Aksara, Basa, lan Sastra Bali

"Om Swastyastu, swasti prapta aturang titiang majeng ring para sameton blogger sami, durusang macecingak ring blog titiang, pinaka anggen jalaran masadu wirasa, mogi-mogi wenten pikenohnyane"

Senin, 29 Oktober 2012

Sejarah dan Perkembangan Bahasa Bali



I Wayan Jatiyasa, S.Pd
Bahasa Bali adalah salah satu bahasa daerah di negara Indonesia yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya, yaitu etnis Bali. Bahasa Bali sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar masyarakat Bali, dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai aktivitas di dalam rumah tangga dan di luar rumah tangga  yang  mencakupi berbagai aktivitas kehidupan sosial masyarakat Bali. Oleh karena itu, bahasa Bali merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap hidup dan berkembang di Bali. Dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Bali didukung oleh lebih kurang setengah juta jiwa dan memiliki tradisi tulis sehingga bahasa Bali termasuk bahasa daerah besar di antara beberapa bahasa daerah di Indonesia.
Keberadaan bahasa Bali memiliki variasi yang cukup rumit karena adanya sor-singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan hal-hal yang dibicarakan. Secara umum, variasi bahasa Bali dapat dibedakan atas variasi temporal, regional, dan sosial. Dimensi temporal bahasa bali memberikan indikasi kesejarahan dan perkembangan bahasanya meski dalam arti yang sangat terbatas. Secara temporal bahasa Bali dibedakan atas bahasa bali Kuno yang sering disebut deengan bahasa Bali Mula atau Bali Aga, bahasa Bali Tengahan atau Kawi Bali, dan bahasa Bali Kepara yang sering disebut Bali Baru atau bahasa Bali Modern.

Secara regional, bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu dialek Bali Aga (dialek pegunungan) dan dialek Bali Dataran (dialek umum, lumrah) yang masing-masing memiliki ciri subdialek tersendiri. Berdasarkan dimensi sosial, bahasa Bali mengenai adanya sistem sor-singgih atau tingkat tutur bahasa Bali yang erat kaitannya dengan sejarah perkembangan masyarakat Bali yang mengenal sistem wangsa (warna), yang dibedakan atas golongan triwangsa (Brahmana, Ksatriya, Wesia) dan golongan Jaba atau Sudra (orang kebanyakan). Berdasarkan strata sosial ini, bahasa Bali menyajikan sejarah tersendiri tentang tingkat tutur kata dalam lapisan masyarakat tradisional di Bali. Di sisi lain, dalam perkembangan masyarakat bali pada zaman modern ini terbentuklah elite baru yang termasuk kelas kata yang tidak lagi terlalu memperhitungkan kasta. Elite baru (golongan pejabat, orang kaya) selalu disegani dan dihormati oleh golongan bawah dan ini tercermin pula dalam pemakaian bahasanya.
Dari sisi kesejarahan bahasa Bali yang telah disinggung dalam dimensi temporal di atas, bahasa Bali Kuno merupakan bahasa Bali yang tertua di Bali yang banyak ditemukan pemakaiannya dalam Prasasti 804 Śaka (882 Masehi) sampai dengan pemerintahan  Raja Anak Wungsu tahun 904 Śaka (1072 Masehi).
Pengaruh kebudayaan Jawa (Hindu) tampak bertambah kuat pada pemerintahan Anak Wungsu. Pengaruh itu tampak juga pada bahasa. Prasasti yang bertuliskan bahasa Bali Kuno kemudian disalin dalam bahasa Jawa Kuno sehingga pemakaian bahasa Jawa Kuno menjadi suatu kebiasaan di Bali. Kondisi seperti itu menyebabkan bahasa Bali Kuno (khususnya ragam tulis) nyaris tidak terpakai lagi dan diganti dengan bahasa Jawa Kuno. Akan tetapi, pemakaian bahasa Bali Kuno ragam lisan tetap hidup dan berkembang yang selanjutnya merupakan cikal bakal bahasa Bali Modern.
Perkembangan bahasa Jawa Kuno yang hidup banyak mendapat pengaruh bahasa sanskerta. Di sisi lain, sampai abad ke-11, di jawa berkembang suatu ragam  bahasa Jawa Kuno dari bahasa umum yang dipakai dalam metrum asli Indonesia (Jawa) yang disebut dengan kidung. Dalam perkembangannya, di Jawa bahasa ini disebut bahasa Jawa Tengahan (pada umumnya dipakai  dalam ragam sastra), yang kemudian bermuara dan berkembang di Bali berdampingan dengan bahasa sehari-hari. Di Bali, bahasa Jawa Tengahan ini disebut dengan bahasa Bali Tengahan.
Dari sudut kesejarahan, penamaan bahasa Bali Tengahan ini sama sekali mengetengahi perkembangan bahasa Bali Kuno ke bahasa Bali Modern. Bahasa Bali Tengahan (Kawi Bali) merupakan pencampuran leksikal kata-kata bahasa Jawa (Tengahan) dengan bahasa Bali pada masa itu. pengaruh ini datang dari Kerajaan Majapahit ketika Patih Gajah Mada menguasai Pulau Bali. Bahasa Jawa Tengahan dan Jawa Baru yang mengenal adanya sistem unda-usuk mempengaruhi bahasa Bali (Tengahan dan Baru) sehingga bahasa Bali juga menegenal adanya sistem sor-singgih atau tingkatan-tingkatan bahasa khusus bahasa Bali Dataran. Di Bali, bahasa Bali Tengahan hidup dengan subur dan digunakan oleh para pengarang dalam berkarya seni sastra. Terbukti banyaknya karya sastra yang lahir pada masa itu, seperti kidung, tatwa, kalpa sastra, kanda, dan babad. Dalam seni pertunjukan, bahasa Bali Tengahan digunakan dalam seni pertunjukan topeng, arja, prembon, wayang, dan sejenisnya.
Bahasa Bali Kepara (Modern, Baru) merupakan bahasa Bali yang masih hidup dan terpakai dalam konteks komunikasi lisan dan tulis bagi masyarakat Bali sampai sekarang. Istilah kepara dalam bahasa Bali berarti ketah, lumrah, biasa yang dalam bahasa Indonesia bermakna 'umum'. Bahasa Bali Kepara (Modern) mengenal dua jenis ejaa, yaitu ejaan dengan huruf Bali dan huruf latin. Penamaan bahasa Modern ini karena bahasa Bali Kepara itu tetap berkembang pada zaman modern seperti sekarang ini. Kehidupan dan perkembangan bahasa Bali Modern yang juga merupakan sarana dan wahana kehidupan kebudayaan, agama, dan adat istiadat masyarakat etnis Bali yang berkelanjutan dari zaman ke zaman kerajaan, penjajahan, sampai zaman kemerdekaan termasuk setelah kemerdekaan.
Bahasa Bali Modern juga mengenal sistem sor-singgih (terutama bahasa Bali Dataran) karena mendapat pengaruh dari Jawa. Pada zaman kerajaan, raja-raja Bali sering ke Jawa, hubungan Jawa-Bali sangat rapat sehingga kebudayaan Jawa (Hindu) sangat besar pengaruhnya terhadap kebudayaan Bali (Hindu). Pada zaman kerajaan, sistem pemakaian sor-singgih bahasa Bali sangatlah tertib ditanamkan pada pada pelapisan masyarakat Bali. Kelompok atas dalam pelapisan masyarakat tradisional di Bali yang disebut dengan triwangsa jika berkomunikasi kepada kelompok bawah (sudra, orang kebanyakan) diperkenankan memakai bahasa Bali ragam rendah sebaliknya, kelompok bawah (sudra) jika berkomunikasi kepada kelompok atas (triwangsa) menggunakan bahasa Bali ragam tinggi (halus).
Pada zaman penjajahan, terutama yang kelihatan pengaruhnya terhadap perkembangan bahasa bali yaitu pada masa penjajahan Belanda, banyak sekolah didirikan sebegai sarana pendidikan formal. Belanda dapat menaklukkan kerajaan-kerajaan di Bali sejak tahun 1846 Masehi hingga tahun 1942. Pada awal abad ke-19, sebelum penjajahan Jepang, sekolah-sekolah mulai bermunculan yang didirikan oleh pemerintah VOC Bertujuan agar rakyat dapat menulis, membaca, dan berhitung. Mulai saat itulah bahasa Bali Kepara (Modern) selain dikembangkan di luar pendidikan formal, juga dikembangkan dalam pendidikan formal melalui proses belajar mengajar. Sebaliknya, pada zaman penjajahan Jepang, mulai tahun 1942, sejarah bahasa Bali Kepara (Modern) mengalami masa suram karena, di samping tidak ada pelajaran bahasa Bali di sekolah, juga banyaknya buku berbahasa Bali  (Modern) yang dibakar.
Kejatuhan Jepang ditangan Sekutu dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri. Sementara itu, Sekutu ingin menjajah lahi sehingga terjadilah revolusi fisik. Revolusi tersebut juga terjadi di Bali yang menyebabkan banyak tenaga guru di Bali masuk ke hutan bergerilya. Keadaan tersebut membuat pembinaan bahasa bali Kepara semkain tidak diperhatikan. Hal itu berlangsung sampai tahun 1950-an. Baru pada tahun 1968 bahasa Bali dimasukkan dalam kurikulum dan terus dibina. Pendidikan semakin maju, selain penguasaan bahasa Bali sebagai bahasa ibu sebagian besar masyarakat Bali, penguasaan bahasa Indonesia juga semakin mantap sehingga menyebabkan terbentuknya tatanan masyarakat yang berdwibahasa.
Berdasarkan uraian di atas, bahasa Bali sepanjang perjalanannya mengalami perkembangan dan pengembangan. Perkembangan, maksudnya perluasan atau pertumbuhan secara alami tanpa perencanaan. Pengembangan, maksudnya pertumbuhan bahasa Bali dengan cara sengaja berdasarkan perencanaan. Bahasa Bali yang digunakan sekarang ini merupakan hasil pembaharuan atas perkembangan dan pengembangan sejak dulu.


Kaketus saking: Tim Penyusun. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. 1996. Denpasar:
Pemerintah Propinsi Dati I Bali. 

1 komentar:

Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma