Aksara, Basa, lan Sastra Bali

"Om Swastyastu, swasti prapta aturang titiang majeng ring para sameton blogger sami, durusang macecingak ring blog titiang, pinaka anggen jalaran masadu wirasa, mogi-mogi wenten pikenohnyane"

Sabtu, 23 Februari 2013

TEORI STRUKTURAL

Berbicara tentang sastra, tentu akan terkait dengan analisis sastra atau kajian sastra. Akan tetapi, untuk melangkah ke dalam sebuah analisis perlu dituntun oleh teori-teori sebagai landasan berpikir serta untuk memperjelas konsep terhadap sebuah karya sastra. Teori-Teori yang sering digunakan dalam analisis sastra, misalnya; teori struktural, semiotik, estetika, stilistika, intertekstual, wacana sastra, hermeneutika, dan lain-lainnya.

Nah, di bawah ini dapat dipahami uraikan terkait dengan teori struktural. Selamat membaca!

Di bidang ilmu sastra, penelitian struktural dirintis jalannya oleh kelompok peneliti Rusia, antara tahun 1915 sampai tahun 1930. Mereka biasanya disebut kaum Formalis. Konsep dasar kaum Formalis antara lain keinginannya membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sejarah atau penelitian kebudayaan. Tujuannya adalah kaum Formalis mencari ciri khas yang membedakan sastra dengan ungkapan bahasa yang lain dan sarana-sarana yang secara distinktif dimanfaatkan oleh penyair. Ciri khas sastra itu disebutnya literariness, yakni ciri-ciri yang membuatnya menjadi sebuah ciptaan sastra. Bahan puisi bukanlah imaji atau emosi, melainkan kata-kata. Puisi adalah tindak bahasa atau kata. Puisi adalah pemakaian bahasa yang terarah ke tanda-tanda, bukan ke kenyataan (Teeuw, 1988:128─130). Dalam karya sastra, bahasa tidak diarahkan kepada apa yang ditunjuk dalam dunia eksternal (fungsi praktis), melainkan kepada tanda itu sendiri (fungsi poetik) (Abdullah, 1991:6). 

 Kaum Formalis memandang karya sastra sebagai sistem sarana. Karya sastra dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra dianggap sebagai tanda yang otonom, yang hubungannya dengan kenyataan bersifat tidak langsung. Sehubungan dengan itu, peneliti pertama-tama bertugas meneliti struktur karya sastra yang kompleks dan multidimensional berdasarkan pemahaman bahwa karya sastra dibangun dalam struktur yang utuh dan lengkap, yang keutuhan dan kelengkapannya didukung dan dibina oleh dirinya sendiri. Segenap unsurnya, masing-masing memiliki koherensi intrinsik, satu unsur dengan unsur yang lain saling berkaitan, saling mendukung, saling menyusun dengan tata aturannya sendiri. Hal ini berarti bahwa analisis struktural terhadap suatu karya sastra dilakukan dengan memusatkan amatannya hanya pada karyanya, mengungkapkan unsur-unsur pembangun strukturnya dengan menelitinya secara cermat dan mengamati bentuk pertalian antarunsur yang membangun-nya menjadi satu struktur yang utuh, bulat, dan menyeluruh (Teeuw, 1988:130; Chamamah, 1991:15─16). 

 Kaum Formalis tidak membatasi diri pada studi puisi, tetapi juga roman dan cerita pendek, seperti dilakukan Shklovsky (Teeuw, 1988:131). Dalam rangka penelitian struktur naratif, kaum Formalis mengembangkan oposisi antara fabula (story) dan siuzet (plot) sebagai sarana penting dalam penelitian. Konsep fabula (story) dan siuzet (plot) dikemukakan untuk membedakan bahan mentah sastra dan penyusunan kembali bahan-bahan mentah itu secara estetik di dalam fiksi naratif. Dasar pembedaan kedua istilah tersebut berawal dari satu perbedaan perlakuan mengenai penyebab dan akibat. Di dalam fabula (story), kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa dihubungkan secara bersama-sama menurut penyebab dan akibatnya. Di dalam siuzet (plot), peristiwa-peristiwa disusun ulang melalui penghancuran keteraturan kronologis dan hubungan kausal (Makaryk, 1993:632). Karena itu, dalam karya sastra seringkali dimanfaatkan sarana-sarana untuk menjadikan jalan cerita yang wajar itu menjadi aneh atau asing (defamiliarisasi). Sarana itu mengasingkan karya. Hal itu terjadi, baik dalam karya puisi maupun prosa (Teeuw, 1988:131). 

 Persoalan mendasar adalah bagaimana mengintegrasikan penilaian dalam pendekatan struktural yang menganggap teks sebagai satu koherensi, kebulatan makna, dan keseluruhan struktur ke dalam satu pendekatan historis yang sinkronik dan diakronik sehubungan dengan sastra sebagai sistem tanda dan menempatkan karya sastra pada pusat tanpa melepaskannya dari latar belakang sosial budaya. Karena itu, dalam penelitian ini, gagasan dasar teori struktural di atas tidak diabaikan sepenuhnya, tetapi dikembangkan lebih luas. Kecendrungan suatu teks ke arah sebuah tanda yang otonom dikurangi. Dari sudut pandang struktural, penelitian ini mengikuti pandangan Strukturalisme Praha, yakni memandang karya sastra sebagai suatu proses komunikasi, sebagai suatu dialog terus-menerus antara pengarang dan pembaca. Tanda tekstual mempertahankan kemerdekaan-nya dengan perhatian pada proses komunikasi. Meskipun posisinya dalam proses komunikasi adalah sentral dan merdeka, teks kehilangan karakter absolutnya, yakni konstruksi formal yang ditetapkan selamanya (Segers, 1978:35—36). Proses komunikasi antara pengarang dan pembaca dapat dipahami melalui pemahaman karya sastra sebagai artefak dan objek estetik. Artefak merupakan dasar material objek estetik. Objek estetik merupakan representasi artefak dalam pikiran pembaca atau dalam apa yang disebut kesadaran kolektif, yang dalam suatu ruang kesadaran sekelompok manusia dapat disistematisasikan. Dengan demikian, karya sastra sebagai artefak memiliki nilai potensial. Pembentukan objek estetik yang berdasarkan artefak terjadi melalui peran serta aktif penerima. Pembentukan objek estetik oleh pembaca disebut konkretisasi (Ingarden dalam Segers, 1978:36—37). 

 Proses komunikasi pengarang dan pembaca dibina dan ditentukan oleh kode. Kode yang dipilih pengarang dan diketahui atau sebagian diketahui pembaca memungkinkan pembaca untuk mengkode kembali tanda-tanda tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks (Segers, 1978:24). Karya sastra merupakan aktualisasi seperangkat konvensi. Kepentingan konvensi bagi sebuah karya sastra adalah untuk dapat dikenali oleh pembaca. Gejala ini dimanfaatkan oleh pengarang. Pemilihan konvensi sastra tertentu merupakan pengarahan oleh pengarang kepada pembaca. Penggunaan konvensi yang berkenaan dengan pembaca diharapkan dapat ditangkap makna teks seperti yang dimaksud. Akan tetapi, diingat pula bahwa horison harapan pengarang tidak selalu sama dengan horison harapan pembaca. Walaupun demikian, pemenuhan dan pemberontakan terhadap konvensi merupakan bagian dari proses komunikasi antara pengarang dengan pembaca (Chamamah, 1991:17). Yang penting di sini adalah kode yang dibuat pengarang dapat dipahami penikmat (Abdullah, 1991:12).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma