Bahasa Bali sebagai bahasa daerah atau bahasa Ibu -- dahulu ketika masih digunakan dalam lingkungan keluarga. Namun sekarang tentu tidak demikian adanya, karena justru yang menjadi bahasa Ibu bagi anak-anak masyarakat Bali adalah bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Bali adalah sebagai bahasa asing kedua bagi mereka. Keadaan ini seakan menjadi ironis, mengapa? Karena bahasa Bali sebagai bahasa daerah justru tidak mendapatkan prioritas dan termarginalkan dalam kehidupan masyarakatnya.
Merenungi fenomena bahasa Bali |
"Ke depan, bahasa Bali diharapkan agar lebih didorong ke arah kompetisi nasional bahkan menjadi sebuah kompetisi internasional. Karena bahasa Bali merupakan sebuah sistem kebahasaan, selanjutnya bahasa Bali untuk budaya yang berfungsi sebagai akar pelestari kebudayaan Bali, tidak seyogyanya tergusur oleh sistematika bahasa nasional ataupun bahasa asing lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal,
informal, maupun nonformal dengan sekala orbitasi dan jenjenjangan yang pasti sehingga arahnya jelas dan terukur" (Suarjana, 2011: 10).
Jika dipahami uraian di atas, tentu untaian kata tersebut merupakan buah pemikiran dari sujana yang peduli terhadap bahasa Bali. Bahasa Bali diharapkan mampu menjadi mediator antara praktisi dengan seni dan budaya Bali. Lembaga pendidikan yang berdiri kokoh dengan pejabatnya yang tegak dan sigap diharapkan mampu memberikan angin segar serta menjadi payung dalam kegalauan dunia sekarang ini, malah menjadi "Terminator" bahasa Bali itu sendiri.
Dengan "pelesapan" mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) dalam kurikulum 2013 -- masih dalam uji coba, menjadi tanda bahwa telah ada usaha untuk "menggusur" secara perlahan-lahan kearifan lokal bangsa ini. Unsur-unsur budaya di masing-masing daerah tidak akan mampu berkembang karena mediatornya mulai dipersempit geraknya.
Bahasa Bali salah satu bahasa daerah Bali yang menjadi mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok), harus puas "kumpul kebo" dalam Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) dengan alokasi waktu yang minim, yaitu SD I-III (4 Jam), IV-VI (6 Jam), SMP (3 Jam), dan SMA (2 Jam).
Jika kondisi ini terus berlanjut dan tidak dilakukan kebijakan oleh pemerintah daerah, dapat dipastikan bahasa Bali untuk 25 tahun ke depan hanya tinggal kenangan. Hal tersebut akan bernasib sama dengan bahasa Jawa Kuno, karena ditinggalkan oleh penuturnya serta adanya akulturasi bahasa hingga menggeser bahasa daerah. Kemungkinan, bahasa Bali hanya dapat hidup sebagai bahasa sastra dan tidak bersifat komunikatif.
Biasanya faktor yang dominan menyebabkan kepunahan suatu bahasa menurut Simpson (Aron Mbete, 2003, Suarjana, 2011: 13) adalah:
(1) ketidakpedulian para ahli warisnya;
(2) dangkalnya pemahaman tentang fungsi sosial budaya bahasa lokal yang berdampak pada rendahnya
kesadaran akan pentingnya pewarisan bahasa lokal;
(3) kegagalan tingkat pembelajaran terhadap bahasa lokal;
(4) ketimpangan terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa lokal sebagai tanda kurang bertanggung-
jawabnya pemegang institusi seperti instansi pemerintah terkait.
Apabila dicermati, pernyataan Simpson telah tertanda pada situasi dan kondisi bahasa daerah Bali saat ini. Apakah bahasa Bali akan menjadi seperti apa yang kita bayangkan? Apakah bahasa Bali tinggal menunggu waktu dalam kepunahan? Siapapun tidak akan dapat mengetahui secara pasti nasib bahasa Bali ke depan. Kita hanya bisa berharap agar "habis gelap terbitlah terang" -- mengutip kata dari RA Kartini.
Cakepan Panuntun:
Suarjana, I Nyoman Putra. 2011. Sor-Singgih Basa Bali. Denpasar: Tohpati Grafika Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma