BABAD DALEM TARUKAN
Mudah-mudahan tiada halangan! Permohonan
maaf hamba ke hadapan arwah para leluhur yang disemayamkan dalam wujud Ongkara
dan selalu dipuja dengan hati suci. Dengan memuja dan memuji kebesaran
Sanghyang Siwa semoga penulis terhindar dari segala kutukan, derita, cemar,
duka-nestapa, dan halangan lainnya. Mudah-mudahan tujuan hamba yang suci ini
berhasil serta bebas dari dosa-dosa karena menguraikan cerita leluhur di masa
lampau, semoga direstui sehingga mendapat kejayaan, keselamatan, keabadian,
panjang usia, sampai dengan seluruh keluarga turun temurun.
Baiklah kisah ini saya mulai:
Majapahit
yang dipimpin Raja Putri: Sri Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani
bersama Patih Agung: Gajah Mada berhasil menguasai Kerajaan Bali Aga yang di
pimpin oleh Raja: Paduka Bathara Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten (dikenal
dengan nama: Bedahulu) dengan Patih: Ki Pasung Grigis dan Ki Kebo Iwa, pada
tahun 1343 M atau isaka 1265.
Pimpinan
Pemerintahan sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar
Ki Patih Wulung. Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel. Walaupun Bali
sudah dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh militer Bali
Aga sudah menyerah. Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan
sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki
Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur.
Setelah
tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat
Bedahulu masih belum mau menerima kehadiran “si-penjajah” sepenuh hati. Melihat
keamanan sudah membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana
mestinya, maka pada tahun 1350 M atau 1272 isaka, Ki Patih Wulung berangkat ke
Majapahit untuk menghadap Sri Ratu. Tujuannya adalah melaporkan situasi di Bali
dan memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa.
Atas
saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat orang Raja,
putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah
ditaklukkan, yaitu: Sri Juru, menjadi Raja di Blambangan, Sri Bhima Sakti
menjadi Raja di Pasuruan, Sri Kepakisan (putri) menjadi Raja di Sumbawa, dan
Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.
Dalem
Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan
Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali
beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari
Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Ki Patih Wulung menjabat sebagai Mangku
Bumi.
Dalem
Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu Gajah Para,
melahirkan: Dalem Wayan (Dalem Samprangan), Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan),
Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak), dan Dalem Ketut (Dalem
Ketut Ngulesir). Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin, melahirkan: Dewa
Tegal Besung.
Dalem
Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau
digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra
Samprangan. Beliau memerintah secara sah sampai tahun 1383 M atau 1305 isaka,
kemudian beliau digantikan oleh adiknya yaitu: Dalem Ketut Ngulesir, bergelar
Dalem Sri Semara Kepakisan, memerintah sejak tahun 1383 M atau 1305 isaka
sampai tahun 1460 M atau 1382 isaka. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari
Samprangan ke Gelgel yang diberi nama baru: Sweca Pura.
Di
awal pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 M atau 1295 isaka)
terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba
Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu
dekat Raja.
Untuk
menghindari pertengkaran, maka kedua adik Raja yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem
Ketut, memilih tinggal di luar istana. Dalem Di-Madia membangun istana dan
bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar: Dalem
Tarukan. Dalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke
Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan; penduduk lalu menjuluki beliau:
Dalem Ketut Ngulesir.
Selain
untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki
dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta
mengadakan pendekatan dengan rakyat. Ida Bhatara Dalem Tarukan memilih Desa
Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang
sebahagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan.
Sementara
itu pergolakan di Puri Samprangan makin memanas, ditandai dengan pemberian
julukan yang tidak pada tempatnya kepada Raja, di mana Dalem Sri Agra
Samprangan diberi julukan Dalem Ile (Ile=gila), Dalem Tarukan dinyatakan
“rangseng” (=gila karena marah), dan Dalem Ketut dinyatakan sangat suka
berjudi, khususnya mengadu ayam.
Julukan tidak pada tempatnya yang
diberikan kepada para Raja itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu
yang senantiasa mengajarkan penghormatan tinggi kepada Pemimpin Pemerintahan.
Penghinaan kepada Raja itu jelas fitnah, karena jika benar adanya, pasti Maha
Raja Majapahit dan Maha Patih Gajah Mada tidak akan tinggal diam. Tindakan
pemecatan atau penggantian Raja pasti dilakukan. Selain itu, jika julukan itu
benar, para musuh yaitu rakyat Bedahulu akan mempunyai peluang yang baik untuk
menggulingkan Pemerintahan Samprangan.
Setelah selesai membangun Puri,
Dalem Tarukan menikahi seorang Bidadari dari Gunung Lempuyang. Karena belum
mempunyai putra, beliau mengajak kemenakannya, yaitu cucu Dalem Wayan, Raja
Blambangan, bernama: Kuda Penandang Kajar untuk tinggal bersama-sama di Puri
Tarukan.
Kuda
Penandang Kajar adalah seorang pemuda yang tampan, gagah dan mempunyai kekuatan
batin yang tinggi, khusus untuk meneliti apakah tanah ada kandungan emasnya
atau tidak. Karena itulah Puri Tarukan sangat mewah dan terkesan kaya raya
karena dipenuhi ornamen emas murni. Dalem Tarukan sangat menyayangi
kemenakannya.
Pemerintahan
Samprangan di ambang kehancuran, karena tidak adanya dukungan dari para Menteri
dan pembantu Raja. Dalem Wayan merasa perlu memanggil adik beliau yaitu Dalem
Ketut untuk diajak kembali tinggal di Puri Samprangan. Maksudnya agar Dalem
Ketut turut membantu beliau menyelenggarakan pemerintahan.
Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau
untuk menjemput Dalem Ketut ke Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena
beliau merasa belum mampu memimpin kerajaan di Samprangan. Jika Samprangan
telah dipenuhi oleh para menteri dan pembantu Raja yang tidak setia, apakah
beliau akan dapat memimpin dengan baik?
Sementara
Dalem Ketut mencari jalan keluar memecahkan masalah ini, datanglah Kuda
Penandang Kajar sebagai utusan Dalem Tarukan memohon Dalem Ketut pulang untuk
memimpin Kerajaan Samprangan. Dalem Tarukan sendiri tidak berniat menjadi Raja,
karena beliau lebih tertarik kepada profesi kepanditaan. Pesan lain yang
disampaikan Kuda Penandang Kajar adalah, jika Dalem Ketut berkenan, beliau
dibolehkan menggunakan istana Tarukan.
Walaupun
penjemputan kali ini penuh penghormatan dan kemewahan, misalnya dengan kuda
tunggangan istimewa bernama I Gagak dan sebuah keris milik Dalem Tarukan yang
bernama I Pangenteg Rat, Dalem Ketut tetap menolak permintaan kakaknya itu,
sekali lagi dengan alasan belum mampu memimpin atau menjadi Raja.
Kecewa
karena tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang Kajar kembali ke Tarukan dengan
lesu. Di perjalanan beliau disambar burung gagak hingga destarnya jatuh.
Sesampainya di gerbang istana Tarukan, dilihatnya puncak gelung kuri
terpenggal. Hanya Kuda Penandang kajar yang melihat demikian, sementara para
pengiringnya tidak melihat puncak gelung kuri itu terpenggal. Pertanda buruk
ini terkesan mendalam di hati Kuda Penandang Kajar, sampai-sampai beliau jatuh
sakit. Dalem Tarukan prihatin pada sakit yang didarita kemenakannya ini.
Sementara
itu tersiar berita yang mengagetkan, bahwa para panglima perang Samprangan
merencanakan memerangi Kerajaan Blambangan. Dalem Tarukan tidak setuju dengan
rencana itu, mengingat bahwa Dalem Blambangan yaitu ayah Kuda Penandang Kajar,
masih saudara sepupu beliau. Dalem Tarukan berpendapat bahwa rencana itu
mempunyai latar lain, mungkin saja gerakan merebut kekuasaan, yaitu bila
prajurit dikerahkan ke Blambangan, Dalem Wayan akan mudah digulingkan.
Dalem
Tarukan cepat mengambil inisiatif untuk mengikat tali persaudaraan antara
Samprangan dengan Blambangan yaitu dengan menikahkan Kuda Penandang Kajar
dengan putri Dalem Wayan, bernama I Dewa Ayu Muter. Dengan ikatan tali
persaudaraan itu, perang dapat dicegah. Sakitnya Kuda Penandang Kajar menjadi
suatu jalan untuk memohon restu para Dewata. Jika Dewata mengijinkan pernikahan
ini, kesembuhan Kuda Penandang Kajar menjadi suatu batu ujian. Pertimbangan
lain, Dalem Tarukan melihat bahwa Kuda Penandang Kajar sudah cukup dewasa, dan
dari gelagat sehari-hari nampaknya tertarik kepada I Dewa Ayu Muter.
Terucaplah tegur sapa Dalem Tarukan
kepada Kuda Penandang Kajar: Duhai anakku, segeralah sembuh; ayah berkeinginan
mengawinkan anak dengan I Dewa Ayu Muter.Ternyata permohonan Dalem Tarukan
kepada para Dewata terkabul. Kuda Penandang Kajar segera sembuh dan sehat
seperti semula. Tentu saja Dalem Tarukan sangat bergembira. Kini beliau
merencanakan mewujudkan perkawinan kedua muda-mudi itu.
Untuk
meminang tentu saja tidak mungkin, karena posisi Dalem Wayan sangat lemah. Beliau
hampir tidak dapat memutuskan sesuatu. Semua keputusan diambil oleh para
Menteri. Akhirnya dilaksanakanlah perkawinan secara adat kawin-lari. Awalnya
perkawinan itu berjalan lancar, sampai pada malam hari terjadi hal yang
merupakan akhir dari keberadaan Puri Tarukan. Kedua mempelai yang sedang
berbulan madu di peraduan, tewas berbarengan tertusuk senjata keris. Seorang
abdi perempuan pengasuh I Dewa Ayu Muter di Puri Samprangan melaporkan secara
tergesa-gesa kepada Dalem Wayan bahwa putri beliau satu-satunya yaitu I Dewa
Ayu Muter, semalam telah tewas di Puri Tarukan terbunuh oleh Ki Tanda Langlang.
Dalem Wayan tentu saja sangat terkejut dan segera memanggil para menterinya.
Seorang panglima perang menyampaikan ceritra yang lengkap, serta memperkuat keyakinan
Dalem Wayan bahwa putri beliau bersama-sama Kuda Penandang Kajar benar telah
tewas ditikam Ki Tanda Langlang.
Betapa
murkanya Dalem Wayan setelah mendapat penjelasan para Menterinya itu. Segera
disuruhlah memukul kentongan dengan suara “bulus” sehingga para prajurit segera
berkumpul di halaman istana. Di saat itu Dalem Wayan memerintahkan pasukan
Dulang Mangap yang dipimpin Panglimanya Kiyai Parembu, menyerang menghancurkan
Puri Tarukan serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau mati. Dengan bersorak
gegap gempita pasukan itu bergegas menuju Puri Tarukan.
Kini
diceritakan Ida Bhatara Dalem Tarukan di Puri Tarukan. Betapa sedih dan
terkejutnya beliau menyaksikan nasib yang tragis menimpa putra kesayangannya
bersama menantunya yang meninggal di kamar pengantin justru pada malam pertama
yang seharusnya berkesan sangat bahagia. Beliau sadar bahwa kejadian ini adalah
puncak upaya yang sangat keji dari orang-orang yang ingin menguasai kerajaan
Samprangan. Beliau ingin menyelesaikan masalah ini melalui pembicaraan dengan
kakak beliau, tetapi nampaknya keadaan sudah tidak memungkinkan lagi karena
Dalem Wayan sudah termakan fitnah. Terdengar pula berita bahwa pasukan Dulang
Mangap sedang menuju Puri Tarukan untuk menangkap beliau dan menghancurkan Puri
Tarukan.
Di
saat yang berbahaya itu beliau cepat berpikir dan kemudian dikumpulkanlah semua
prajurit Tarukan. Beliau meminta agar bila pasukan Dulang Mangap datang,
prajurit Tarukan menyerah, tidak melawan, dengan cara membuang senjata dan
duduk bersila di tanah dengan posisi kedua tangan memeluk tengkuk (leher bagian
belakang). Beliau juga meminta agar permaisuri tetap tinggal di istana dan
menyerah kepada Dalem Wayan. Betapa sedih dan pilu hati permaisuri tiada
terperikan. Ingin beliau menyertai Dalem Tarukan pergi ke mana saja, tetapi itu
tidak mungkin karena beliau sedang hamil besar.
Prajurit
Tarukan juga tidak mau menyerah begitu saja. Mereka sangat mencintai Dalem
Tarukan dan meminta diijinkan menghadapi pasukan Dulang Mangap sampai
habis-habisan (perang puputan). Dalem Tarukan tidak mengijinkan. Beliau
mengingatkan bahwa masalah ini adalah masalah pertikaian antar keluarga, yaitu
beliau dengan kakak beliau, Dalem Wayan. Beliau tidak ingin karena pertikaian
keluarga ini lalu rakyat yang menjadi korban sia-sia. Dengan berat hati beliau
juga berpesan kepada permaisuri agar baik-baik menjaga putranya yang masih di
kandungan.
Permaisuri
tetap berlutut meratapi keputusan Dalem Tarukan. Dalem Tarukan berusaha
menenangkan permaisuri dengan mengatakan bahwa kejadian ini sudah kehendak
Dewata. Kita sebagai manusia tiada daya menolak kehendak Yang Maha Kuasa.
Karena itu pasrahlah; serahkanlah hidup mati kita kepada-Nya. Setelah itu
beliau segera berangkat seorang diri kearah utara.
Pasukan
Dulang Mangap di bawah Panglimanya Kiyai Parembu dengan teriakan-teriakan
histeris bagaikan serigala haus darah, tiba di Puri Tarukan. Mereka
terheran-heran karena melihat semua pasukan dan rakyat Tarukan menyerah total
tanpa perlawanan, bahkan duduk bersila dengan pandangan menunduk memandang
tanah. Suatu aturan perang, seorang kesatria tidak akan membunuh pasukan yang
sudah menyerah apalagi tanpa senjata.
Mereka
masuk ke istana, memeriksa setiap sudut tetapi tidak menjumpai jejak Dalem
Tarukan. Mereka hanya menemukan permaisuri beliau yang bersimpuh berurai air
mata. Pasukan Dulang Mangap lalu menjarah isi Puri Tarukan dan membakar sampai
habis Puri Tarukan. Para tawanan digiring ke Puri Samprangan. Kejadian yang
memilukan ini terjadi pada tahun 1377 M atau 1299 isaka.
Kiyai
Parembu menghadap Dalem Wayan di Puri Samprangan, dan melaporkan bahwa Dalem
Tarukan telah melarikan diri ke arah utara. Segala hasil jarahan Puri Tarukan
diserahkan, dan permaisuri Dalem Tarukan ditawan di Puri Samprangan. Dalem
Wayan memerintahkan Kiyai Parembu untuk meneruskan pengejaran esok harinya.
Kiyai Parembu menyiapkan pasukan bersenjata sebanyak 2000 orang.
Perjalanan
Ida Bhatara Dalem Tarukan sejak dari Puri Tarukan, secara berurut adalah
sebagai berikut:
TARO
Di
desa ini beliau tidak lama, hanya lewat saja, kemudian karena dikejar terus
oleh pasukan Dulang Mangap, beliau memutar kembali menuju desa:
TAMPUWAGAN
Di
suatu tanah persawahan beliau melihat banyak orang sedang menanam padi. Ada
seorang petani yang sedang membuang kotoran di sungai, dan bajunya ditinggalkan
di tepi sungai. Baju itu lalu diambil oleh Dalem Tarukan, dikenakan, lalu
beliau turut serta dengan para petani menanam padi. Seketika datanglah pasukan
Dulang Mangap yang mengagetkan para petani.
Kiyai
Parembu bertanya, apakah para petani melihat Dalem Tarukan di sekitar situ.
Para petani serentak menjawab, tidak melihat siapa-siapa apalagi Dalem Tarukan.
Pasukan Dulang Mangap memeriksa sekali lagi dan meneruskan pengejaran ke utara.
Beberapa saat kemudian si petani yang selesai membuang kotoran itu bangkit dari
sungai, mencari bajunya namun tidak ditemukan.
Dalem
Tarukan berdiri sambil membuka penyamarannya. Seketika para petani terkesima
karena baru kali itu mereka menatap sosok Dalem Tarukan yang tinggi besar,
gagah perkasa, dengan raut wajah yang sangat tampan namun berwibawa. Kulit
kehitaman dan rambut berombak yang panjangnya sebatas bahu menambah kewibawaan
beliau. Para petani sujud menyembah serta mohon maaf karena tidak mengetahui
kehadiran beliau di antara mereka.
Beliau, Dalem Tarukan menjelaskan
secara singkat halangan yang menimpa, serta berpesan: “wahai kamu sekalian
rakyat Tampuwagan, janganlah lagi kamu me-“cokor I Dewa” terhadapku. Kamu boleh
menyapaku dengan “I Ratu, Gusti atau Jero”, karena aku akan tetap menyamar agar
tidak diketahui keberadaanku di sini sehingga bebas dari pengejaran pasukan
kakakku, Dalem Samprangan”.
Walaupun
tidak rela, para petani itu serempak menyembah beliau dan merasa iba dengan
nasib malang yang menimpa junjungan mereka itu. Dari Tampuwagan Dalem Tarukan
meneruskan perjalanan ke desa:
PANTUNAN
Para
pengejar yang mendapat informasi bahwa Dalem Tarukan ada di Desa Pantunan,
segera ke sana. Beberapa saat sebelum kedatangan pasukan Dulang Mangap, Ida Bhatara
Dalem Tarukan telah diberi tahu oleh para petani di Pantunan. Beliau lalu
bersembunyi di bawah pohon Jawa dan semak-semak pohon Jali yang tumbuh subur.
Ada
sepasang burung perkutut hinggap di atas pohon Jawa tepat di atas persembunyian
beliau seraya berkicau amat merdunya. Ada pula seekor burung puyuh berkeliaran
dekat kaki beliau sambil berkicau. Para pengejar sudah berada dekat sekali ke
pohon Jawa dan Jali tempat persembunyian beliau. Hampir saja mereka menguakkan
semak-semak itu, namun tiba-tiba seorang pengejar mencegah. “Mana mungkin ada
orang di situ, lihatlah burung-burung itu bertengger dan berkicau dengan
tenang; jika ada manusia mereka sudah pasti terbang menghindar”.
Pengejar
yang lain membenarkan dan mereka meneruskan perjalanan. Terhindarlah Ida Bhatara
Dalem Tarukan dari penangkapan. Beliau lalu keluar dari semak-semak. Alangkah
besar perlindungan Ida Sanghyang Parama Kawi. Seolah-olah semak-semak dan
burung-burung itulah yang diminta oleh-Nya untuk melindungi beliau.
Di
saat itulah dengan terharu beliau berterima kasih kepada semak-semak dan
burung-burung, sehingga terucaplah janji beliau agar seketurunan beliau tidak
membunuh/merusak serta memakan Jawa, Jali, burung perkutut dan burung puyuh. Di
malam hari beliau meneruskan perjalanan ke desa:
POH TEGEH
Di
desa Poh Tegeh (kini bernama Desa Suter) bermukimlah seorang kesatria bernama I
Gusti Ngurah Poh Tegeh. Kesatria ini mempunyai nama/biseka lain yaitu I Gusti
Ngurah Poh Landung, atau Kiyai Poh Tegeh, atau Kiyai Poh Landung, keturunan
dari Sri Jayakata, Raja Tumapel (Jawa Timur) setelah wafatnya Sri Jayakatong.
Datang ke Bali pada tahun 1350 M atau 1272 isaka mengemban tugas mengawal Ida Bhatara
Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Sudah
beberapa hari beliau mendengar berita bahwa Dalem Tarukan sedang berselisih
dengan Dalem Wayan. Tiba-tiba di keremangan sinar bulan malam itu Kiyai Poh
Tegeh terkejut menerima kedatangan Dalem Tarukan. Sang Kiyai segera menyambut
dan bertanya meminta ketegasan, kenapa Dalem Tarukan datang mendadak, seorang
diri tanpa pengiring.
Dalem
Tarukan kemudian menjelaskan duduk persoalan selengkapnya dari awal hingga
akhir. Kiyai mendengarkan dengan seksama, kemudian timbullah rasa ibanya. Kiyai
memohon agar Dalem Tarukan tidak ke mana-mana lagi. Ia mempunyai suatu tempat
yang dinamakan pedukuhan Bunga. Tempat itu dikitari hutan lebat dan jauh dari
jalan yang biasa dilalui manusia. Dalem Tarukan menyetujui dan keesokan harinya
beliau ke sana diiringi Kiyai Poh Landung.
PEDUKUHAN BUNGA
Di
Pedukuhan Bunga beliau disambut oleh Dukuh Bunga yang juga menyediakan
pondoknya untuk ditinggali Dalem Tarukan. Dalem Tarukan sangat terharu atas
kesetiaan dan keramahtamahan Kiyai Poh Landung dan Dukuh Bunga beserta keluarga
dan seluruh rakyatnya.
Keberadaan beliau di pedukuhan
dirahasiakan sehingga Dalem Tarukan menetap dalam waktu lama dengan tenang. Di
sini beliau memperdalam ilmu kependetaan bersama-sama Dukuh Bunga. Di suatu
hari Dalem Tarukan merasa sedih karena mengenang peristiwa hancurnya Puri
Tarukan. Beliau belum tahu bagaimana nasib permaisuri yang ketika ditinggalkan
sedang hamil tua. Lama beliau termenung. Hal ini diperhatikan oleh Kiyai Poh
Landung.
Kiyai
turut prihatin dan memikirkan bagaimana cara menghibur Dalem Tarukan. Kiyai
menemukan jalan dan merencanakan menghaturkan putrinya yang bernama Ni Gusti
Luh Puaji sebagai istri Dalem Tarukan. Beberapa hari kemudian Kiyai mengusulkan
rencananya itu kepada Dalem Tarukan. Beliau menerima dengan baik usul Kiyai,
dengan pertimbangan perlunya menurunkan “sentana” dan juga menghormati
kesetiaan Kiyai Poh Landung. Pertimbangan yang sama pula disampaikan ketika
para pengikut setia beliau di kemudian hari masing-masing menghaturkan putri
mereka sebagai istri-istri Dalem Tarukan. Secara bertahap berkembanglah
keluarga Ida Bhatara Dalem Tarukan sebagai berikut:
NAMA MERTUA
NAMA ISTRI
NAMA PUTRA/PUTRI
1.
Gusti Ngurah Poh Landung
Gusti
Luh Puaji
Gusti
Gede Sekar, Gusti Gede Pulasari
2.
Dukuh Bunga
Jero
Sekar
Gusti
Gede Bandem
3.
Dukuh Darmaji
Jero
Dangin
Gusti
Gede Dangin
4.
Jero Mekel Belayu
Jero
Belayu
Gusti
Gede Belayu
5.
Gusti Gede Bekung
Gusti
Luh Balangan
Gusti
Gede Balangan, Gusti Luh Wanagiri
Di
pedukuhan Bunga beliau sekeluarga hidup aman, tenteram, dan berbahagia. Di
waktu-waktu senggang beliau menanam berbagai macam kembang, kacang-kacangan,
dan sayur-sayuran. Dengan kelima istri dan ketujuh putra/putrinya beliau hidup
rukun dan damai; bercengkrama, bersenda gurau, bermain-main di hutan dan
mandi-mandi di sungai diselingi gelak tawa riang putri, si bungsu Gusti Luh
Wanagiri.
Ida
Sanghyang Parama Kawi yang maha kuasa, telah mengaruniai beliau putra-putra
yang tampan, gagah dengan ciri-ciri khas wibawa kebangsawanan. Tak kalah dengan
si mungil, putri beliau satu-satunya, tanda-tanda kecantikan yang masih
tersembunyi menunggu saat menyembul di kemudian hari.
Hentikan
dulu sejenak cerita di pedukuhan Bunga. Kini diceritakan keadaan Dalem Wayan di
Puri Samprangan. Sudah sekian lama Kiyai Parembu mengejar Dalem Tarukan ke
hutan-hutan dan desa-desa di pegunungan, tiada kabar berita, membuat Dalem
Wayan resah. Dalam hati kecilnya beliau menyesal telah mengeluarkan perintah
yang demikian kejam namun sebagai seorang Raja tidak mungkin beliau menarik
kembali perintah itu.
Kini beliau mengharap semoga adik
kandung beliau itu selamat dan untuk bisa selamat selamanya, diperkirakan Dalem
Tarukan telah berhasil menyeberang ke Jawa, jika benar maka jalan yang terbaik
adalah melalui Desa Kubutambahan di bekas kerajaan Dalem Kesari Marwadewa yaitu
di Pura Penyusuan.
Rasa
kesepian karena tiada saudara sekandung, perasaan bersalah yang terus
menghantui, serta siasat dari para Menteri yang tiada hentinya, membuat Dalem
Wayan tidak bergairah memimpin pemerintahan Kerajaan Samprangan. Perasaan
bersalah Dalem Wayan makin menjadi-jadi setelah istri Dalem Tarukan yaitu
bidadari dari Lempuyang moksah ketika putra yang dilahirkannya genap berusia 42
hari. Bayi mungil ini dinamai I Dewa Bagus Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di
peraduan saja, tidak beda seperti orang yang sedang sakit. Para menteri dan
petinggi kerajaan yang ingin menghadap tidak berhasil menemui beliau, sehingga
lama kelamaan roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Keadaan
ini mengkhawatirkan beberapa menteri karena dapat membahayakan kelangsungan
berdirinya kerajaan Samprangan, apalagi kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga
masih terus berusaha menggulingkan kerajaan. Seorang menteri bernama Kiyai
Kebon Tubuh mengambil inisiatif berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput
Dalem Ketut Ngulesir untuk memohon beliau bersedia menjadi Raja.
Kiyai
berhasil menemui Dalem Ketut di arena sabungan ayam sedang berwajah lesu karena
baru saja kalah bertaruh. Kiyai melaporkan secara singkat keadaan Dalem Wayan
di Puri Samprangan dan peristiwa menyedihkan yang terjadi di Puri Tarukan.
Sejenak
Dalem Ketut termenung membayangkan betapa tragisnya nasib beliau tiga
bersaudara. Kiyai melanjutkan permohonannya agar Dalem Ketut sudi pulang ke
Samprangan untuk memimpin kerajaan Bali Dwipa. Walaupun Dalem Ketut sudah lama
meninggalkan Samprangan, beliau selalu memantau apa yang terjadi di Puri
Samprangan. Permintaan Kiyai Kebon Tubuh itu memang patut dipertimbangkan demi
menjaga kelangsungan roda pemerintahan, namun bagaimana nanti dengan kedudukan
Dalem Wayan?
Pemikiran
Dalem Ketut itu nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan
agar Dalem Ketut memerintah dari Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata
lain kerajaan seolah-olah sudah dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui
Dalem Ketut dan segeralah beliau berangkat ke Gelgel (tahun 1380 M atau 1302
isaka).
Dalem
Ketut Ngulesir membangun istana di Gelgel di kebun kelapa milik Kiyai Kebon
Tubuh. Berita ini didangar oleh Dalem Wayan namun tidak bereaksi karena beliau
sudah kehilangan gairah hidup. Para menteri dan pembantu Raja di Samprangan
banyak yang berpindah ke Gelgel atas kemauan sendiri karena merasa lebih senang
mengabdi kepada Dalem Ketut. Roda pemerintahan diatur dari Gelgel yang telah
berganti nama menjadi Suwecapura. Para Manca yang tinggal di pedesaan dan
pegunungan mendengar berita ini lalu datang menyatakan dukungan dan kesetiaan kepada
Dalem Ketut.
Sementara
itu Dalem Wayan makin parah sakitnya dan akhirnya beliau moksah pada tahun 1383
M atau 1305 isaka. Setelah Dalem Wayan moksah barulah Dalem Ketut
menyelenggarakan upacara penobatan Raja (biseka Ratu) dengan gelar Ida Bhatara
Dalem Semara Kepakisan. Segera setelah Dalem Ketut resmi menjadi Raja, beliau
teringat pada kakak beliau, Dalem Tarukan. Diutuslah Kiyai Kebon Tubuh ke
pedukuhan Bunga untuk meminta Dalem Tarukan kembali ke Tarukan atau ke
Suwecapura.
Permintaan
ini ditolak beliau karena beberapa pertimbangan antara lain: jika kembali ke
Tarukan, istana ini sudah hancur dan akan mengingatkan kenangan pahit yang
dialami beberapa tahun lampau. Istri beliau yang dicintai yaitu bidadari
Lempuyang-pun (dijuluki: Dedari Kuning) telah moksah. Jika ke Suwecapura,
walaupun adik beliau Dalem Ketut mau menerima, belum tentu para menteri dan
petinggi kerajaan lain mau juga menerima dengan baik; sementara itu beliau
sudah berbahagia di pedukuhan Bunga.
Kiyai
Kebon Tubuh kembali ke Suwecapura dan melaporkan penolakan Dalem Tarukan
tersebut. Dalem Ketut kecewa karena maksud baik beliau tidak ditanggapi oleh
Dalem Tarukan, namun beliau dapat memahami pemikiran kakak beliau itu. Dalem
Tarukan yang menduga bahwa para menteri di Suwecapura dan para pengejar dari
Samprangan telah mengetahui tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk
meninggalkan pedukuhan Bunga. Berangkatlah rombongan keluarga besar itu
diiringi oleh Dukuh Darmaji dan beberapa rakyatnya menuju desa:
SEKAHAN
Hanya
semalam beliau ada di desa Sekahan, kemudian meneruskan perjalanan ke desa:
SEKARDADI
Di
sini beliau beserta rombongan bermalam di pondok kerabat Jero Dukuh Darmaji
selama tiga malam, kemudian meneruskan perjalanan ke desa:
KINTAMANI
Hanya
lewat saja, lalu terus menuju desa:
PANARAJON
Di
sini rombongan beliau dihembus angin topan sehingga sebelas pengiring beliau
meninggal dunia. Setelah topan reda, rombongan meneruskan perjalanan ke desa:
BALINGKANG
Merasa
aman, di sini beliau tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan menuju
desa
SUKAWANA
Dalam
perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang berusia 4 tahun, Gusti Luh
Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu bertanya kepada Dukuh
Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak membawa makanan, hanya
beberapa genggam beras. Dalem Tarukan lalu tergesa-gesa memberikan beras itu
kepada putrinya, karena tidak sempat lagi memasaknya. Beberapa saat kemudian
putrinya sakit perut karena memakan beras mentah dan akhirnya tidak tertolong.
Putri
yang dicintainya meninggal dunia. Betapa sedih beliau dan terucaplah kata-kata
beliau: “Ya, Tuhan betapa besar cobaan yang kami terima, sangat besarlah
penyesalan kami karena seolah-olah memberi jalan kematian putriku. Nah agar hal
ini tidak terulang lagi, wahai semua putra dan semua keturunanku, kelak di
kemudian hari janganlah sekali-kali kalian memakan beras mentah”.
Setelah
itu Dalem Tarukan lalu meminta Ki Pasek Sikawan mengubur jenazah putrinya.
Karena letak desa Sukawana di sebelah timur bukit Penulisan, maka agar prabu
layon berada di “hulu” dikuburlah jenazah putrinya dengan kepala di arah barat.
Di saat ini terucaplah bisama beliau agar seketurunan beliau bila meninggal
atau di-aben agar kepala berada di arah barat, sebagai tanda ingat akan peristiwa
menyedihkan ini. Dari Sukawana beliau menuju ke desa:
SIKAWAN
Di
desa ini beliau ditemui oleh Ki Pasek Ban dan Ki Pasek Jatituhu. Beliau sempat
beristirahat selama tiga bulan, selanjutnya menuju desa:
PENEK
Tidak
menetap, hanya memintas saja, lalu terus ke desa:
BAN (EBAN)
Juga
tidak menetap, terus ke desa:
TEMANGKUNG
Tidak
menetap, terus ke desa:
CARUCUT
Perjalanan
menelusuri pantai; tiba di suatu tempat yang indah beliau berhenti sejenak.
Sudah sekian jauh beliau berjalan baru di situlah merasa lega dan firasat
beliau mengatakan bahwa tempat ini aman dari kejaran pasukan Dulang Mangap.
Beliau lalu membicarakan rencana untuk menetap di situ. Semua pengikut beliau:
Dukuh Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek
Penek, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Temangkung, dan Ki Pasek Sukawana setuju.
Di
situlah beliau membuka perkebunan kelapa dan tanaman palawija, dibantu oleh
ratusan rakyat pegunungan yang setia kepada Dalem Tarukan. Lama-kelamaan makin
banyak rakyat dan pemekel dari pulau Bali pesisir utara yang berdatangan
menghaturkan sembah sujud kehadapan beliau dan tetap menjunjung beliau sebagai
Dalem. Dalem Tarukan lalu bersabda: “kamu semua rakyat pegunungan dan pesisir,
aku menerima penghormatan dan kesetiaanmu, tetapi janganlah kamu me-“cokor I
Dewa” kepadaku, karena kini aku bukanlah seorang Dalem lagi”.
Walaupun
demikian, rakyat tetap saja menghormati beliau dengan hatur: cokor I Dewa”
karena tak seorangpun berani merubah kebiasaan sebutan. Terkenallah beliau
sampai ke perbatasan di arah barat: Desa Tejakula, di arah selatan: Desa Poh
Tegeh, di arah Timur Desa Ban, (arah utara: Laut Bali).
Berkat
asung kerta nugraha Ida Sanghyang Parama Kawi, hasil perkebunan beliau
melimpah, sehingga lama kelamaan keluarga dan pengiring beliau kaya raya dan
selalu bersuka ria. Maka tempat itu dinamakan Sukadana.
SUKADANA
Ida
Bhatara Dalem Tarukan sekeluarga beserta para pengiringnya menikmati
kebahagiaan hidup di Sukadana. Namun di suatu saat beliau terkenang akan putri
beliau yaitu Gusti Luh Wanagiri yang meninggal dan dikuburkan di Sukawana. Atas
usul para pengikutnya yaitu Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek
Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki
Pasek Sikawan, Dukuh Bunga, Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan, dilaksanakanlah
pelebon putri beliau secara megah dan besar-besaran.
Lokasi
upacara dipilih di Bukit Mangun; pada saat pembakaran, prabu layon mengarah ke
barat. Pemuput upacara adalah: Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, dan Dukuh Jatituhu.
Abu jenazah dipendem di Bukit Mangun. Selesai upacara pelebon, mereka kembali
pulang ke Sukadana. Beberapa lama kemudian para pengiring beliau menyarankan
agar rombongan kembali ke desa Poh Tegeh, karena desa itu lebih layak dijadikan
tempat menetap.
POH TEGEH
Betapa gembiranya I Gusti Ngurah Poh
Tegeh menyambut kedatangan Ida Bhatara Dalem Tarukan setelah sekian lama
berpisah. Rombongan besar itu dijamu secara meriah. Tiba-tiba timbul keinginan Ida
Bhatara Dalem Tarukan untuk meneruskan perjalanan ke selatan karena seperti ada
firasat bahwa kemungkinan putra beliau yang beribu dedari Lempuyang masih hidup
dan kini berada entah di mana.
Hal
itu disampaikan kepada Kiyai Poh Tegeh. Mula-mula Kiyai mencegah rencana beliau
itu; namun melihat beliau sangat bersemangat, Kiyai mendukung serta memohon
agar Dalem Tarukan sangat berhati-hati di perjalanan. Beberapa hari kemudian
rombongan beliau berangkat menuju desa:
SIDAPARNA
Di
desa ini beliau bertemu dengan beberapa penduduk yang memberikan informasi
bahwa Dalem Ketut yang menggantikan Dalem Wayan, memerintah di Gelgel secara
bijaksana dan semuanya berjalan sangat baik. Dalem Ketut tidak pernah lagi
menanyakan keberadaan Dalem Tarukan. Demikian pula para prajurit Samprangan
yang dahulu mengejar Dalem Tarukan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Dalem
Tarukan meneruskan perjalanan ke:
GUNUNG PENIDA
Di
suatu dataran tinggi Dalem Tarukan berhenti. Tempat itu sangat indah karena
diapit oleh dua buah sungai yang sangat jernih airnya. Dikelilingi oleh hutan
yang penuh dengan aneka satwa, ada tanah datar yang luas, cocok untuk
persawahan. Lama beliau termenung menikmati keindahan pemandangan alami itu.
Beliau berpikir, inilah tempat yang sangat sesuai untuk tempat menetap. Jika
meneruskan perjalanan, belum juga tentu ke mana arahnya; di samping itu anggota
rombongan beliau sudah lelah tinggal berpindah-pindah.
Akhirnya
beliau memutuskan menetap di daerah itu. Di sini beliau membangun
pondok-pondok, membuka sawah-ladang, serta menanam padi, sayur-sayuran,
kacang-kacangan, dan berbagai macam bunga. Tempat itu oleh penduduk dinamakan
Pulasari atau Pulasantun.
Kemudian Ida Bhatara Dalem Tarukan
menekuni Dharma Kepanditaan yang menjadi keinginan beliau sejak berada di
Tarukan. Keinginan ini seperti mendarah daging karena leluhur beliau di
Majapahit adalah Brahmana, abiseka Danghyang Kepakisan. Kegiatan kepanditaan di
Pulasari berkembang pesat karena didukung oleh para Dukuh sekitarnya, misalnya
Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Darmaji, dan lain-lain. Di sela-sela waktu
pemujaan, Ida Bhatara Dalem Tarukan tetap bekerja di kebun atau di sawah
sebagai selingan dan kesenangan.
Hentikan
dulu sejenak, kini diceritakan keadaan putra Ida Bhatara Dalem Tarukan bernama
Dewa Bagus Dharma yang tinggal di Puri Samprangan. Sejak berusia 42 hari beliau
ditinggal ibunda, moksah ke kahyangan. Di saat membutuhkan air susu, datanglah
seekor manjangan putih menyusui beliau dan kemudian menghilang setelah sang
bayi tertidur lelap. Keadaan ini mengherankan seisi Puri, sehingga yakinlah
mereka bahwa sang bayi benar-benar putra seorang bidadari kahyangan. Ada
seorang emban (pembantu) yang sangat setia merawat sang bayi.
Setelah
meningkat usia remaja, Dewa Bagus Dharma bertanya kepada si-emban, siapa ayah
dan ibu beliau. Si-emban dengan berlinang air mata menceritrakan riwayat Ida Bhatara
Dalem Tarukan. Sejenak beliau tercenung lalu berucap bahwa ingin menemui
ayahanda beliau. Si-emban dengan berbisik memberitahu: “pergilah I Dewa ke arah
pegunungan di utara; jika bertemu seorang laki-laki tegap, tampan, tinggi,
berkulit hitam, rambut panjang berombak, tanpa baju, berkain hitam dengan saput
poleng tanpa ujung (seperti kain sarung), itulah ayahanda I Dewa”
Tidak menunggu waktu lagi, Dewa
Bagus Dharma segera mengambil keris, lalu berangkat ke arah utara. Tekad beliau
sudah mantap; kerinduan bertahun-tahun, haus kasih sayang, dan “jengah”
mendorong beliau segera ingin bertemu dan tinggal bersama ayahanda baik dalam
keadaan suka maupun duka. Berhari-hari beliau berjalan sambil memperhatikan
orang-orang yang ditemuinya. Tidak satu pun mirip dengan apa yang diceritakan
si-emban. Beliau tidak bertanya kepada siapa pun, karena perjalanan ini
dirahasiakan.
Suatu
siang yang panas, tibalah Dewa Bagus Dharma di suatu persawahan yang luas.
Hanya ada satu orang di situ sedang asyik membajak sawah. Beliau duduk dan
kaget melihat orang itu sesuai benar dengan ciri-ciri yang dikatakan si-emban.
Hanya saja orang ini petani; ayahanda yang dicari adalah seorang Raja. Tidak
mungkin seorang Raja membajak sawah. Sedang berpikir-pikir demikian, tiba-tiba
sapi si-“petani” panik lalu lari tunggang langgang. Peralatan bajak yang
ditariknya patah tidak karuan karena sapi-sapi itu mengamuk ingin melepaskan
diri.
Si
“petani” heran, kenapa sapinya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pasti ada
sesuatu sebab yang membuat sapinya ketakutan, misalnya harimau. Namun tidak ada
harimau di sekitar itu. Yang ada hanya seorang lelaki remaja dengan sorot mata
polos memandang kegaduhan sapi itu. Si-“petani” yang tiada lain Ida Bhatara
Dalem Tarukan, menjadi marah karena mengetahui penyebab sapinya liar adalah
silaki-laki itu. Beliau mendekati remaja itu lalu menghardik: “eh, apa kerjamu
di sini, mengganggu saya serta mengacaukan sapi-sapi saya”.
Sang
remaja yang disapa dengan keras itu juga marah, sehingga timbul percekcokan.
Kemarahan makin menjadi-jadi akhirnya sama-sama menghunus keris berkelahi
dengan sengit, saling pukul, saling tikam, saling cekik, saling tindih,
berjam-jam lamanya tidak ada yang terluka, sampai kehabisan tenaga, sama-sama
duduk bersebelahan. Dalem Tarukan heran karena remaja ini kebal tubuhnya,
ditikam tidak tergores apalagi luka. Beliau lalu bertanya:”hai anak muda, siapa
sebenarnya anda, dari mana, mau ke mana dan apa kerjamu di tengah hutan ini
seorang diri” Dewa Bagus Dharma lalu menjawab:”saya bernama Dewa Bagus Dharma,
dari Puri Samprangan, tiba di hutan ini hendak mencari ayah saya bernama Ida
Dalem Tarukan, yang menurut informasi tinggal di sekitar daerah ini”.
Mendengar
itu, Ida Bhatara Dalem Tarukan terkejut bagaikan disambar petir. Dipandangnya
wajah pemuda itu; ya Tuhan, Sanghyang Parama Kawi, wajahnya bagaikan pinang
dibelah dua dengan anakku I Sekar. Beliau tak kuasa membendung air mata haru;
dipeluknya pemuda itu seraya mengusap kepalanya: “Anakku Dewa Bagus Dharma, Ida
Sanghyang Parama Kawi maha agung dan maha pemurah, hari ini aku dipertemukan
dengan anak kandungku yang bertahun-tahun aku rindukan; nanak, ini ayahmu yang
kamu cari itu”
Sampai
di situ Ida Bhatara Dalem Tarukan tidak lagi berkata-kata; rongga dada beliau
sudah penuh sesak dengan keharuan tiada tara. Tak berbeda dengan Dewa Bagus
Dharma, tak kuasa beliau mengucapkan kata-kata; hanya perkataan:”aji, aji, aji”
seraya mengeratkan pelukannya sambil bersimbah air mata.
Lama
kedua insan itu saling melepas kerinduan dan kehangatan ayah-anak sambil
menceritrakan riwayat masing-masing. Beberapa saat kemudian datanglah
putra-putra Ida Bhatara Dalem Tarukan yaitu Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede
Pulasari bermaksud menjemput ayahanda beliau pulang ke pedukuhan. Ida Bhatara
Dalem Tarukan dengan gembira mempertemukan ketiga saudara kandung buah hatinya
itu. Mereka lalu pulang ke pedukuhan Pulasari dengan suka cita.
Gemparlah
pedukuhan Pulasari atas kedatangan penghuni baru yang tampan seperti
kembarannya Gusti Gede Sekar, namun usianya sedikit lebih dewasa. Malam hari
pertemuan itu dirayakan dengan meriah, makan, minum, menari dan menyanyi.
Ketujuh bersaudara lelaki, putra-putra Ida Bhatara Dalem Tarukan asyik
berbincang sampai larut malam. Akhirnya kantuk membawa mereka ke alam mimpi
yang indah. Dewa Bagus Dharma sudah sejak awal memutuskan tinggal menetap
bersama-sama ayah, para ibu dan saudara-saudaranya di Pulasari.
Kini dilanjutkan dahulu kisah
tentang Kiyai Parembu. Kiyai dengan gigih mentaati perintah Dalem Wayan mengejar
Dalem Tarukan ke hutan-hutan pegunungan sebelah utara. Disertai putranya
bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin, pasukan Dulang Mangap menyelusup
menyelidiki dan mencari persembunyian Dalem Tarukan, namun tidak pernah
berhasil. Kadangkala ada yang memberikan informasi lokasi persembunyian beliau,
tetapi ternyata informasinya menyesatkan.
Arah
pencarian Kiyai menuju gunung Tulukbiyu, lalu bertemu dengan Jero Dukuh Sekar.
Ketika ditanya, Jero Dukuh berlaku pikun serta memberi jawaban sekenanya.
Dengan perasaan kesal dan putus asa Kiyai meneruskan pencariannya tanpa arah
yang jelas. Tiba di suatu tempat Kiyai duduk di bawah pohon tua yang rindang.
Perasaan Kiyai tidak menentu: kesal, malu, merasa tak berharga karena tidak
dapat menunaikan tugas, walaupun sudah diupayakan dengan sekuat tenaga.
Pasukan
Dulang Mangap terpecah dua; sebagian besar sudah kembali ke Gelgel karena
mendengar Dalem Ketut sudah bertahta di Gelgel. Kini pasukannya bersisa empat
puluh orang. Hanya itulah yang masih setia mengikuti, namun sudah ada
tanda-tanda mereka jemu dan kepayahan. Kiyai merenung dan timbul pikirannya
yang terang. Ditanyaillah dirinya sendiri, apa sebenarnya manfaat tugas yang
diembannya bagi kerajaan. Bukankah perintah Dalem Wayan hanya sebuah perintah
emosional yang menuruti kemarahan sesaat? Di samping itu berita yang didangar,
seolah-olah Dalem Wayan sudah digeser kedudukannya oleh Dalem Ketut. Lalu untuk
siapa kini ia mengabdi? Tetapi jika melalaikan tugas bukankah ia sudah banyak
berhutang budi kepada Dalem Wayan? Kebingungan pikiran Kiyai rupanya diketahui
oleh putra dan para pengikutnya.
Seorang
pembantunya memberanikan diri menyampaikan pendapat sebagai berikut: “ya,
paduka Gusti, hamba mengerti bahwa hati tuan kecewa karena tidak berhasil
mencari Dalem Tarukan. Namun jika tuan berkenan, hamba menghaturkan pendapat
bahwa Ida Sanghyang Widhi Wasa telah melindungi Ida Bhatara Dalem Tarukan
sehingga beliau terhindar dari mara bahaya. Hidup dan mati semuanya ada di
tangan-Nya; jika belum diperkenankan, apapun upaya manusia untuk membunuh
sesama manusia tidak akan terlaksana. Oleh karena itu janganlah paduka
menyesali diri terlampau berkepanjangan. Sebaiknya putuskanlah apa yang akan
kita lakukan sekarang”.
Mendengar
ucapan pembantunya demikian, mantaplah hati Kiyai Parembu; segera ia bangkit
berdiri seraya berkata:”Hai kamu sekalian, memang benar seperti apa yang
dikatakan temanmu ini; tidak ada yang dapat melawan kehendak Ida Sanghyang
Widhi, hanya Beliau yang kuasa mengatur soal hidup atau mati. Perasaan kita
saat ini sama, yaitu rasa malu yang menusuk hati karena tidak dapat
menyelesaikan tugas. Karenanya aku telah memutuskan tidak kembali ke Gelgel.
Kita menetap di sini saja membuka lembaran sejarah baru; siapa yang setuju
boleh mengikuti saya; yang tidak setuju silahkan kembali ke Gelgel” Para
pengikutnya serempak menjawab setuju. Tidak seorangpun berniat kembali ke
Gelgel. Dengan riang gembira mereka bersama-sama membangun pedesaan kecil,
membuka sawah ladang dan hidup sebagai petani. Desa itu dinamakan Bugbug Tegeh.
Adanya
desa baru cepat tersiar ke desa-desa sekitarnya. Kiyai Poh Tegeh lalu mengirim
utusan mengundang Kiyai Parembu. Kiyai Parembu merasa khawatir, karena tahu
bahwa Kiyai Poh Tegeh memihak Dalem Tarukan. Semalam suntuk Kiyai Parembu
berunding dengan putranya, Kiyai Wayahan Kutawaringin apakah akan memenuhi
undangan itu atau menolak. Hingga larut malam belum ada keputusan, sampai
keduanya tertidur kelelahan. Kiyai Wayahan Kutawaringin bermimpi ditemui
seorang bidadari yang cantik jelita, bahkan bercengkrama mesra di sebuah taman
yang indah.
Keesokan
hari mimpi itu diceritrakannya kepada sang ayah. “Wah itu pertanda baik, mari
kita segera berangkat ke Poh Tegeh”. Menjelang sore mereka berdua tiba di Poh
Tegeh, disambut dengan ramah oleh seorang gadis cantik yang kebetulan melintas
di depan pemedal. Bagaikan dipukul palu godam detak jantung Kiyai Wayahan
Waringin memandang kecantikan gadis itu. Bagaimana mungkin, bidadari yang
diimpikan semalam berwujud persis dia.
Sedang
terkesima demikian tiba-tiba tegur sapa Kiyai Poh Tegeh menyadarkan Kiyai
Wayahan Kutawaringin. “Adinda Kiyai Parembu, betapa bahagianya kakanda hari ini
karena dinda bersedia memenuhi undangan” Kiyai Parembu menjawab: ”ya kakanda,
maafkanlah dinda karena baru kali ini dapat berjumpa; dinda merasa seperti
manusia yang tidak berharga dan tak berguna sehingga kelahiran dinda sia-sia
belaka. Dinda tidak dapat mengemban tugas sebagai seorang kesatria sejati.
Seharusnya dinda bunuh diri saja karena tiada tahan menanggung malu”
Wajah Kiyai Parembu sedih memelas;
cepat Kiyai Poh Tegeh menjawab:” dinda, Kiyai Parembu, tidak seorang pun akan
menyalahkan serta merendahkan dinda, karena Ida Bhatara Dalem Tarukan
dilindungi Sanghyang Widhi. Sadarlah dinda, beliau berdua kakak beradik
bertikai karena diadu domba oleh pihak lain. Janganlah dinda turut memihak
dalam pertikaian itu karena tidak direstui Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang
kesatria, ingatlah selalu riwayat leluhur kita yaitu Sri Jayakata dan Sri
Jayawaringin ketika dilarikan ke Tumapel setelah gugurnya Sri Jayakatong.
Bukankah leluhur Ida Bhatara Sri Kresna Kepakisan yang menyelamatkan leluhur
kita? Dan kedatangan leluhur kita ke Bali-pun mengiringi Dalem Sri Kresna
Kepakisan.
Jadi
kita harus tetap berbakti kepada sentanan Dalem Sri Kresna Kepakisan, dalam hal
ini baik Dalem Wayan maupun Dalem Tarukan sama-sama kita hormati. Kini keadaan
berubah; Dalem Ketut sudah memimpin kerajaan. Oleh karena itu untuk apa dinda
masih terus memburu Dalem Tarukan? Keputusan dinda untuk menetap di Bugbug
Tegeh kanda hargai sebagai suatu keputusan yang bijaksana”.
Mendengar
wejangan Kiyai Poh Tegeh seperti itu legalah perasaan Kiyai Parembu. Mereka
lalu bersantap malam dan berbincang-bincang dengan gembira sampai larut malam.
Tiba waktunya tidur, Kiyai Parembu bersama putranya disilahkan menempati
ruangan yang telah disediakan. Sekali lagi Kiyai Wayahan Kutawaringin bertemu
pandang dengan gadis yang sore tadi. Goyah rasanya lutut beliau karena tak
kuasa menahan dentuman api asmara yang melesat dari kerlingan si gadis.
Kiyai
Poh Tegeh segera mengenalkan gadis itu kepada Kiyai Wayahan Kutawaringin seraya
berkata: “nanak Winihayu Luh Toya, ini masih saudara sepupumu bernama Kiyai
Wayahan Kutawaringin. Ini ayahnya bernama Kiyai Parembu” Si gadis mengangguk
manja terus menghilang di balik pintu. Malam itu Kiyai Wayahan tidur gelisah
sampai ayam berkokok menjagakannya. Setelah berpamitan berangkatlah kedua si
ayah dan anak itu pulang ke Bugbug Tegeh. Di perjalanan, Kiyai Wayahan tiada
henti-hentinya berbisik di hati: “dinda Winihayu apakah dinda merasakan apa
yang terpendam di hatiku” Hingga beberapa hari setibanya di Bugbug Tegeh, Kiyai
Wayahan terus saja terkenang pada Winihayu. Hal ini diketahui oleh ayahnya.
Singkat
cerita lama kelamaan diketahui bahwa Winihayu sama-sama jatuh cinta juga kepada
Kiyai Wayahan. Kedua orang tua-tua lalu berunding, akhirnya terjadilah
pernikahan Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya. Dari perkawinan
ini lahir dua orang putra yaitu: Kiyai Panida Waringin, meninggal dunia pada usia
muda, dan Kiyai Tabehan Waringin yang kelak di kemudian hari melanjutkan
keturunan warga Arya Kutawaringin. Pernikahan antara Kiyai Wayahan Kutawaringin
dengan Winihayu Luh Toya menyebabkan Kiyai Wayahan ber-ipar dengan Dalem
Tarukan, karena sama-sama menikahi putri-putri Kiyai Poh Tegeh.
Karena
hubungan kekeluargaan inilah menambah “kemalasan” Kiyai Parembu untuk mengejar
Dalem Tarukan. Patutlah dipuji strategi Kiyai Poh Tegeh yang selalu berupaya
menyelamatkan Dalem Tarukan.
Kembali
diceritakan keadaan beliau, Ida Bhatara Dalem Tarukan di desa Pulasari. Tidak
ada lagi pasukan yang mengejar-ngejar beliau, sehingga kehidupan beliau aman
tentram. Beliau meningkatkan ilmu kepanditaan, sampai akhirnya mampu menjadi
nabe bagi para dukuh yang setia mengikuti beliau yaitu: Dukuh Bunga, Dukuh
Pantunan, Dukuh Jatituhu, Dukuh Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki
Pasek Jatituhu, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek
Sikawan.
Kepada
para putranya beliau memberikan bisama sebagai berikut: “Putra-putraku,
dengarkanlah bisama yang aku berikan kepadamu dan segenap keturunanmu kelak di
kemudian hari: Jika kamu meninggal dunia dan diupacarai ngaben (pelebon),
dibenarkan kalian menggunakan busana sesuai dengan tata-cara sebagai seorang
Raja beserta dengan segala upacaranya, paling kecil menggunakan pemereman
berupa padma terawang, atau bade bertumpang tujuh, menggunakan banusa dengan
galar dari bambu kuning, tumpang salu dari bambu kuning, ma-ulon, ma-jempana,
kajang Pulasari, daun pisang kaikik, bale gumi berundak tujuh, bale silunglung,
damar kurung, serta upacara ngaskara selengkapnya.
Selain
itu janganlah menerima panggilan “cai”, tetapi terimalah panggilan: Jero, Gusti
dan Ratu. Bisama ini aku berikan kepadamu karena kamu adalah keturunanku,
keturunan Dalem”. Pemberian bisama itu
disaksikan oleh para Dukuh dan para Pasek yang disebutkan di atas. Mereka
menyatakan akan selalu mentaati dan menjaga terlaksananya bisama itu. Tiada
berapa lama setelah memberikan bisama, Ida Bhatara Dalem Tarukan sakit selama
tiga bulan lalu meninggal dunia pada hari Kamis Kliwon, wara Ukir, panglong
ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau bila dengan kalender Masehi, pada hari
Kamis, bulan April tahun 1399 M. Jika diperkirakan beliau lahir pada tahun 1352
M (dua tahun setelah ayahanda: Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja
Samprangan) maka Ida Bhatara Dalem Tarukan meninggal dunia pada usia 47 tahun.
Upacara
pelebon Ida Bhatara Dalem Tarukan dilaksanakan di setra Tampuwagan pada hari
Sabtu, Pahing, wuku Warigadean, panglong ping pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal,
tenggek kalih, isaka 1321, atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Sabtu,
bulan Juni tahun 1399 M. Manggala dan pemuput karya upacara pelebon adalah:
Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek
Pemuteran, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan,
Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal.
Tata laksana pelebon sebagai Raja,
yaitu: pemereman bade tumpang pitu, petulangan lembu nandaka ireng ditempatkan
dengan kepala di arah Barat, tirta pemuput dari Besakih, sulut pembakaran
memakai keloping nyuh gading, kayu bakar memakai kayu cendana. Setelah itu abu
tulang dihanyutkan di sungai Congkang. Sebulan kemudian diadakan upacara
meligia di mana abu “sekah” dipendem di cungkup sebuah Pura yang dibangun
sebagai Pedarman Ida Bhatara Dalem Tarukan. Berhubung sudah disucikan sebagai Bhatara
Raja Dewata, maka sejak saat meligia itu beliau amari aran (berganti gelar)
menjadi: Ida Bhatara Dalem Tampuwagan Mutering Jagat.
Selama
berlangsungnya upacara pelebon dan meligia, tiada henti-hentinya seluruh rakyat
pegunungan mulai dari perbatasan barat: Bondalem (Buleleng), perbatasan timur:
Tianyar (Karangasem), perbatasan selatan: Pantunan (Bangli) menghaturkan uang
kepeng bolong dan bahan-bahan “lebeng-matah” sebagai tanda bakti, setia,
hormat, dan duka cita karena ditinggalkan junjungan mereka. Aturan berupa
makanan langsung disantap oleh para putra, para Ibu, keluarga, serta semua yang
hadir. Karena terlalu banyak sampai tidak habis dimakan, dibiarkan membusuk
sehingga menimbulkan bau tidak sedap.
Setelah
semua rangkaian upacara selesai, bau busuk dari sisa-sia makanan, beras, uang
kepeng bolong dan lain-lain makin menjadi-jadi, tidak tahan menciumnya. Para
putra lalu memerintahkan rakyatnya membuang ke sungai, sampai air sungai itu
berubah seperti bubur. Uang kepeng bolong yang dihanyutkan menyangkut menutupi
sumber mata air sungai. Rakyat yang tinggal di hilir terheran-heran melihat air
sungai berubah seperti bubur; banyak yang mengambil nasi, tumpeng, beras itu
untuk diberi makan anjing atau babi.
Di
sungai lainnya rakyat menemukan uang kepeng bolong yang sudah bergumpal-gumpal
berkarat tidak bisa digunakan lagi. Ida Bhatara di sorga loka melihat dengan
sedih kejadian itu. Turunlah kutukan beliau sebagai berikut: “Wahai para
putraku, kalian telah menyia-nyiakan anugerah dewata; maka kini terimalah
kutukanku, mudah-mudahan kalian seketurunan tidak akan menjadi kaya atau
berkecukupan. Bila ada yang bisa kaya, umurnya pendek lalu kematian menjemput
sehingga keturunannya menjadi miskin kembali” Para putra yang mendengar kutukan
itu kebingungan dan menyesali perbuatannya, namun apa hendak dikata karena
itulah kehendak Ida Sanghyang Widhi Wasa. Dengan perasaan tak menentu para
putra kembali ke pedukuhan Pulasari memulai hidup baru.
Aliran
sungai yang berlimpah bubur dan uang kepeng bolong itu menuju ke Kerajaan
Suwecapura. Rakyat gempar berhari-hari, lalu menamakan kedua sungai itu
masing-masing: Tukad Bubuh dan Tukad Jinah. Berita ini sampai ke istana Dalem
Ketut (Dalem Sri Semara Kepakisan). Tahulah beliau bahwa kakak beliau telah
meninggal dunia dan di pelebon di pegunungan. Sedih hati beliau mengenang nasib
Ida Bhatara Raja Dewata yang sebahagian besar hidupnya dihabiskan di
pengungsian. Beliau Dalem Ketut ingin memelihara putra-putra Ida Bhatara Raja
Dewata yang jelas masih kemenakannya sendiri.
Keesokan
harinya dipanggillah Kiyai Kebon Tubuh lalu ditugaskan menjemput para kemenakan
beliau itu ke hutan-hutan di pegunungan untuk diajak ke Gelgel. Disertai
pengikut 50 orang, berangkatlah Kiyai Kebon Tubuh menuju utara. Setelah
menempuh perjalanan berhari-hari, sampailah Kiyai di pedukuhan Pulasari. Kiyai
berdatang sembah kepada para putra: “Mohon ampun, paduka para putra Dalem,
hamba diutus oleh Paman paduka, Sri Aji Semara Kepakisan untuk menjemput paduka
sekalian diajak pulang ke istana Suwecapura”.
Para
putra yang dipimpin oleh putra tertua: Dewa Bagus Dharma ragu-ragu pada
kebenaran maksud baik dari ucapan sang Kiyai. Bertahun-tahun para putra
menghadapi kenyataan bahwa ayahanda beliau dimusuhi oleh saudara sekandung
beserta menteri dan rakyat kerajaan, kini tiba-tiba ada utusan yang bernada
membujuk menjanjikan kebaikan budi. Bukankah ini suatu perangkap untuk
mencelakakan para putra sehingga jika dapat, agar musnahlah keturunan Ida Bhatara
Raja Dewata.
Berpikir
demikian, Dewa Bagus Dharma kemudian menolak permintaan sang Kiyai seraya
menyatakan bahwa beliau beserta adik-adik tidak akan meninggalkan pedukuhan Pulasari.
Kiyai Kebon Tubuh tidak berhasil membujuk para putra, lalu kembali ke istana
Suwecapura. Betapa duka hati Dalem Ketut mendengar laporan Kiyai Kebon Tubuh;
dimintanya Kiayi mengulangi kunjungan ke Pulasari membujuk para putra agar mau
pulang ke Suwecapura.
Walaupun
sampai tiga kali utusan ini pulang balik, para putra tetap tidak mau datang ke
Suwecapura. Ini menimbulkan kemarahan Dalem Ketut, sehingga keluarlah perintah
beliau untuk menangkap para kemenakan beliau dibawa paksa pulang ke Suwecapura.
Kiyai Kebon Tubuh lalu mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dengan
persenjataan lengkap. Tidak kurang dari 2000 prajurit dibawa serta, namun bukan
dari pasukan Dulang Mangap.
Sementara
itu pihak para putra yang dipimpin oleh Dewa Bagus Dharma telah mengetahui
gerakan musuh yang menjalar bagaikan ular besar dari arah selatan. Kakek
beliau, I Gusti Poh Tegeh bersama kerabatnya yaitu I Gusti Ngurah Kubakal
mempersiapkan pertahanan rakyat di desa Pesaban, Tembuku, dan Timuhun. Perang
besar yang tidak seimbang berkecamuk dengan dahsyat, membawa korban banyak di
pihak pasukan I Gusti Poh Tegeh. Dapat dimaklumi karena pasukan ini bukan
prajurit terlatih, hanya bermodalkan semangat dan kesetiaan yang tinggi kepada
ratunya. Mayat-mayat yang jatuh ke sungai hanyut ke hilir akhirnya sampai ke
perbatasan kota Gelgel.
Dalem
Ketut mendengar berita banyaknya korban rakyat biasa dalam peperangan di
pegunungan. Beliau lalu memerintahkan menghentikan peperangan dan menarik
pasukan Kiyai Kebon Tubuh kembali ke Gelgel. Dalem Ketut menulis surat kepada I
Gusti Poh Tegeh dibawa oleh utusan beliau, sekali lagi Kiyai Kebon Tubuh
bersama seorang Bendesa. Surat itu diterima oleh I Gusti Poh Tegeh lalu dibaca
di hadapan I Gusti Ngurah Kubakal, dan I Gusti Ngurah Puajang: “Wahai kamu sekalian
para Pasek di pegunungan, serahkanlah para kemenakanku itu untuk aku asuh di
Gelgel, semata-mata karena belas kasihanku dan kerinduan serta keinginanku
untuk memelihara mereka sebagaimana layaknya para ratu keturunan Dalem;
peperangan hanya akan merugikan kita sendiri karena banyak rakyat yang menjadi
korban”.
I
Gusti Poh Tegeh berkata bahwa beliau masih akan membicarakan hal ini kepada
para putra, dan sementara agar Kiyai Kebon Tubuh pulang lebih dahulu ke Gelgel;
mungkin beberapa hari lagi beliau akan menyusul mengantarkan para putra ke
Gelgel. Gusti Poh Tegeh ingin memenuhi perintah Dalem Ketut karena berpendapat
bahwa maksud Dalem Ketut sungguh-sungguh baik, namun perlu beberapa hari untuk
meyakinkan pendapatnya kepada para putra, terutama Dewa Bagus Dharma sebagai
putra tertua.
Sepulangnya
Kiyai Kebon Tubuh, Gusti Poh Tegeh memanggil para putra Ida Bhatara Dalem
Tampuwagan (d.h. Ida Bhatara Dalem Tarukan) seraya menyampaikan isi surat Dalem
Ketut. Para putra belum sanggup memberi persetujuan hari itu karena masih
merasa khawatir akan masa depan mereka di Gelgel sementara mereka sudah betah
dan berbahagia tinggal di pegunungan. Gusti Poh Tegeh mempersilahkan para putra
untuk berpikir beberapa hari agar mendapat pertimbangan yang matang sebelum mengambil
keputusan.
Namun
tiba-tiba tanpa diduga sama sekali datanglah gelombang serangan yang dahsyat
dari para Manca Badung dipimpin oleh I Gusti Gede Kaler disertai Arya Kenceng,
Ngurah Mambal, Ngurah Menguwi, dan I Gusti Ngurah Telabah. Gerakan ini sangat
mengejutkan dan mengherankan para tokoh pegunungan seperti Gusti Poh Tegeh
serta para kerabatnya. Beliau cepat berpikir bahwa gerakan ini bukan perintah
Dalem Ketut, melainkan gerakan para arya yang merasa khawatir bila para putra
Dalem Tampuwagan kembali ke Gelgel pasti akan diberi kedudukan sebagai Manca
yang akan berakibat kedudukan mereka tergeser.
Jadi
tujuan serangan kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti
Poh Tegeh bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang mempertahankan
dan melindungi para putra. Perang berkecamuk seru berhari-hari, namun segera
terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan bertahan yang dipimpin I Gusti
Agung Bekung bersama Dewa Bagus Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat
prajurit sekitar 5000 orang.
Pada
suatu pagi hari di saat hujan rintik-rintik dan matahari baru bersinar
terang-terang tanah gugurlah Dewa Bagus Dharma, putra tercinta Ida Bhatara
Dalem Tampuwagan. Para Kakek, adik-adik beliau serta seluruh rakyat pegunungan
berduka cita sedalam-dalamnya. Beliau sebenarnya mempunyai ilmu kekebalan tubuh
pembawaan sejak lahir, namun di saat fajar kekebalan itu sirna sementara;
rupanya kelemahan ini diketahui musuh. Beliau direbut berpuluh-puluh prajurit I
Gusti Gede Kaler di saat fajar. Tempat gugurnya diberi nama Siang Kangin. Di
situ pula layon beliau diupacarakan dan distanakan pada pelinggih yang
dibangun, selanjutnya dinamakan Pura Siang Kangin.
Sejak
gugurnya Ida Bhatara Siang Kangin, rakyat pegunungan menderita kekalahan
terus-menerus dalam peperangan. Untuk mencegah korban yang lebih banyak maka
para pemimpin rakyat pegunungan berunding lalu mengambil keputusan untuk
menyelamatkan para putra Ida Bhatara Dalem Tampuwagan.
Cara
menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut: Gusti Gede Sekar dan Gusti
Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh Puwaji beserta empat orang
saudaranya ke Puri Gelgel meminta perlindungan Dalem Ketut. Gusti Gede Bandem
pergi ke Desa Keling (Karangasem). Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan,
menetap di suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu. Gusti Gede Balangan
menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung Pasek
Gelgel. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke Gelgel,
lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12 orang,
menuju Desa Sudaji. Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah menuju tempatnya
masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus berpisah dan
meninggalkan kampung halaman, namun pasrah menyerahkan nasibnya kepada Ida
Sanghyang Widhi Wasa.
Setibanya
Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel, langsung menghadap
Dalem Ketut Sri Semara Kepakisan. Betapa gembiranya Dalem Ketut menerima
kemenakan-kemenakan beliau, namun terasa agak kecewa karena tidak semua
kemenakannya mau hadir. Tetapi akhirnya beliau maklum setelah mendapat
penjelasan dari Gusti Agung Pasek Gelgel bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah
dipertimbangkan dengan baik. Dalem Ketut kemudian memberikan penugrahan kepada
para kemenakannya sebagai berikut:
“Kemenakanku
semua, janganlah kalian menyamai (memadai) kedudukanku, karena kalian keturunan
Kesatria yang telah diturunkan wangsanya dan kini menjadi Wesia Dalem.
Sebab-sebab diturunkan wangsamu karena peristiwa di Puri Tarukan yang
melibatkan kakakku Ida Bhatara Dalem Tampuwagan. Di kemudian hari bila kalian
dan keturunanmu melaksanakan upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata-cara
seorang Raja karena kalian masih menjadi satu keturunan denganku. Cuntaka hanya
tiga malam sebagaimana halnya wangsa Brahmana, Kesatria (para Ratu). Setelah
cuntaka habis segeralah mebersih di mata air selanjutnya ngayab banten
pebersihan; setelah itu barulah kembali kesucianmu. Jika kalian berani menyamai
kedudukanku, akan kukutuk kalian tiga kali. Hal lain yang harus kalian ingat,
janganlah melupakan Pura-pura kahyangan jagat di seluruh Bali, serta janganlah
mensia-siakan para Pendeta/Sulinggih dan orang-orang suci agar jagat Bali
selalu trepti. Janganlah kalian melakukan hubungan suami istri di luar
pernikahan karena perbuatan itu akan membawa kehancuran sehingga orang-orang
Bali tidak lagi bersatu. Peringatan-peringatanku ini berlaku seterusnya sampai
ke anak cucu keturunanmu selanjutnya. Bila ada yang melanggar mudah-mudahan
menemui bencana dalam hidupnya”.
Setelah
berlalu beberapa masa, datanglah seorang keturunan Ida Bhatara Hyang Genijaya
dari Majapahit bernama Sangkul Putih bersama istri dan para putranya. Beliau
mendarat di Padang lalu langsung ke Puri Gelgel menghadap Dalem Ketut. Bertepatan
saat itu Ida Dalem Ketut sedang memberikan penugrahan kepada para putra Ida Bhatara
Dalem Tampuwagan yang kali ini hadir secara lengkap yaitu: Gusti Gede Sekar,
Gusti Gede Pulasari, Gusti Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti Gede Balangan,
dan Gusti Gede Dangin, sehingga Sangkul Putih turut mendengarkan wejangan
beliau sebagai berikut: “Wahai para kemenakanku semua, kini lanjutkan
penugrahan yang telah kuberikan beberapa waktu yang lalu sebagai berikut: Jika
kalian memahami tentang kemoksan seharusnya kalian menjadi seorang Sulinggih
karena kalian adalah seketurunan denganku yaitu keturunan Brahmana.
Oleh
karena itu pula kalian harus selalu berbakti di Kahyangan Brahmana di Tolangkir
(Besakih) jangan melewatkan upacara-upacara di sana sekalipun. Jika kalian
melupakan, kukutuk kalian menjadi orang Sudra dan kalian tidak lagi menjadi
seketurunan denganku. Demikian juga kalian harus berbakti di Kahyangan Ida Bhatara
Hyang Genijaya yang ada di Lempuyang dan di Tolangkir sesuai sabda Ida Bhatara
Brahma. Jika kalian melalaikan peringatanku ini mudah-mudahan hidupmu susah
senantiasa kekurangan, kesasar tidak menemukan arah hidup. Kalian adalah
keturunan Brahmana, maka bila meninggal dunia, layon harus dibungkus oleh daun
muda pisang gedang Kaikik sebab ketika leluhur kita lahir beliau dialasi oleh
daun muda pisang gedang Kaikik. Jika tidak demikian kalian dan keturunan kalian
bukan warih Dalem.
Selanjutnya
beliau Dalem Ketut bersabda: “Apa yang aku anugrahkan kepadamu tadi dan
selanjutnya ini adalah wahyu dari Ida Bhatara Hyang Genijaya yang berstana di
Lempuyang. Kalian para kemenakanku, janganlah lupa memuja dan memohon anugrah
kepada Ida Bhatara di Penataran Agung, Tolangkir, juga kepada I Ratu Pande, I
Ratu Gede Penyarikan, serta nuntun para arwah leluhurmu untuk distanakan di
tempat keturunanmu. Taatlah melaksanakan kedharmaan, jangan menentang
peraturan-peraturan. Diantara keturunan-keturunanmu janganlah satu sama lain
tiada mengakui bersaudara, paling tidak mengaku memisan atau memindon. Di mana
pun kamu berada tetaplah mengaku bersaudara; jika lupa atau tidak mengakui
saudara, mudah-mudahan kamu kehilangan “soda” yaitu selalu kekurangan makanan
dan minuman”.
Beberapa
waktu kemudian, Ida Dalem Ketut kembali mengumpulkan para kemenakan beliau
(putra-putra Ida Bhatara Dalem Tampuwagan) lalu meneruskan penugrahan yang
diterima dari para putra-putri Sanghyang Pasupati yaitu Ida Bhatara Mahadewa
yang berstana di Tolangkir dan adik beliau Ida Bethari Dewi Danu yang berstana
di Danau Batur sebagai berikut: “Apabila diantara kalian atau keturunanmu di
kemudian hari ada yang mampu Madwijati, diperkenankan pada upacara pelebon
menggunakan padma trawang, pisang gedang kaikik, gamet (kapas), kesumba, serta
bertingkat 5 (nista), 7 dan 9 (madia), dan 11 (utama).
Itu
adalah demi kesejahteraanmu. Jika mayat kalian dibakar, cuntake hanya 3 (tiga)
malam; jika ditanam 7 (tujuh) malam; Jika mayat kalian dibakar, harus dilakukan
upacara ngeleb awu ke segara/sungai disertai upacara ngirim; jika dilalaikan,
mudah-mudahan kamu menjadi manusia yang derajatnya paling rendah karena tidak
membela kewangsaan serta tidak mengenal kawitan”.
Selanjutnya
Dalem Ketut bersabda: “Kalian kemenakanku, walaupun kalian telah disurud
wangsakan, namun kalian masih aku anugerahi hak-hak sebagai berikut: seketurunan
kalian tidak kena kewajiban-kewajiban/pungutan (pajak), tidak kena pejah
pajungan (hukuman mati), tidak kena cecangkriman (pembuangan), tidak kena
ambungan (hukuman cambuk), tidak kena sasarandana (pungutan adat), tidak kena
pepanjingan (larangan masuk ke suatu wilayah), tidak kena pecatuan (yuran di
Pura), tidak kena perintah. Para penguasa di daerah yaitu Manca dan Punggawa
diberitahu semua penugrahan Ida Bhatara Dalem Ketut tersebut untuk ditaati dan
diindahkan, ditambah lagi penekanan agar mereka senantiasa menghormati para
kemenakan beliau seketurunan. Apabila ada yang berani menentang atau tidak
melaksanakan, mudah-mudahan hilang kesaktiannya dan luntur kewibawaannya.
Beberapa
waktu kemudian Ida Dalem Ketut memberikan tambahan wejangan setelah mendapat
wahyu dari Ida Bhatara Brahma: “Jika kalian dan keturunanmu meninggal, kalian
harus memohon melalui Sangkulputih tirta Yeh-Tunggang dari Gunung Agung sebagai
tirta pengentas. Oleh karena itu kawitan serta semua arwah leluhurmu berstana
di Gunung Agung (Tolangkir) sehingga kamu wajib berbakti kepada kawitan dan
arwah leluhurmu di Pedarmaan Besakih.
Bila
ada keturunanmu yang sudah mebersih wenang naik-turun di pelinggih-pelinggih di
Tolangkir dalam upacara yadnya. Bila ada keturunanmu yang mampu Madwijati/Madiksa,
wenang mengajarkan ilmu, sastra dan kedharmaan kepada saudara-saudaranya
sehingga menjadi orang-orang yang terhormat serta diikuti petunjuk-petunjuknya
oleh orang lain. Jika semuanya kalian taati dan laksanakan dengan kokoh dan
tekun, mudah-mudahan kalian dapat mencapai moksah.
Selain
memberikan penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ida Dalem Ketut juga
memberikan “Mantri sesana” yaitu tata susila sebagai pejabat yang bertugas dan
berkedudukan sebagai berikut: I Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan
diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda beliau Ni Gusti Luh Puaji. I
Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai Dukuh menguasai pedukuhan
Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan, Karang-suwung, dan Manikaji. I Gusti
Gede Bandem di beri kedudukan sebagai Manca di Nagasari, meliputi: Tihingan,
Kayuputih, Uma-anyar, dan Bangkang. I Gusti Gede Belayu diangkat sebagai Manca
di Ogang, meliputi: Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan Gunung, Pakel dan
Sangkungan. I Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana Gelgel. I Gusti Gede
Dangin kembali ke Sudaji.
Kecuali I Gusti Gede Dangin, semua
putra Ida Bhatara Dalem Tampuwagan diberikan pamancanggah yang memuat
penugrahan tersebut di atas ditambah dengan gambar rerajahan rurub kajang dan
rerajahan daun pisang Kaikik selengkapnya. Pamancanggah itu disahkan dan
diumumkan oleh Ida Dalem Ketut pada Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong
ping 13 (telulas) sasih Kapat, Isaka 1339 (1417 M). Pamancanggah itu
diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya. Sesampainya di tempat kedudukan
masing-masing, para putra Ida Bhatara Dalem Tampuwagan menempatkannya di
pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan beliau-beliau. Bila ada yang
mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati pamancanggah itu mudah-mudahan dikutuk
oleh Ida Bhatara Kawitan.
Silsilah Ida Bhatara Dalem Tarukan.
Sanghyang Pasupati berputra:
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh
Bhatara Hyang Gnijaya berputra Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)
Mpu Withadharma berputra:
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
Mpu Bhajrasattwa berputra: Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)
Mpu Tanuhun berputra:
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
Mpu Bharadah berputra:
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula
Mpu Bahula berputra:
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali
Mpu Tantular berputra:
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan
Danghyang Kepakisan berputra: Sri Soma Kepakisan
Sri Soma Kepakisan berputra:
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
Sri Kresna Kepakisan berputra:
1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung
Mpu
Tanuhun (Mpu Lampita) berputra lima, yaitu Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana,
Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah. Kelimanya disebut Panca Tirta. Mpu Gnijaya
menurunkan Sapta Rsi yaitu: Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu
Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, dan Mpu Dangka.
Beliau
bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta
Rsi. Saudara bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan (PGSDT) atau dikenal sebagai warga
Pulasari.
Adanya
tali kekeluargaan seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di pegunungan
di saat beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ida Bhatara Dalem Tarukan di
pengungsian sebagaimana telah diuraikan di muka. Patutlah warga Pulasari
berhutang budi kepada warga Pasek. Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari ida
pembangunan Pura Pusat Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek.
Di
Gelgel, semasa pemerintahan Ida Bhatara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula
Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ida Bhatara Dalem Sri
Kresna Kepakisan, Ida Bhatara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan
keturunan Ida Bhatara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande). Lama-kelamaan,
disungsung pula oleh seluruh rakyat Bali, mengingat di Pura Dasar Bhuwana
distanakan Raja (Dalem) pertama di Bali.
“Kepakisan”
asal katanya “Pakis” berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana
yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan
kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri
Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa).
Gelar “Paku” di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku
Buwono I pada tahun 1706 M.
Di
Bali gelar “Pasek” yang berasal dari perkataan “Pacek”(= paku) pertama kali
digunakan oleh Arya Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk kelompok
Sapta Rsi. Ada juga warga Pasek yang di luar kelompok Sapta Rsi, yaitu
keturunan dari Mpu Sumeru yang berputra Mpu Kamareka, selanjutnya menurunkan
warga Pasek Kayu Selem, Pasek Celagi, Pasek Tarunyan, dan Pasek Kayuan.
Beliau-beliau juga sangat besar jasanya menyelamatkan Ida Bhatara Dalem
Tarukan.
Kesimpulannya
bahwa gelar: Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan berderajat sama yaitu sebagai
fungsi kekuasaan atau pemimpin di suatu wilayah tertentu atau pemimpin suatu
penugasan/jabatan tertentu yang didalegasikan oleh Dalem (Kaisar = Maha
Raja, atau Raja).
Kaketus saking: Group Yowana Sentana Dalem
Tarukan ring FB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma