Aksara, Basa, lan Sastra Bali

"Om Swastyastu, swasti prapta aturang titiang majeng ring para sameton blogger sami, durusang macecingak ring blog titiang, pinaka anggen jalaran masadu wirasa, mogi-mogi wenten pikenohnyane"

Kamis, 30 Mei 2013

Contoh Telaah Prosa Bali



ANALISIS TEMA CERPEN JULIA
KARYA IDB WAYAN WIDIASA KENITEN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Karya sastra merupakan suatu bentuk yang dapat digunakan untuk mempelajari hidup dan kehidupan pada masyarakat. Di dalamnya terkandung informasi pengetahuan yang bersumber pada intelektualitas pengarangnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya karya sastra pada umumnya bersifat fiktif. Oleh karena itu, karya sastra tersebut disebut sebagai karya sastra fiksi. Altenberd (Nurgiyantoro, 2000: 2), fiksi dapat diartikan sebagai “prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia”. Penyeleksian pengalaman kehidupan yang akan diceritakan tersebut, tentu saja, bersifat subjektif.
Fiksi juga menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, dengan diri sendiri, dan dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Oleh karena itu, fiksi merupakan sebuah cerita yang  tidak hanya bertujuan estetik, tetapi juga memberikan hiburan kepada pembaca. Melalui sarana cerita itu pembaca secara tidak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan oleh pengarang. Hal itu disebabkan cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan.
Salah satu bentuk karya sastra yang berupa fiksi itu adalah cerpen. Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santosa dan Wahyuningtyas, bahwa cerpen sebagai jenis sastra yang khusus dapat dibaca sekali duduk dalam waktu satu atau dua jam (2010: 2).
Cerpen merupakan jenis karya sastra yang paling banyak dibaca orang dengan pemahaman yang cukup memadai. Cerpen banyak menggunakan bahasa yang lugas dan mengacu pada makna denotatif sehingga lebih bersifat transparan. Namun adapula cerpen yang tidak transparan, bersifat prismatis dan penuh dengan perlambangan. Menurut Hendy (1989: 184) cerpen memiliki beberapa ciri, yaitu: panjang kisahannya lebih singkat daripada novel, alur ceritanya rapat, berfokus pada satu klimaks, memusatkan cerita pada tokoh tertentu, waktu tertentu, dan situasi tertentu, sifat tikaiannya dramatik, yaitu berintikan pada perbenturan yang berlawanan, dan tokoh-tokoh di dalamnya ditampilkan pada suatu latar atau latar belakang melalui lakuan dalam satu situasi.
Keberadaan cerpen sebagai salah satu karya sastra diperkirakan muncul sekitar tahun 1970-an. Sebagian besar diantaranya merupakan hasil sayembara. Cerpen-cerpen pada babak permulaan dibuat atas dasar “mencoba-coba” dengan memadukan tradisi bercerita Bali dengan gaya bercerita dalam bahasa Indonesia. Dalam hal gaya, cerpen sastra Bali dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu cerpen dari pengarang yang berfungsi ganda (selain mengarang dalam bahasa Bali, juga mengarang dalam bahasa Indonesia), jelas sekali menunjukkan adanya pengaruh struktur cerpen Indonesia. Sebaliknya dari pengarang yang berfungsi tunggal (hanya mengarang dalam bahasa Bali), lahirlah cerpen yang sangat dipengaruhi oleh gaya bercerita Bali (Eddy, 1991: 30).
Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita pendek yang memiliki alur rapat, fokus pada satu klimaks, pertikaiannya dramtik, dan dibaca dalam sekali duduk.
Cerpen sebagai salah satu karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini setiap pengarang memiliki cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya. Untuk menguak isi dari cerpen tersebut, maka diperlukan suatu analisis. Namun, Ratna (2009: 330) menyatakan bahwa analisis yang baik adalah kajian yang memelihara keseimbangan antara prinsip linguistik dan sastra kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian aspek estetis.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pada kesempatan ini penulis akan menganalisis cerpen yang berjudul Julia buah karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten. Dalam cerpen tersebut terdapat beberapa unsur instrinsik yang menjalin ceritanya, yaitu tema, alur, insiden, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, majas (gaya bahasa), dan amanat. Akan tetapi, dari kesemuanya tersebut unsur tema yang banyak mendominasi cerpen tersebut.

1.2       Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah tema yang terkandung dalam cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten?

1.3       Tujuan Analisis
Sebuah penelitian ilmiah tentu memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Demikian juga hanya dengan tulisan ini. Tujuan analisis ini dapat dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1    Tujuan Umum
Dari kajian cerpen ini penulis mengharapkan karya sastra Bali, terutama karya sastra Bali modern mendapat tempat yang baik di hati masyarakat Bali, sehingga masyarakat Bali tidak perlu lagi merasa ragu akan eksistensi karya sastra Bali modern di tengah kuatnya karya sastra Bali klasik menguasai tata hidup masyarakat Bali. Selain itu, analisis ini merupakan suatu bentuk apresiasi, pelestarian, dan pengembangan karya sastra Bali Modern dalam bentuk cerpen.

1.3.2    Tujuan Khusus
Sesuai dengan permasalahan yang dijabarkan dalam rumusan masalah, maka dapat dikemukakan tujuan khusus analisis ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk memaparkan tema yang terkandung dalam cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten.
1.4       Manfaat Analisis
Adapun manfaat yang diperoleh dari analisis ini dapat dibedakan atas (1) manfaat teoretis dan (2) manfaat praktis.

1.4.1    Manfaat Teoretis
Adapun manfaat dari analisis ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk memberikan apresiasi terhadap karya sastra Bali Modern.
2.      Sebagai bahan acuan dalam pengkajian sastra Bali Modern berupa cerpen.

1.4.2    Manfaat Praktis
Adapun maanfaat praktis dari  analisis ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagi penulis, dapat mengasah kemampuan dalam mengapresiasi sastra Bali Modern berupa cerpen, serta menjadi pedoman dalam mengkaji karya sastra yang sejenis.
2.      Bagi peneliti lain, sebagai motivator untuk meningkatkan kepedulian terhadap eksistensi kesusastraan Bali.
3.      Bagi masyarakat luas, dapat dijadikan sebagai suatu kajian yang menambah informasi dan wawasan tentang sastra dan sosiolinguistik.

1.5       Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang dimaksud adalah untuk membatasi ruang atau gerak dari analisis ini, sehingga terhindar dari penafsiran di luar dari kajian yang dilaksanakan. Oleh karena itu, pembahasan topik analisis ini hanya dibatasi pada analisis tema dari cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tema Cerpen Julia
Pada prinsipnya, tema disebut juga sebagai ide sentral atau makna sentral suatu cerita. Tema merupakan jiwa cerita itu (Santon, 1965: 4; Santosa dan Wahyuningtyas, 210: 2). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tema merupakan inti atau pokok persoalan dari sebuah cerita rekaan. Tema terbentuk melalui hubungan di antara unsur-unsur cerita yang lain. Unsur-unsur yang berbeda namun merupakan satu kesatuan membentuk suatu permasalahan dan diharapkan mendapat pemecahan melalui tokoh ceritanya.
Dalam penghayatan suatu cerita rekaan, tidak jarang pembaca bertemu dengan kadar yang berbeda. Masalahnya yang benar-benar menonjol dan mendominasi persoalan dalam suatu cerita rekaan itulah yang disebut dengan tema utama dan tema bawahan (Santosa dan Wahyuningtyas, 2010: 3). Meskipun telah ada batasan terhadap keberadaan tema dalam cerita rekaan, namun masih belum memadai. Hal ini karena tema bukanlah unsur yang dapat dengan mudah ditemukan dalam cerita, namun justru tema hanya unsur yang terimplisit di dalamnya sehingga membutuhkan ketelitian dan interpretasi yang tajam untuk menentukannya.
Di dalam sebuah karya sastra, ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menentukan tema, yaitu: (1) dengan melihat persoalan mana yang menonjol, (2) secara kuantitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik. Konflik-konflik melahirkan peristiwa-peristiwa, dan (3) dengan menentukan atau menghitung waktu penceritaan yaitu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa ataupun tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra (Esten, 1990: 92).
Berdasarkan uraian di atas, maka tema yang terdapat dalam cerpen Julia, yaitu berupa tema utama (pokok) dan tema bawahan (sampingan), namun ikut mendukung tema utama.

2.1.1 Tema Utama Cerpen Julia
Dengan melakukan pengamatan dan analisis terhadap sumber data, maka diketahui bahwa  tema utama dari cerpen Julia, yaitu masalah tanah (kuburan di Bali). Persoalan tentang tanah membuat tokoh dalam cerita menjadi mengalami klimaks dan perubahan nasib ‒ meskipun tidak banyak cerpen yang menyajikan hal itu, karena perubahan nasib lebih banyak terjadi pada cerita berupa novel atau roman. Cerpen Julia memberikan cerminan bahwa di Bali terjadi masalah antara hak mendapatkan kuburan, dalam cerita dikatakan bahwa orang asing lebih mudah mendapatkan hak untuk mendapatkan kuburan pada waktu dia meninggal dibandingkan dengan orang Bali yang justru mengalami keadaan yang sebaliknya. Oleh karena itu, interpretasi tema tersebut juga mewakili akan adanya kritik sosial bagi masyarakat Bali terhadap perebutan hak tanah kuburan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam kutipan berikut.
"…, anak Baline nenten dados nanem ring setrane. Mayitne maparebutin. Ipun mamanah-manah Nusa Baline kaucap santhi dados sering pisan wenten mayit nenten polih setra. Ipun jerih. Benjangan sinah ipun nenten pacang polih setra. Eling ring nenten naen mabanjar punapi malih makrama desa" (halaman 4, paragraf 13).

 Terjemahan bebasnya:
"…, orang Bali itu tidak boleh menguburkan di kuburan. Mayatnya diperebutkan. Dia berpikir Pulau Bali dikatakan damai menjadi sering sekali ada mayat tidak mendapatkan kuburan. Dia takut. Nanti pasti dia tidak akan mendapatkan kuburan. Ingat karena tidak pernah mabanjar apa lagi menjadi anggota desa."

Kutipan di atas menggambarkan bahwa Julia sebagai orang Amerika yang menikah dengan I Gede ‒ merupakan orang Bali ‒ merasa khawatir dengan keadaannya yang telah menjadi seorang istri orang Bali. Kutipan tersebut mengungkapkan ketidakpercayaan tokoh dengan keadaan Bali yang sekarang, hingga terjadi perebutan hak menguburkan mayat di kuburan. Karena berdasarkan pengetahuannya, orang Bali dikenal ramah, baik, sopan, memiliki etika dan estetika yang tinggi sehingga orang luar menilai bahwa orang Bali tentu juga memiliki hubungan yang harmonis di dalam masyarakatnya. Namun kenyataannya adalah justu ada orang Bali sendiri yang tidak bisa mendapatkan kuburan ketika mau menguburkan mayat. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
"Reraman tiange nenten banget makesiab santukan sampun saking riin meweh pisan ngrereh setra ring Bali yadiastun makrama Bali. Yan anak saking durapulo wau danganan matanem. Anake saking durapulo nenten wenten mabanjar punapi malih jagi ngrembanin Pura Desa, Puseh, Dalem" (halaman 4-5, paragraf 15).

Terjemahan bebasnya:
"Orang tua saya tidak terlalu terkejut karena sudah dari dahulu sulit sekali mencari kuburan di Bali meskipun menjadi masyarakat Bali. Kalau orang dari luar pulau baru mudah dikubur. Orang dari luar pulau tidak ada yang mabanjar apa lagi akan menjaga Pura Desa, Puseh, Dalem."

Kutipan di atas, mencerminkan bahwa menjadi orang Bali tidak menjamin untuk mendapatkan kuburan. Hal ini jelas telah terjadi diskriminasi antara orang Bali dengan orang luar yang belum tentu akan ikut menjaga dan melestarikan pura terutama Pura Kahyangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem). Akan tetapi mendapatkan tempat yang istimewa di Bali.
Persoalan tanah kuburan dalam cerpen Julia lebih eksplisit tergambarkan di dalam alur ceritanya. Oleh karena itu, persoalan tanah di Bali menjadi masalah yang serius dan perlu mendapatkan penangan serta perhatian dari pihak berwajib. Jangan sampai permasalahan tanah kuburan menyebabkan ketidakharmonisan dalam hidup masyarakat Bali. Dengan demikian jelas tidak sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana yang menjadi pandangan hidup orang Bali.
Dalam ajaran Tri Hita Karana dijelaskan bahwa manusia selain menjaga hubungan yang harmonis dengan Parhyangan (Tuhan), juga menjalani hubungan yang harmonis dengan Pawongan (manusia lainnya ‒ orang Bali), serta menjaga keharmonisan dengan Palemahan (alam sekitar, tempat tinggal manusia itu sendiri). Namun melalui tema utama dalam cerpen Julia tersebut, telah terjadi ketidakharmonisan antara orang Bali sebagai pawongan dengan palemahan-nya, yaitu tanah kuburan yang dipersengketakan. Dengan adanya ketidakharmonisan dengan palemahan akan membawa dampak pada ketidakharmonisan hubungan di antara orang Bali. Hal ini dapat dicermati pada kutipan di bawah ini.
"Reraman  tiange sampun biasa miragiang utawi ngantetang jadma Bali kasepekang. Kudang mayit sampun dados rerebutan. Katah mayit sampun kajagain olih polisi. Yang ring anake ka setra kairing antuk gegitan sane lemuh nglangenin. Magentos dados dengkrak-dengkrik sane nguledin" (halaman 5, paragraf 5).

Terjemahan bebasnya:

"Orang tua saya sudah biasa mendengar atau menyatukan orang Bali yang dikucilkan. Berapa mayat telah menjadi rebutan. Banyak mayat telah dijaga oleh polisi. Kalau orang ke kuburan diiringi dengan nyanyian yang indah. Berbalik menjadi percekcokan yang menggelikan."

Kutipan di atas melukiskan bahwa pertengkaran yang terjadi di antara orang Bali dilatarbelakangi oleh tanah, dalam hal ini adalah hak menguburkan mayat di kuburan. Mengingat situasi dan perkembangan sosial masyarakat Bali, jelas tanah menjadi sesuatu yang sangat penting. Namun mengapa permasalahan tersebut harus berdampak pada masyarakat Bali yang telah berdomisili serta menjadi krama desa dan banjar? Mengapa orang Bali cenderung lebih suka bertengkar dengan sesama orang Bali dibandingkan dengan orang luar? Ini yang perlu mendapat sorotan dan dicarikan solusi. Namun pada pembahasan ini hanya disajikan permasalahan tersebut tanpa membahas lebih lanjut.

2.1.2 Tema Sampingan Cerpen Julia
Selain memiliki tema utama, cerpen Julia juga memiliki tema sampingan, yaitu pernikahan campuran. Hal ini terjadi antara tokohnya yang bernama I Gede, orang Bali dengan Julia sebagai orang Amerika. Hal ini dapat diketahui berdasarkan ekspresi kegembiraan yang dialami para tokoh ketika insiden tersebut terjadi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.
"Reraman tiange ngelut I Julia. Ipun nenten mabaos. Sang kalih wau ngarumasayang leleh macampuh sareng kenyel ipunne. Ring muan ipunne kanten bagia antuk prasida matunggalan" (halaman 4, paragraf 11).

Terjemahan bebasnya:
"Orang tua saya memeluk I Julia. Dia tidak berbicara. Kedunya baru merasakan lelah bercampur dengan kecapaiannya. Di raut mukanya terlihat bahagia karena dapat bersatu."

Kutipan di atas menggambarkan tentang kebahagian antara Julia dengan I Gede ‒ paman pencerita. Meskipun keduanya adalah berbeda bangsa, bahasa, agama, dan budaya, akan tetapi karena cinta yang sangat besar mampu meruntuhkan dinding pemisah di antara mereka. Melalui pernikahan campuran tersebut menyebabkan terjadi akulturasi antara Julia dengan I Gede. Julia menjadi seorang istri yang baik, menjadi ibu rumah tangga selayaknya istri orang Bali, menjalani kehidupan sesuai dengan tradisi orang Bali. Namun karena adanya sengketa tentang penguburan mayat di Bali menyebabkan tokohnya enggan untuk tinggal di Bali dan memilih tinggal di luar negeri dengan harapan di upacarai menurut Agama Hindu pada saat meninggal nanti. Pernyataan ini dilatarbelakangi dengan anggapan bahwa orang yang tidak ikut sebagai anggota banjar tidak akan mendapatkan hak kuburan. Hal ini dapat dijelaskan sesuai dengan kutipan berikut.
"Sayan sue, I Julia sayan nenten tegteg. Ipun ngarya surat wasiat. Surat punika wau dados kabuka risampunne ipun padem. Irika kasurat, wantah ipun padem, mangda kabenang ring Amerika mangda danganan ngrereh setra" (halaman 6, paragraf 5).

Terjemahan bebasnya:
"Semakin lama, I Julia semakin tidak tegar. Dia membuat surat wasiat. Surat itu baru boleh dibuka setelah dia meninggal. Di sana ditulis, kalau dia meninggal, agar kabenang ‒ dilaksanakan upacara pembakaran mayat ‒ di Amerika supaya mudah mendapatkan kuburan."

Kutipan di atas menggambarkan bahwa pernikahan campuran antara Julia dengan I Gede menjadi jalan untuk menampilkan pokok persoalan dalam cerpen Julia tersebut. Pernikahan campuran mendukung persoalan tentang sengketa tanah, yaitu hak mendapatkan kuburan. Pernikahan tersebut seolah-olah menjadi jalan untuk pengarang menggambarkan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat Bali sehingga menjadi rangkain cerita yang menarik serta sarat akan pesan moral.
BAB III
PENUTUP

3.1       Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tema cerpen Julia karya Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten terdiri atas tema utama dan tema sampingan. Tema utama dari cerpen Julia, yaitu masalah tanah (kuburan di Bali), sedangkan tema sampingan, yaitu pernikahan campuran.

3.2       Saran
Dalam cerpen Julia ini, hanya menganalisis sebagian kecil dari struktur instrinsiknya, namun masih banyak unsur-unsur yang masih belum terungkap. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu analisis yang lebih mendalam lagi untuk menguak unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Terlepas dari itu, paper sederhana ini sudah tentu masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu atas kekurangan tersebut penulis mohon maaf serta mengharapkan tegur dan bimbingan pembaca dalam penyusunan paper selanjutnya. Akhir kata, marilah menjaga kaharmonisan untuk kedamaian pulau Bali tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma