Aksara, Basa, lan Sastra Bali

"Om Swastyastu, swasti prapta aturang titiang majeng ring para sameton blogger sami, durusang macecingak ring blog titiang, pinaka anggen jalaran masadu wirasa, mogi-mogi wenten pikenohnyane"

Minggu, 03 Maret 2013

TEORI SEMIOTIK


           Mengkaji karya sastra tanpa sebuah teori tentu sangat susah, karena tidak ada landasan berpijak untuk mengetahui labih jauh hal yang akan kaji. Namun, teman-teman jangan ragu tentang hal itu, berikut ada beberapa uraian yang menjelaskan tentang teori sastra, salah satunya yaitu teori semiotik.
            Semiotika adalah suatu bidang studi yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi melalui sarana tanda-tanda dan berdasarkan pada sistem tanda (Segers, 1978:14) atau bidang studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan tanda: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakan (Eco, 1979:7; van Zoest, 1992:5).
Secara definitif, tanda adalah segala apa yang menyatakan sesuatu yang lain daripada dirinya. Tanda itu dihasilkan melalui proses signifikasi yang merupakan proses yang memadukan penanda dan petanda (Barthes dalam Young, 1981:37—38; Budiman, 1999:108; Sunardi, 2002:49). Karena itu, pada prinsipnya semiotik mempelajari bagaimana arti-arti dibuat dan bagaimana realitas direpresentasikan, yang barangkali jelas dalam bentuk “teks” dan “media” (Chandler, 2002:2). Semiotik memusatkan perhatian pada pertukaran beberapa pesan apa pun dalam suatu kata atau komunikasi dan juga memusatkan perhatian pada proses signifikasi (Sebeok, 1994:5).
            Paling sedikit ada tiga aliran dalam semiotika, yaitu (1) aliran semiotika komunikasi dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud. Sebuah teks sastra dapat dipandang sebagai seperangkat tanda yang ditransmisikan melalui saluran kepada pembaca. Kode yang dipilih pengarang dan diketahui atau sebagian diketahui pembaca memungkinkan pembaca mendecode tanda-tanda tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks. Saluran memungkinkan pembaca membaca teks sastra, sedangkan kode memungkinkan pembaca menafsirkan teks sastra (Buyssens, Prieto, Mounin); (2) aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti (meaning) pada bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama menjadi makna (significane) pada sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua (Barthes); (3) aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat (Julia Kristeva)
Dalam lapangan kritik sastra, semiotika memandang sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa berdasarkan pada konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri yang memberikan makna pada bermacam-macam modus wacana (Preminger (ed.), 1974:980). Ahli semiotika memburu jenis-jenis tanda tertentu, bagaimana tanda-tanda itu berbeda dengan yang lain, bagaimana fungsi tanda dalam habitat alaminya, bagaimana interaksinya dengan jenis-jenis tanda yang lain (Culler, 1981:vii), dan tanda-tanda dengan konvensinya (Pradopo, 2001:3). Karya sastra sebagai bangunan bahasa pada hakikatnya adalah fakta semiotik, sebagai sistem tanda (Abdullah, 1991:8) yang dapat ditafsirkan dan yang proses penafsirannya itu dapat terjadi berkali-kali (Hoed, 2001:197).
            Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut:
  1. Representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum:
    1. qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau
    2. sinsigns, tokens, terbentuk melalui realitas fisik: rambu lalu lintas
    3. legisigns, types berupa hukum: suara wasit dalam pelanggaran
  2. Object (designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu:
    1. Ikon: hubungan penanda dan petanda karena kemiripan: foto
    2. Indeks: hubungan penanda dan petanda karena sebab akibat: asap dan api
    3. Simbol: hubungan penanda dan petanda yang bersifat konvensional: bendera

  1. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:
    1. rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
    2. decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif
    3. argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi
            Menurut Pradopo (2001:3—4) bahwa dalam rangka perburuan tanda-tanda itu, ada empat paradigma yang perlu diperhatikan, yaitu (1) jenis-jenis tanda: ikon, indeks, dan simbol; (2) satuan-satuan arti; (3) konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai makna; dan (4) hipogram (hubungan intertekstual).
            Riffaterre (1978:1—2) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan aktivitas bahasa secara tidak langsung dan bersifat hipogramatik. Fenomena sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa puisi (karya sastra) merupakan satu aktivitas bahasa. Akan tetapi, aktivitas bahasa itu adalah tidak langsung. Ada tiga hal yang menyebab-kan ketidaklangsungan itu, yakni displacing of meaning, distorting of meaning, dan creating of meaning. Displacing of meaning muncul ketika tanda-tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata “menggantikan” kata yang lain, sebagaimana metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi akibat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Sementara itu, creating of meaning ditentukan oleh satu organisasi prinsip untuk tanda-tanda  di luar item-item linguistik.
            Lebih jauh, Riffaterre (1978:2—3) menyebutkan bahwa ciri khas puisi adalah kesatuannya, yakni satu kesatuan, baik formal maupun semantik. Berdasarkan tataran formal dan semantik, Riffaterre mengusulkan dua istilah yang perlu dibedakan dalam pemaknaan puisi, yakni arti (meaning) dan makna (significance). Pertentangan antara arti (meaning) dan makna (significance) memainkan peranan yang  menentukan (Santoso, 1993:29). Dari segi arti (meaning), teks puisi merupakan rangkaian satuan informasi yang berturut-turut, yang dikonvensikan oleh teks pada tataran mimetik. Dari segi makna (significance), teks puisi merupakan satu kesatuan semantik. Sehubungan dengan itu, pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dengan menemukan arti (meaning) teks berdasarkan fungsi mimetik bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Dengan kata lain, pembaca melakukan pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik. Setelah itu, pembaca melangkah ke tataran yang lebih tinggi, yakni significance sebagai satu manifestasi semiosis dengan mencari kode karya sastra secara struktural  atau decoding. Dalam tataran baca semacam itu, pembaca melakukan pembacaan hermeneutik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi sastra. Pembacaan hermeneutik dilakukan secara struktural, bergerak secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan kembali lagi ke bagian, dan seterusnya berdasarkan unsur-unsur ketidakgramatikalan (ungrammaticalities). Bagi Riffaterre, salah satu ketidakgramatikalan (ungrammaticalities) itu dan yang sekaligus menjadi pusat makna satu puisi adalah matriks.
Menurut Riffaterre (1978:19), wacana puisi merupakan ekuivalensi yang ditetapkan antara satu kata dengan satu teks atau satu teks dengan teks yang lain. Puisi merupakan hasil dari transformasi matriks, yakni kalimat minimal dan literal ke dalam parafrase yang lebih panjang, kompleks, dan nonliteral. Matriks adalah bersifat hipotetik. Matriks mungkin dioptimasikan dalam satu kata yang tidak pernah diaktualisasikan secara utuh di dalam teks, tetapi diaktualisasikan dalam bentuk varian-varian, ketidakgramatikalan (ungrammati-calities). Bentuk varian sebagai aktualisasi pertama atau aktualisasi pokok dari matriks adalah model. Bagi Riffaterre, matriks, model, dan teks merupakan varian dari struktur yang sama.
Riffaterre mengajukan gagasan produksi tanda (production sign), yakni produksi tanda puitik ditentukan oleh derivasi hipogramatik: satu kata atau frase dipuitiskan ketika kata atau frase itu mengacu pada sekelompok kata yang telah ada lebih dahulu, satu hipogram yang juga merupakan satu varian dari matriks teks (Riffaterre, 1978:23). Hipogram itu tidak ada di dalam teks. Hipogram itu mungkin bersifat potensial yang tampak dalam bahasa seperti presuposisi, klise-klise, serta sistem deskriptif, yakni satu jaringan kata-kata yang dihubungkan dengan satu hal lain di sekitar kata inti, atau bersifat aktual dalam wujud mitos-mitos atau teks-teks lain yang telah ada sebelumnya (Riffaterre, 1978:23—39).
            Menurut Riffaterre (1978:47—80), dalam rangka produksi teks, aktualisasi produksi tanda dari hipogram-hipogram di atas diintegrasikan oleh ekspansi, konversi ataupun kombinasi antara ekspansi dan konversi. Ekspansi mentransformasikan bagian-bagian kalimat matriks ke dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Konversi mentransformasikan bagian-bagian kalimat matriks melalui pemodifikasian kesemuanya dengan faktor yang sama. Dengan kata lain, pemaknaan (significance) akan menjadi volarisasi positif dari satuan semiotik tekstual apabila hipogram adalah negatif, dan volarisasi negatif terjadi apabila hipogram itu positif. Demikianlah Riffaterre memahami puisi sebagai ekspresi bahasa secara tidak langsung dan bersifat hipogramatik

2 komentar:

  1. Om Swastiastu;

    Ten kerasa sampun rawuh malih Hari Raya Nyepi, santukan asapunika tiang ngaturang Rahajeng Nyanggra Rahina Nyepi, Dumogi stata Shanti gumi Baline

    suksma

    BalasHapus
  2. RAHAJENG MAWALI SAMETON.. MOGI RAHAYU!

    BalasHapus

Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma