Aksara, Basa, lan Sastra Bali

"Om Swastyastu, swasti prapta aturang titiang majeng ring para sameton blogger sami, durusang macecingak ring blog titiang, pinaka anggen jalaran masadu wirasa, mogi-mogi wenten pikenohnyane"

Rabu, 29 Mei 2013

TEORI INTERTEKSTUAL


             Intertekstual pertama kali dikembangkan oleh peneliti Prancis, Kristeva (1980) dalam esainya berjudul “The Bounded Text” dan “Word, Dialogue, and Novel”. Pendekatan intertekstual mempunyai prinsip dasar bahwa setiap teks merupakan satu produktivitas. Teks merupakan satu permutasian teks-teks lain. Intertekstual memandang teks berada di dalam ruang satu teks yang ditentukan, teks merupakan bermacam-macam tindak ujaran, teks diambil dari teks-teks lain, serta teks bersifat tumpang-tindih dan saling menetralkan satu sama lain (Kristeva, 1980:36—37). Karena itu, teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka (Teeuw, 1988:145). Teks yang menjadi latar penciptaan karya baru disebut hipogram, dan teks baru yang menyerap dan mentransformasikan hipogram disebut teks transformasi (Riffaterre, 1978:11, 23).
Setiap teks dikonstruksi sebagai mosaik kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain. Dugaan intertektualitas menggantikan  intersubjektivitas itu dan menganggap sebuah bahasa puitis harus dibaca sebagai satu hal yang bersifat ganda (Kristeva, 1980:66). Bagi Kristeva, intertekstualitas tidak mereduksi kepada studi tradisional yang memandang satu teks dipengaruhi teks lain. Intertekstual jauh melampaui metode tradisional itu melalui tiga cara, yaitu (a) pemisahan intertekstual dari pengaruh yang melibatkan pertanyaan tentang niat pengarang. Bagi studi yang mendasarkan diri kepada pengaruh, alusi-alusi tekstual merupakan produk kesadaran pilihan pengarang. Intertekstualitas, di sisi lain, merupakan bagian pergerakan postruktural dan sebagai tantangan, baik terhadap sentralitas pengarang maupun dugaan-dugaan tradisional dari kesadaran; (b) membedakan antara intertektualitas dan studi pengaruh yang melibatkan pertanyaan tentang sastra itu sendiri. Teori intertekstualitas mengasumsikan bahwa setiap kerja besar dari sastra adalah penuh dengan interteks dari satu cabang teks sastra dan bukan sastra. Pembacaan intertekstual berdiri pada kekaburan garis pembatas antara sastra dan bukan sastra, pusat dan marginal, ataupun antara hitam dan putih. Teks ataupun penulis tidak tertutup secara rapat dari jangkauan teks-teks yang eksis dalam teks budaya yang lebih besar; (c) bagi teori intertekstual, penulis ataupun teks tidak terputus dari dunia budaya yang lebih besar. Dengan demikian, setiap teks sastra mengambil bagian dan mengacu kepada teks sosial. Sebuah teks bermakna penuh bukan hanya karena mempunyai struktur, suatu kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain. Karena itu, sebuah karya hanya dapat dibaca dalam kaitan ataupun pertentangan dengan teks-teks lain, yang merupakan semacam kisi. Lewat kisi itulah teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri menonjol dan memberikannya sebuah struktur.
Ada sepuluh tesis intertekstual, yaitu (1) konsep intertekstualitas menghendaki bahwa teks harus dipahami bukan sebagai sebuah struktur yang dipertahankan oleh dirinya sendiri, tetapi sebagai sesuatu yang bersifat historis dan berbeda-beda. Teks dibentuk bukan melalui waktu yang immanen, tetapi melalui permainan temporalitas yang terpisah-pisah; (2) teks-teks bukan merupakan struktur yang hadir, tetapi merupakan jejak-jejak dan penelusuran-penelusurannya dari teks-teks lain. Jejak-jejak dan penelusuran-penelusurannya itu dibentuk oleh repetisi dan transformasi dari struktur tekstual lainnya; (3) struktur tekstual itu tidak muncul pada salah satu teks yang dimasukkan, tetapi hadir pada salah satu dari momen-momen dan prakondisi teks; (4) bentuk representasi struktur intertekstual bergerak dari tataran eksplisit ke implisit. Lagipula, struktur-struktur itu mungkin lebih khusus, mungkin juga lebih umum ataupun mungkin berupa jenis pesan atau jenis kode. Teks-teks dibuat keluar dari norma-norma ideologi dan budaya; keluar dari konvensi-konvensi genre; keluar dari idiom-idiom dan gaya-gaya yang dikitarkan dalam bahasa; keluar dari perangkat-perangkat kolektif dan konotasi; keluar dari klise-klise, formula-formula, peribahasa-peribahasa; dan keluar dari teks-teks yang lain; (5) intertekstual ibarat mesin tenun yang menempatkan persoalan perbedaan dari bentuk-bentuk representasi intertekstual dengan cara menjawab pertanyaan apakah pantas seseorang dapat menyampaikan sebuah relasi intertekstual kepada sebuah genre. Relasi demikian itu bukan merupakan relasi yang kaku bagi sebuah interteks, tetapi relasi yang segera mengijinkan bahwa tidak mungkin membuat pembedaan yang kaku antara level-level kode dan teks; (6) proses referensi intertekstual diatur oleh jalur-jalur formasi diskursif. Relasi teks-teks sastra dengan wilayah diskursif yang lebih umum dimediasi oleh struktur sistem sastra dan otoritas aturan sastra; (7) efek mediasi ini adalah memberikan efek reduksi metonimik dari diskurif kepada norma-norma sastra, dan mungkin pula membuat tematisasi refleksif dari relasi teks-teks kepada struktur otoritas diskursif. Sejak intertekstualitas berfungsi, baik sebagai jejak maupun representasi, tematisasi ini tidak ingin tergantung kepada maksud kesadaran yang mutlak; (8) identifikasi sebuah interteks adalah sebuah tindakan interpretasi. Interteks bukan merupakan sebuah sumber yang nyata dan kausatif, tetapi merupakan bangunan teoretik yang dibentuk oleh tujuan pembacaan; (9) apa yang relevan bagi interpretasi tekstual bukanlah sumber intertekstual yang khusus, melainkan struktur diskursif yang umum (genre, formasi diskursif, ideologi); (10) analisis intertekstual dibedakan dari kritik sumber, baik karena penekanannya yang lebih pada interpretasi daripada kemantapan fakta-fakta khusus, maupun oleh penolakannya terhadap satu kausalitas yang tidak linier bagi sejumlah karya yang dipertunjukkan di atas materi intertekstual dan integrasi fungsionalnya pada teks yang muncul belakangan (John Frow dalam Worton dkk., 1990:45—46).
Berdasarkan prinsip teori intertekstual yang memandang teks sebagai transformasi teks-teks lain dan sebagai sebuah tindakan interpretasi, maka dapat dikatakan bahwa persoalan transformasi merupakan bagian esensial dalam teori intertekstual. Dalam transformasi teks, Teeuw, dalam tulisan berjudul “Translation, Transformation, and Indonesian Literary History” (1983:5) menyebutkan ada empat pertanyaan penting yang mesti diperhatikan, yaitu (a) mengapa satu teks dipilih secara khusus dalam suatu transformasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, seseorang akan membedakan antara alasan sastra dengan alasan sosial budaya; (b) apakah yang terjadi pada teks dalam proses transformasi itu? Apakah ada bagian-bagian teks yang diubah, diadaptasi ataukah ditransformasi, baik dalam bentuk sastranya maupun dalam fungsi sosialnya? (c) apakah yang dilakukan teks sumber terhadap teks transformasi itu? Apakah ada dampak, misalnya teks sumber mempengaruhi sistem sastra yang terkait, teks sumber menyebabkan terciptanya genre baru, teks sumber mempengaruhi norma-norma dan konvensi-konvensi, ataukah memutuskan horison harapan pembaca masa kini? (d) apakah yang dilakukan teks transformasi itu terhadap teks sumbernya? Bagaimanakah teks sumber itu diterima, diadaptasi, atau mungkin pada beberapa bagian ditolak atau ditinggalkan? Karena itu, transformasi memainkan peranan esensial dalam sejarah sastra. Karya sastra akan mendapatkan makna penuh dengan latar belakang keseluruhan sastranya, baik secara sinkronis maupun diakronis. Pemahaman demikian akan mampu melahirkan karya sastra sebagai tanda yang penuh makna secara semiotik (Chamamah, 1991:19). Dari segi teori sastra, prinsip intertekstual membawa peneliti kepada upaya untuk memandang teks-teks pendahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek pemaknaan yang bermacam-macam (Culler, 1981:103).
            Riffaterre (1978:1—2) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan aktivitas bahasa secara tidak langsung dan bersifat hipogramatik. Fenomena sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan pembaca serta dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu didasarkan atas prinsip bahwa puisi (karya sastra) merupakan satu aktivitas bahasa. Akan tetapi, aktivitas bahasa itu adalah tidak langsung. Ada tiga hal yang menyebabkan ketidaklangsungan itu, yakni displacing of meaning, distorting of meaning, dan creating of meaning. Displacing of meaning muncul ketika tanda-tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata “menggantikan” kata yang lain, sebagaimana metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi akibat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Sementara itu, creating of meaning ditentukan oleh satu organisasi prinsip untuk tanda-tanda  di luar item-item linguistik.
            Lebih jauh, Riffaterre (1978:2—3) menyebutkan bahwa ciri khas puisi adalah kesatuannya, yakni satu kesatuan, baik formal maupun semantik. Berdasarkan tataran formal dan semantik, Riffaterre mengusulkan dua istilah yang perlu dibedakan dalam pemaknaan puisi, yakni arti (meaning) dan makna (significance)[1]. Pertentangan antara arti (meaning) dan makna (significance) memainkan peranan yang  menentukan (Santoso, 1993:29). Dari segi arti (meaning), teks puisi merupakan rangkaian satuan informasi yang berturut-turut, yang dikonvensikan oleh teks pada tataran mimetik. Dari segi makna (significance), teks puisi merupakan satu kesatuan semantik. Sehubungan dengan itu, pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dengan menemukan arti (meaning) teks berdasarkan fungsi mimetik bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Dengan kata lain, pembaca melakukan pembacaan heuristik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi linguistik. Setelah itu, pembaca melangkah ke tataran yang lebih tinggi, yakni significance sebagai satu manifestasi semiosis dengan mencari kode karya sastra secara struktural  atau decoding. Dalam tataran baca semacam itu, pembaca melakukan pembacaan hermeneutik, yakni pembacaan berdasarkan kompetensi sastra. Pembacaan hermeneutik dilakukan secara struktural, bergerak secara bolak-balik dari bagian ke keseluruhan dan kembali lagi ke bagian, dan seterusnya berdasarkan unsur-unsur ketidakgramatikalan (ungrammaticali-ties). Bagi Riffaterre, salah satu ketidakgramatikalan (ungrammaticalities) itu dan yang sekaligus menjadi pusat makna satu puisi adalah matriks.
Menurut Riffaterre (1978:19), wacana puisi merupakan ekuivalensi yang ditetapkan antara satu kata dengan satu teks atau satu teks dengan teks yang lain. Puisi merupakan hasil dari transformasi matriks, yakni kalimat minimal dan literal ke dalam parafrase yang lebih panjang, kompleks, dan nonliteral. Matriks adalah bersifat hipotetik. Matriks mungkin dioptimasikan dalam satu kata yang tidak pernah diaktualisasikan secara utuh di dalam teks, tetapi diaktualisasikan dalam bentuk varian-varian, ketidakgramatikal-an (ungrammaticalities). Bentuk varian sebagai aktualisasi pertama atau aktualisasi pokok dari matriks adalah model. Bagi Riffaterre, matriks, model, dan teks merupakan varian dari struktur yang sama.
Riffaterre mengajukan gagasan produksi tanda (production sign), yakni produksi tanda puitik ditentukan oleh derivasi hipogramatik: satu kata atau frase dipuitiskan ketika kata atau frase itu mengacu pada sekelompok kata yang telah ada lebih dahulu, satu hipogram yang juga merupakan satu varian dari matriks teks (Riffaterre, 1978:23). Hipogram itu tidak ada di dalam teks. Hipogram itu mungkin bersifat potensial yang tampak dalam bahasa seperti presuposisi, klise-klise, serta sistem deskriptif, yakni satu jaringan kata-kata yang dihubungkan dengan satu hal lain di sekitar kata inti, atau bersifat aktual dalam wujud mitos-mitos atau teks-teks lain yang telah ada sebelumnya (Riffaterre, 1978:23—39).
Analisis intertekstual bersifat politis (praktis), yakni melihat yang tekstual dan ekstratekstual saling memperlakukan, atau yang ekstratekstual merupakan jenis teks lain. Namun, terdapat kebutuhan yang menggambarkan relasi antara pembentukan-pembentukan sosial (sebagai salah satu jenis teks) dan teks-teks dalam pengertian konvensional. Praktik intertekstual merupakan sebuah upaya untuk berjuang melawan “kerumitan dan pengucilan”.




[1] ) Berkaitan dengan istilah syllepsis (ambigu menurut Genette): sebuah kata pada suatu ketika dipahami lewat dua cara, yakni sebagai arti (meaning) dan sebagai makna (significance). Ia merupakan bagian strategi tekstual, selain kutipan, dll.

Sumber: Materi Kuliah Susastra Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma