8.
|
Kefasihan (kelancaran)
|
Ø Lancar
Ø Kurang lancar
Ø Tidak lancar
|
3
2
1
|
3
|
|
Skor Maksimal Ideal (MSI)
|
24
|
Berdasarkan format observasi
(check list) di atas, peneliti dapat
mengetahui kemampuan siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang,
Kabupaten Karangasem tahun pelajaran 2010/2011 dalam masatua Bali.
3.3.3
Teknik
Rekam
Teknik rekam digunakan
sebagai metode penunjang dari metode observasi, yaitu untuk mengecek hasil yang
diperoleh dari check list. Teknik
rekam digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam masatua Bali.
Untuk mengumpulkan data
tentang kemampuan siswa dalam masatua
Bali, maka digunakan media berupa kamera digital dan handphone. Kamera digital dan handphone
mampu menunjang metode observasi dalam pengumpulan data siswa sehingga
hasil observasinya menjadi semakin valid sesuai dengan tujuan penelitian ini.
3.3.4 Metode Kuesioner (Angket)
Kuesioner berasal dari bahasa Inggris “question” yang berarti “pertanyaan”. Kuesioner
atau juga disebut angket adalah pertanyaan-pertanyaan yang disusun secara tertulis. Dengan demikian,
menurut Koentjaraningrat (1980:
215), kuesioner dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh
data berupa jawaban-jawaban dari para responden (orang-orang yang menjawab).
Sutrisno Hadi (1986), dalam Sugiyono (2010: 194)
mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam menggunakan
metode interview dan kuesioner (angket) adalah sebagai berikut.
(1) Bahwa subjek (responden) adalah
orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri, (2) Bahwa apa yang dinyatakan
oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya, dan (3) Bahwa
interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti
kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.
Dalam hal ini kuesioner diberikan kepada subjek
penelitian yang terkait dengan masatua
Bali, yaitu siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem. Hal ini dilakukan untuk mencari kesulitan-kesulitan dan faktor-faktor
yang menjadi penyebab kesulitan siswa dalam masatua
Bali, yaitu satua Cicing I Rakrek Sakti.
3.3.5
Metode
Wawancara
Metode wawancara digunakan sebagai metode penunjang
untuk mengkroscek hasil yang diperoleh dari kuesioner. Wawancara merupakan
salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan tanya
jawab, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sumber data. Wawancara
langsung diadakan dengan orang yang menjadi sumber data dan dilakukan tanpa
perantara, baik tentang dirinya maupun tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan dirinya untuk mengumpulkan data yang diperlukan, sedangkan wawancara
tidak langsung, dilakukan terhadap seseorang yang dimintai keterangan tentang kegiatan
yang berlangsung di masing-masing sekolah.
Berdasarkan dari pelaksanaannya, Suharsimi Arikunto
(2006: 156) membedakan wawancara menjadi tiga, yaitu: (1) interviu bebas (inguided
interview), (2) interviu terpimpin (guided
interview), dan (3) interviu bebas terpimpin. Penjelasan lebih lanjut
seperti pada uraian berikut.
1.
Interviu bebas (inguided interview), yaitu pewawancara bebas menanyakan apa saja,
tetapi juga mengingat akan data apa saja yang akan dikumpulkan.
2.
Interviu terpimpin (guided interview), yaitu interview yang dilakukan oleh pewawancara
dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci.
3.
Interviu bebas terpimpin, yaitu
kombinasi antara interview bebas dan interview terpimpin.
Berdasarkan uraian di
atas, maka peneliti menggunakan interviu terpimpin (guided interview). Dalam hal ini peneliti yang bertugas sebagai
pewawancara membawa pedoman wawancara untuk mengetahui data tentang
kesulitan-kesulitan dan faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan siswa
dalam masatua Bali. Untuk memperjelas
tentang butir pertanyaan yang akan peneliti ajukan kepada siswa, maka dapat
dilihat pada lampiran 05 dan 06.
3.4
Metode
Pengolahan Data
Setelah data yang
diinginkan terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan data
atau analisis data secara sistematis untuk memperoleh simpulan yang akurat.
Metode pengolahan data sangat erat kaitannya dengan jenis data yang
dikumpulkan. Secara teoretis ada dua metode analisis data, yaitu metode
analisis dan metode deskriptif. Metode analisis digunakan apabila data yang
dikumpulkan berupa data kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berupa
angka dan dihitung dengan menggunakan rumus tertentu untuk menarik simpulan, sedangkan
metode deskriptif digunakan apabila data yang dikumpulkan berupa data
kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata, kalimat, atau
gambar.
Terkait dengan
penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa angka, tetapi tidak diformulasikan
dengan rumus matematika tertentu. Angka-angka yang diperoleh akan
disistematisasi sehingga memperoleh simpulan. Analisis data dilakukan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode statistik deskriptif.
Sesuai dengan metode
yang digunakan dalam mengolah data, maka ditempuh langkah-langkah sebagai
berikut.
1.
Mengubah skor mentah menjadi skor
standar.
2.
Menentukan kriteria predikat kemampuan masatua Bali.
3.
Mengelompokkan kemampuan siswa.
4.
Mencari skor rata-rata kemampuan siswa.
5.
Menganalisis data kesulitan-kesulitan
siswa.
6.
Menganalisis data faktor-faktor yang menjadi
penyebab kesulitan siswa dalam masatua
Bali
7.
Menarik kesimpulan.
3.4.1
Mengubah
Skor Mentah Menjadi Skor Standar
Skor yang diperoleh
dari hasil tes tindakan masatua Bali
merupakan skor mentah yang harus diubah menjadi skor standar. Dalam mengubah skor
mentah menjadi skor standar, ada beberapa langkah yang harus dilalui yaitu: (1) menentukan skor maksimal ideal
(SMI) dan (2) membuat pedoman konversi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
uraian berikut.
3.4.1.1 Menentukan Skor Maksimal Ideal
(SMI)
Skor maksimal ideal
(SMI) adalah jumlah skor tertinggi yang diperoleh berdasarkan pedoman
penilaian. Berdasarkan jumlah aspek yang dinilai dan rentangannya, maka skor
maksimal ideal (SMI) dari kemampuan masatua
Bali dalam hal ini, yaitu satua Cicing I Rakrek Sakti dapat
dirumuskan seperti pada tabel 3.5 berikut.
Tabel
3.5 Skor Maksimal Ideal Kemampuan Masatua Bali Siswa Kelas V SD
Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem Tahun Pelajaran 2010/2011
No.
|
Aspek-aspek yang dinilai
|
Skor
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Suara
Lafal
(ucapan)
Intonasi
Diksi
Ekspresi
Gerakan
tubuh/gestur
Keseluruhan
(kelengkapan) cerita
Kefasihan
(kelancaran)
|
1 – 3
1 – 3
1 – 3
1 – 3
1 – 3
1 – 3
1 – 3
1 – 3
|
Jumlah skor maksimal ideal (SMI)
|
24
|
Jadi, berdasarkan tabel
3.5 di atas, maka dapat diketahui bahwa skor maksimal ideal (SMI) dalam penelitian
kemampuan masatua Bali Siswa Kelas V
SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran
2010/2011 adalah 24.
3.4.1.2 Membuat Pedoman Konversi
Pedoman konversi yang
digunakan dalam mengubah skor mentah menjadi skor standar yaitu dengan menggunakan
norma absolut. Norma absolut merupakan suatu norma yang ditetapkan secara
absolut (mutlak) oleh guru atau pembuat tes berdasarkan atas jumlah soal, bobot
masing-masing soal serta prosentase penguasaan yang dipersyaratkan (Gunarta,
2009: 67). Dengan demikian skor standar yang diperoleh oleh seseorang yang
didasarkan atas konversi norma absolut akan mencerminkan penguasaan anak
terhadap tes dalam masatua Bali.
Selain jenis norma
absolut tersebut, penelitian ini juga menggunakan skala, yaitu skala seratus. Skala
seratus adalah skala yang bergerak antara nol sampai seratus atau disebut juga dengan
skala persentil. Untuk mengkonversikan skor mentah menjadi skor standar dengan
norma absolut skala seratus digunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan:
P = Persentil
X =
Skor yang dicapai
SMI =
Skor maksimal ideal (Nurkancana
dan Sunartana, 1992: 99).
Berdasarkan rumus di
atas, misalkan seorang siswa yang menjadi sampel telah mengikuti tes tindakan masatua Bali, kemudian ia mendapat skor
mentah 18, maka skor standar siswa tersebut dapat dihitung sebagai berikut.
X
P = x
100
SMI
18
P = x
100
24
P = 75
Jadi,
skor standar siswa tersebut adalah 75.
Tabel 3.6 Rentangan Nilai Kemampuan Masatua Bali Siswa Kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan
Abang, Kabupaten Karangasem Tahun Pelajaran 2010/2011
No.
|
Aspek-aspek yang dinilai
|
Deskriptor
|
Skor
|
Rentang Skor
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
|
1.
|
Suara
|
Ø Suara dapat
didengar dengan jelas
Ø Suara kurang
dapat didengar dengan jelas
Ø Suara tidak
dapat didengar dengan jelas
|
3
2
1
|
1 – 3
|
|
2.
|
Lafal (Ucapan)
|
Ø 71 – 100℅ kata
dilafalkan dengan tepat
Ø 56 – 70℅ kata
dilafalkan dengan tepat
Ø ≤ 55℅ kata
dilafalkan dengan tepat
|
3
2
1
|
1 – 3
|
|
3.
|
Intonasi
|
Ø 71 – 100℅
kalimat diucapkan dengan intonasi yang tepat
Ø 56 – 70℅
kalimat diucapkan dengan intonasi yang tepat
Ø ≤ 55℅ kalimat
diucapkan dengan intonasi yang tepat
|
3
2
1
|
1 – 3
|
|
4.
|
Diksi
|
Ø Tepat
Ø Kurang tepat
Ø Tidak tepat
|
3
2
1
|
1 – 3
|
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
|
5.
|
Ekspresi
|
Ø Sesuai dengan
isi satua yang sedang diceritakan
Ø Kurang sesuai
dengan isi satua yang sedang
diceritakan
Ø Tidak sesuai
dengan isi satua yang sedang
diceritakan
|
3
2
1
|
1 – 3
|
|
6.
|
Gerakan tubuh/ Gestur
|
Ø Gerakan tubuh
sesuai dengan isi satua yang sedang
diceritakan
Ø Gerakan tubuh
kurang sesuai dengan isi satua yang
sedang
diceritakan
Ø Gerakan tubuh
tidak sesuai dengan isi satua yang
sedang diceritakan
|
3
2
1
|
1 – 3
|
|
7.
|
Keseluruhan (kelengkapan) cerita
|
Ø Pokok-pokok satua disampaikan dengan lengkap
Ø Pokok-pokok satua disampaikan kurang lengkap
Ø Pokok-pokok satua disampaikan tidak lengkap
|
3
2
1
|
1 – 3
|
|
8.
|
Kefasihan (kelancaran)
|
Ø Lancar
Ø Kurang lancar
Ø Tidak lancar
|
3
2
1
|
1 – 3
|
|
Skor maksimal ideal (MSI)
|
24
|
3.4.2
Menentukan
Kriteria Predikat Kemampuan Masatua
Bali
Skor
standar yang diperoleh siswa akan disesuaikan dengan kriteria predikat
kemampuan masatua Bali yang dikutip
dari buku raport sekolah dasar, hal ini didasarkan atas tingkat penguasaan
terhadap bahan yang diberikan. Tingkat penguasaan tersebut akan tercermin pada
tinggi rendahnya skor mentah yang dicapai.
Tabel 3.7 Kriteria Predikat Kemampuan Masatua Bali Siswa Kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan
Abang, Kabupaten Karangasem Tahun Pelajaran 2010/2011
Skor Standar
|
Predikat
|
(1)
|
(2)
|
86 – 100
71 – 85
56 – 70
41 – 55
≤ 40
|
Baik Sekali
Baik
Cukup
Kurang
Kurang Sekali
|
(Depdiknas, 2006: 1)
3.4.3
Mengelompokkan
Prestasi Siswa
Setelah skor standar
dan predikat kemampuan siswa ditentukan, selanjutnya kemampuan siswa tersebut
dikelompokkan berdasarkan jumlah persentasenya. Misalnya: beberapa orang atau
beberapa persen siswa yang mendapat nilai 60 (7,69℅), berapa orang atau
beberapa persen siswa yang mendapat nilai 70 (21,80℅), dan seterusnya. Setelah
diketahui jumlah siswa dan jumlah persentase kemampuan dari masing-masing
siswa, maka selanjutnya dicari jumlah siswa siswa yang tuntas atau tidak tuntas
dan persentase ketuntasan siswa dalam masatua
Bali. Misalnya: beberapa orang atau beberapa persen siswa yang dianggap
tuntas (30 orang = 38,46℅), berapa orang atau beberapa persen siswa yang dianggap
tidak tuntas (20 = 25,64℅), dan seterusnya. Tuntas atau tidaknya siswa dalam masatua Bali didasarkan pada kriteria
ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan di SD Negeri Gugus II Kecamatan
Abang, Kabupaten Karangasem.
3.4.4
Mencari
Skor Rata-rata Kemampuan Siswa
Setelah skor standar
masing-masing siswa diketahui, maka langkah selanjutnya adalah mencari skor
rata-rata kemampuan siswa dalam masatua Bali.
Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
Keterangan:
Me =
Mean (rata-rata)
∑ =
Epsilon (baca jumlah)
xi =
Nilai x ke-i sampai ke-n
n =
Jumlah individu (Sugiyono, 2008:
49).
3.4.5
Menganalisis
Data Kesulitan-kesulitan Siswa dalam Masatua
Bali
Adapun tujuan dari
menganalisis data ini adalah untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami siswa
dalam masatua Bali. Untuk
menganalisis data kesulitan-kesulitan siswa kelas V SD Negeri Gugus II
Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun pelajaran 2010/2011 ini didasarkan
pada hasil kuesioner dan wawancara yang dilakukan kepada siswa yang
bersangkutan. Hasil kuesioner dan wawancara yang telah dianalisis tersebut,
selanjutnya dikelompokkan kemudian dicari persentase kesulitan-kesulitan yang
dialami siswa dalam masatua Bali.
3.4.6
Menganalisis
Data Faktor-faktor yang Menjadi Penyebab Kesulitan Siswa dalam Masatua Bali
Setelah mendapatkan
data dengan metode kuesioner (angket) dari siswa, maka data tersebut akan
dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan siswa
dalam masatua Bali. Untuk
menganalisis data faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan siswa dalam masatua Bali dilakukan dengan cara
menginventarisasi, mengelompokkan, menganalisis, dan mendeskripsikan
faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan siswa tersebut. Setelah
faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan siswa diketahui, selanjutnya
dicari persentase dari masing-masing faktor tersebut. Hal ini dilakukan untuk
dapat mengetahui lebih objektif faktor penyebab kesulitan siswa dalam masatua Bali.
3.4.7
Menarik
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang
telah diperoleh dari pengolahan data tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1.
Kemampuan masatua Bali siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem tahun pelajaran 2010/2011.
2.
Kesulitan-kesulitan yang dialami siswa
kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem tahun
pelajaran 2010/2011 dalam masatua
Bali.
3.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab
kesulitan siswa kelas V SD Negeri Gugus II Kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem tahun pelajaran 2010/2011 dalam masatua
Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma